hinduisme
Rabu, 19 Desember 2012
makalah revisi filsafat wedanta oleh helmi suhaimi
Revisi filsafat wedanta.
A. Sad Darsana (Filsafat Wedanta)
1.Pengertian Wedanta
Wedanta berasal dari kata weda-anta,artinya bagian terakhir dari weda.
Kitap Upanishad juga disebut dengan Wedanta, karena kitab-kitab ini
mewujudkan bagian akhir dari Weda yang bersifat mengumpulkan. Disamping
itu ada tiga faktor yang menyebabkan Upanishad disebut dengan Wedanta
yaitu:
a) Upanishad adalah hasil karya terakhir dari jaman Weda.
b) Pada jaman Weda program pelajaran yang disampaikan oleh para Resi
kepada sisyanya, Upainishad juga merupakan pelajaran yang terakhir. Para
Brahmacari pada mulanya diberikan pelajaran shamhita yakni koleksi
syair-syair dari zaman weda. Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran
Brahmana yakni tata cara untuk melaksanakan upacara keagamaan, dan
terakhir barulah sampai pada filsafat dari Upanisad.
c) Upainishad adalah merupakan kumpulan syair-syair yang terakhir dari pada jaman Weda.
Jadi pengertian Wedanta erat sekali hubungannya dengan Upanishad hanya
saja kitab-kitab Upanishad tidak memuat uraian-uraian yang sistimatis.
Usaha pertama untuk menyusun ajaran Upanishad secara sistimatis
diusahakan oleh Badrayana, kira-kira 400 SM. Hasil karyanya disebut
dengan Wedanta-Sutra.
Sebelum Badrayana telah ada orangg-orang
yang berusaha menyusun ajaran Upanishad, akan tetapi paling terkenal
adalah Badrayana, dalam Bhadgawadgita hasil karya beliau disebut Brahma
Sutra.
Kitab Brahma Sutra/Wedanta Sutra, Upanishad dan Bhagawadgita, ketiga buku tersebut menjadi dasar filsafat Wedanta.
2. Pokok- Pokok Ajaran Wedanta
Wedanta mengajarkan bahwa nirvana dapat dicapai dalam kehidupan
sekarang ini,tak perlu menunggu setelah mati untuk mencapainya.nirvana
adalah kesadaran terhadap diri sejati.dan sekali mengetahui hal
itu,walau sekejap,maka seseorang tak akan pernah lagi dapat di perdaya
oleh kabut individualitas.terdapat dua tahap pembedaan dalam kehidupan,
yaitu: yang pertama, bahwa orang yang mengetahui diri sejatinya tak
akan di pengaruhi oleh hal apapun. Yang kedua bahwa hanya dia sendirilah
yang dapat melakukan kebaikan pada dunia
Seperti yang telah
disebutkan tadi bahwa filsafat Wedanta bersumber dari Upanishad. Brahma
Sutra/Wedanta Sutra dan Bhadgawadgita. Masing-masing buku tersebut
memberikan ulasan isi filsafat itu berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh
sudut pandangannya yang berbeda. Walaupun obyeknya sama, tentu hasilnya
akan berbeda. Sama halnya dengan orang buta yang merabah gajah dari
sudut yangg berbeda, tentu hasilnya akan ber beda pula. Demikian pula
halnya dengan filsafat tentang dunia ini, ada yang memberikan ulasan
bahwa dunia ini maya (bayangan saja), dilain pihak menyebutkan dunia ini
betul-betul ada, bukan palsu sebab diciptakan oleh Tuhan dari diriNya
sendiri. Karena perbedaan pendapat ini dengan sendirinya menimbulkan
suatu teka-teki,apakah dunia ini benar-benar ada ataukah dunia ini
betul-betul maya.
Hal ini menyebabkan timbulnya penafsiran yangg
bermacam-macam pula. Akibat dari penapsiran tersebut menghasilkan
aliran-aliran filsafat Wedanta. Secara umum aliran filsafat Wedanta ada
tiga ya ng terkenal yakni: aliran Adwaita oleh Sankara, Wasistadwaita
oleh Ramanuja dan aliran Dwaita oleh Madhwa.
Pokok dari agama Weda
seperti yang tampak pada kitab-kitab Weda itu tetap besar pengaruhnya
didalam perkembangan agama Hindu. Tetapi walaupun kitab-kitab Weda itu
masih tetap menjadi kitab-kitab tersuci orang-orang Hindu, kitab-kitab
itu sudah tidak mempunyai arti yang besar lagi bagi praktek agama.
Bahkan di jawa nampaknya kitab-kitab Weda itu tidak pernah dikenal.
Bahasa yang digunakan didalam weda-weda itu tak lama kemudian tidak
terbaca lagi oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu tidak berselang lama
sudah ditulis orang berbagai tafsiran(komentar) tentang Weda-Weda itu.
Komentar-komentar ini dimulai pada apa yang disebut “Brahmana “.
a. Aliran Filsafat Wedanta
Filsafat ini sangatlah kuno;yang berasal dari kkumpulan literatur
bangsa Arya yang dikenal dengan nama Veda. Vedanta ini merupakan bunga
diantara semua spekulasi, pengalaman dan analisa yang terbentuk dalam
demikian banyak literatur yang dikumpulkan dan dipilih selama
berabad-abad. Filsafat vedanta ini memiliki kekhususan. Yang pertama, ia
sama sekali impersonal, ia bukan dari seseorang atau Nabi.
Sistem
filsafat wedanta juga disebut uttara Mimamsa kata”wedanta” berarti”akhir
dari weda. Sumber ajarannya adalah kitab upainishad. Maharsi V yasa
menyusun kitab yang bernama Wedantasutra. Kitab ini dalam Bhagavad Gita
disebut Brahmasutra. Oleh karna kitab Wedanta bersumber pada kitab-kitab
Upanishad, Brahmasutra dan Bhagavad Gita, maka sifat ajarannya adalah
absolutisme dan teisme. Absolutisme maksudnya adalah aliran yang
meyakini bahwa Tuhan yang Maha Esa adalah mutlak dan tidak berpribadi
(impersonal God), sedangkan teisme mengajarkan Truhan yang berpribadi
(personal God).
1. Adwaita
Sistem Wedanta yang terbesar
dan terkenal adalah Adwaita, artinya “tidak dualisme” maksudnya Adwaita
menyangkal bahwa kenyataan ini lebih dari satu (Brahman), walaupun
demikian sistim ini bukan bersifat monistis yang mengajarkan bahwa
segala sesuatu dialirkan dari satu azas saja, melainkan disamping dari
Brahman masih ada Atman yang merupakan sumber kekuatan.
Penganjur
yang terbesar dan terbanyak pengaruhnya dari aliran ini adalah
sankara(788-820 masehi). Sankara ragu-ragu akan ketentuan dari Upanisad
yang menyatakan bahwa dunia ini diciptakan oleh Brahman, akan tetapi
tidak percaya akan keaneka ragaman di alam ini sebagai yang di anjurkan
oleh Ramanuja. Kalau dunia betul-betul ada dengan nyata,maka tidak
mungkin keaneka ragaman itu,tidak ada. Dengan pemikiran ini berusaha
untuk mempertemukan pendapat-pendapat yang bertentangan itu dengan
berdasarkan pada upacara dalam Sweta Swatara Upanisad, yang menyatakan
bahwa asal (prakrti) dari pada dunia ini terletak pada kekuatan sulap
(maya) . Dengan demikian Brahman dengan kekuatannya MayaNya dapat
memperlihatkan segala yang kita lihat ini, sehingga menghalangi
pengetahuan kita yang sebenarnya itu yaitu Brahman dengan
keanekaragamannya.
Kekuatan Maya dari Brahman dapat menipu diri manusia,antara lainn:
• Membuat manusia tetipu mengenai dunia yang kita liihat.
• Tertipu tentang apa yang sebenarnya Tuhan itu.
Ramanuja juga menguraikan tentang Maya, tetapi Maya yang dibayangkan
adalah sesuatu kekuatan yang maha indah dari pada Tuhan. Untuk
benar-benar menciptakan segala yang kita lihat di dunia ini, yaitu
sesuatu kekuatan yang menjadikan dunia dari kekuatan MayaNya, sebagai
yang digambarkan di depan, antara api dengan kekuatan membakarnya adalah
merupakan satu kesatuan yang permanen. Demikian pula Tuhan dengan
kekuatanNya adalah merupakan satu kesatuan. Pandangan ini berbeda dengan
Sankara yang mengakui juga maya itu kekuatan Tuhan, tetapi tidak
permanen.
Menurut Ramanuja, praktik yang merupakan bagian Tuhan
benar-benar mengalami suatu perubahan. Sedangkan Sankara berpendapat
bahwa Tuhan tak mengalami suatu perubahan dan segala yang kita lihat
berubah, hanya kelihatannya saja demikian, sebenarnya tidak. Sebagai
suatu contoh perubahan itu dapat dilihat antara lain:
• Perubahan
wiwarta yakni; perubahan pandangan terhadap kenyataannya. Sesungguhnya
tidak berubah, tetapi kelihatannya saja yang berubah. Seperti melihat
ular sebagai tali, melihat awan sebagai orang-oranga, dan lain
sebagainya. Apa yang dilihat tidak sesuai kenyataannya.
• Parinama,
adalah perubahan dari bentuk aslinya menjadi bentuk yang lain. Seperti
perubahan kelapa menjadi minyak, beras menjadi jajan dan lain
sebagainya.
Ramanuja berpendapat, bahwa perubahan itu benar-benar
Parinama, sedangkan Sankara menganggap bahwa perubahan itu hanyalah
Wiwarta. Walaupun demikian, tetapi keduanya percaya pada Sat-Karya-Wada
(Samkhya) yakni semuanya bersumber dari Brahman. Dari Brahmanlah
timbulnya segala yang nampak beraneka ragam ini.
Hubungan Brahmana dengan Atman
Menurut Sankara hubungan antara jiwa dengan Brahman tidak sama dengan
hubungan alam semata atau dunia dengan Brahman. Jadi jiwa tidak boleh
dipandang sebagai kenyataan Brahmana, sebab jiwa telah kena pengaruh
rajas dan tamas, walaupun jiwa adalah Brahmana seutuhnya. Jika hubungan
Brahmana dengan alam semesta digambarkan sebagai ular yang berasal dari
tali, maka hubungan jiwa dengan Brahmana digambarkan sebagai telur yang
dilihat dengan kaca kuning. Telur yang putih, jika dilihat dengan kaca
kuning akan tampak kuning juga. Sedangkan telurnya sendiri akan tetap
putih, hanya tampaknya saja kuning karena ada alat tambahan yang
disisipkan diantara telur dengan yang melihatnya. Telur disini
menggambarkan Brahman, sedangkan telur yang kelihatan kuning adalah
jiwa. Jelaslah bahwa jiwa bukanlah bayangan seperti halnya dengan alam
semesta atau dunia ini. Dalam kehidupan sehari-hari pengertian jiwa atau
“aku”mengandung dua pengertian yakni:
• Unsur yang identik dengan Brahman.
• Keadaan yang membatasi unsur yang identik dengan Brahman tadi,yaitu
alat bathin (Bhudi,ahamkara,manas termasuk panca Budhindra dan panca
Karmendhia),manusia.
Satu-satunya realitas yang ada, adalah Brahman.
Menurut Sankhara Brahman tidak dapat diuraikan dengan perantara sesuatu
yang serba terbatas. Sankhara memberikan suatu ulasan bahwa Brahman
memiliki dua rupa,dua bentuk atas dua wujud yakni;
• Para-rupa yakni rupa yang lebih tinggi.
• Apara-rupa yakni rupa yang lebih rendah.
Atman bukanlah sebagian dari Brahman, melainkan Brahman melainkan
Brahman seutuhnya. Oleh karena Atman adalah Brahman seutuhnya, maka
Atman memiliki sifat yang sama pula dengan Brahman yakni; berada
dimana-mana, tanpa terikat kepada ruang, Mahatahu,Mahakuasa,Mahaadil dan
bijaksana.
Pendapat Sankara terhadap pengetahuan
Menurut
Kamarilah,Weda tidak memiliki penyusun,baik manusia maupun Tuhan, akan
tetapi Sankara mengajarkan bahwa Tuhanlah yang menurunkan ajaran Weda.
Sekalipun demikian Weda bukanlah hasil karya Tuhan dalam arti yang
biasa, sebab Tuhan menurunkan wahyu yang diterima oleh para Resi yang
dihimpun menjadi Weda. Sankara juga mengatakan Weda akan tiada
kembalipada saat dunia pralaya (akhir jaman) kemudian akan muncul
kembali pada jaman berikutnya.
Ada dua macam pengetahuan yaitu;
pengetahuan yang lebih tinggi (para widya) dan pengetahuan yang lebih
rendah (apara widya) pengetahuan yang lebih tinggi didalamnya mengandung
segala macam kebenaran,meliputi sesuatu yang lebih mewujudkan segala
macam kebenaran, meliputi segala sesuatu yang mewujudkan kesatuan segala
sesuatu yaitu Brahman. Pengetahuan yang lebih rendah mengenai
pengetahuan dunia yang tampak ini, yang sebenarnya adalah khayalan
belaka.
Sarana untuk mencapai kelepasan atau menunggalnya dengan Brahman adalah:
• Melakukan disiplin yang praktis yang disebut dengan Wairagya yaitu
sikap tidak tertarik kepada duniawi. Orang yang berhasil melakukan itu,
akan mendapatkan kecakapan untuk membedakan antara hal-hal yang bersifat
sementara dan yang bersifat kekal, untuk meniadakan keinginan guna
menguatkan kegairahan melaksanakan disiplin dan menghindari kesusahan
untuk mendapatkan ketenangan dan kesederhanaan serta kesediaan menangkal
diri.
• Berusaha mendapatkan pengetahuan tentang kebenaran yang
tertinggi (jnana) dan mengubah pengetahuan itu menjadi pengalaman yang
langsung, yaitu dengan belajar kepada guru mengenai ajaran adwaita,
sehingga pengetahuan benar-benar bahwa Brahman adalah Atman, sehingga
lanjutnya berusaha mencerminkan pengetahuan itu didalam hidupnya dan
akhirnya merenungkan pengetahuan yang langsung.
Tuhan yang
berpribadi sebagai, satu-satunya kenyataan yang berdiri sendiri
(swatantra) dengan kata lain Madhwa mengakui/percaya. Dengan adanya
manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam.
Sistem Dvaita
mengaggap dirinya sama tuanya dengan kitab-kitab Upanisad. Pokok ajaran
Dvaita adalah perbedaan, dimana Madhva membuat perbedaan yang mutlak
antara Tuhan, obyek-obyek yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan
hanya Tuhan saja yang merupakan realitas yang merdeka. Dvaitamengakui
bahwa alam semesta ini nyata (realistis), dan menerima adanya Tuhan yang
berpribadi sebagai suatu kenyataan yang tertinggi (theistis). Segala
sesuatu yang ada tergantung sepenuhnya kepada Tuhan, Wisnu (Sumawa dan
Raka Krisnu, 1993 : 261).
Madvacharya menegaskan lima perbedaan besar, yaitu :
1. perbedaan antara Tuhan dan roh pribadi.
2. perbedaaan antara Tuhan dan materi.
3. perbedaan antara roh materi dan pribadi.
4. perbedaan satu roh dengan yang lainnya.
5. perbedaan antara materi yang satu dan yang lainnya.
Filsafat Madhva memiliki banyak titik persamaan dengan filsafatnya
Ramanuja. Dalam sistem filsafat Madhva, Hari atau Wisnu merupakan
keberadaan tertinggi. Alam adalah nyata dan perbedaannya adalah benar.
Semua jiwa bergantung kepada Tuhan. Tuhan Hari hanya dapat diketahui
melalui Weda. Pemujaan kepada Sri Krsna seperti yang diajarkan dalam
Bhagavata Purana merupakan pusat dari keyakinannya. Hal ini merupakan
intisari dari ajaran Madhvacharya (Sivananda, 1997 : 236-237).
Daftar Pustaka
1. I Gede Rudia Adiputra, Tattwa Darsana, (jakarta:Yayasan Dharma Sarathi,1990)
2. A.G. Honig,Ilmu Agama,(jakarta: PT BPK Gunung Mulia,1997)
3. Svami Vivekanada,Vedanta,(Surabaya;P aramita,2007)
4. Djam’annuri,agama kita
5. Diakses pada tanggal 05 Desember 2012 dari http://narayanasmrti.com/2011/ 10/17/ filsafat-dvaita-dari-madhvachar ya/
makalah revisi filsafat samkhya
filsafat samkhya
oleh ahmad syafiq
Dharsana dalam agama hindu
Dalam jangkamasa antara 500
tahun sebelum Masehi sampai 500 tahun sesudah Masehi Berlangsung perkembangan
aliran-aliran filsafat di dalam agama Hindu dengan sistem- sistem tinjauan
(dharsanas) tersendiri terhadap permasalahan keagamaan.[1]
Menurut tradisi India, Realitas
Mutlak (Ultimate Reality) itu hanya satu, tetapi disampingnya terdapat enam
interpretasi dasar mengenai Realitas, yang disebut Sad Darsana / Six Insight/
Enam Wawasan. Kata Sansekerta darsana
berasal dari asalkata ‘drs’ berarti melihat, yakni suatu istilah
Sansekerta untuk falsafat/filosofi. Sad Darsana/Keenam Wawasan tersebut
membentuk sistim falsafat klasik India yakni : Nyaya, vaesesika, samkhya, yoga,
Mimasa dan Vedanta. Para pendiri Sad Darsana yang asli tidak diketahui/dikenal.
Keenam wawasan/pengertian itu berangsur-angsur menjadi interpretasi mengenai
Realitas Mutlak, masing-masing saling berjalin sehingga hipotase dan metode
masing-masing saling bergantung satu dengan yang lain. Semuanya menuju ke
pengetahuan mengenai kebenaran Mutlak dan Kebebasan Roh /sukma /soul.[2]
Darsana
Nyaya Vaesesika
Samkhya Yoga Mimasa Vedanta
Sankhya
dan yoga, Mimasa dan Vedanta, Vaesesika, dan Nyaya, enanm sistem klasik, atau
enam filsafat, atau, secara lebih literer, enam sudut pandang (darsana,
dari kata drs “melihat”), dianggap sebagai enam aspek dari sebuah
tradisi ortodoks tunggal, Meskipun tampaknya dan secara lahiriyah saling
kontradiktif, keenam aspek tersebut dipahami sebagai proyeksi-proyeksi yang
saling melengkapi dari sebuah kebenaran tentang berbagai latar kesadaran,
institusi-institusi kebenaran dari sudut-sudut pandang yang berbeda seperti
pengalaman tujuh orang buta yang meraba-raba seekor gajah dalam fabel Budha
populer. Para pendiri enam sistem tersebut, yakni Kapila, Patanjali, Jaimini,
Vyasa, Gautama, dan Kanada, mungkin lebih dipandang sebagai aliran-aliran
daripada individu-individu. Tidak ada yang diketahui tentang merka itu kecuali
namanya. Sutra mereka banyak dijumpai pada bagian awal berbagai buku yang
ditulis oleh para pengulas dan karya-karya mereka sendiri yang mengundang
diskusi panjang; masing-masing karya berisi argumentasi-argumentasi yang saling
menyerang. Jika tidak ditulis oleh banyak ahli, karya-karya mereka tidak akan
bisa dipahami dengan jelas karena bukan karya para pemikir independen yang
berdiri sendiri, tetapi merupakan “benang-benang” (sastra) mnemonic
sebagai petunjuk pengajaran lisan ala India kuno dari guru kepada adhikarin-nya.[3]
Aliran samkhya
Samkhya itu bermakna : akal (reason).
Aliran Samkhya itu dibangun oleh Kapila. Aliran Samkhya itu membahas tentang
Jiwa dan tentang Materi beserta hubungan antara keduanya yang membangkitkan
Tabiat pada segala sesuatunya. Aliran Samkhya itu menunjukkan 25 buah kesatuan
(tattvas) yang amat menentukan di dalam proses kedirian, bagi pembentukan
pribadi.
Dua kesatuan yang paling azasi
dan saling bertentangan ialah purusha (jiwa) dan prakerti (materi,
benda). Jiwa itu tidak terbatas jumlahnya dan berisikan akal murni. Satu
persatunya berdiri sendiri-sendiri, tak terbagi, tak bersyarat, tak berobah,
dan abadi. Jiwa itu berkaitan dengan materi, yakni : prakriti, pradhana,
avyakta.
Pada mulanya prakeriti itu
berada dalam keadaan diam. Thariqat-thariqat dalam dunia mistik Islam
memanggilkan perikeadaan diam itu dengan alam-tsabitah. Prakriti itu
memiliki tiga sipat (gunas), yaitu :
1.
Sattvas, yakni kebijakan.
2.
Rajas, yakni hasrat.
3.
Tamas, yakni kegelapan.
Ketiga-tiga gunas itu masih berada dalam
pertimbangannya. Kemudian purusha (jiwa), sesuai dengan krama-nya
(kewajibannya), lantas menggerakanya. Prakriti bergetar, dan satu persatu gunas
itu lalu kehilangan perimbangannya. Dari pergerakan prakriti itu lahirlah 23
tattvas (kesatuan) lainnya.
Pertama-tama
lahir buddhi (akal), dan dari buddhi itulah berlangsung proses
kepribadian, yakni Ahamkara, yang bermakna : Aku adalah Pelaku. Ahamkara
itu suatu proses gerakan yang terus menerus, yang secara alamiah (kosmis) dan
secara kedirian (individualis), memperlihatkan ragam-beda (differensisasi).
Secara
kommis, Ahamkara itu melahirkan lima tanmatras (unsur terhalus) yaitu :
tanah, air, api, udara, dan ether. Dari lima unsur terhalus itu lahir lima mahabhuta
(unsur tanggapan yaitu : Keras, basah, hangat, embusan, dan cairan. Dan
semuanya itu sasaran bagi indra.
Secara
individualis, Ahamkara itu melahirkan lima buddhindraya (Indria yang
merupakan alat akal) yaitu : penglihatan, pendengaran, penciuman, rabaan, dan
citarasa. Dan dari situ lahir lima karmendrya (indria untuk bertindak)
yaitu : mata, telinga, hidung, kulit, dan lidah.
Tanmatras
dan buddhindrya itu punya hubungan dengan ingatan (mind) dan hubunga
itulah yang menentukan kepribadian sesuatu diri, yaitu pergumulan Hasrat dengan
Akal. Jalan satu-satunya untuk mencapai keselamatan (moksha) ialah melakukan
Yoga, karena, tubuh jasmani bisa terikat selamnya kepada karma dan samsara
sebelum tercapai moksha.[4]
samkhya
jiwa dan materi
purusa prakerti
satvas rajas tamas
budhi proses ahamkara
tanmatras
jiwa dan materi
purusa prakerti
satvas rajas tamas
budhi proses ahamkara
tanmatras
tanah api udara air ether
keras panas embusan cairan basah
mahabuta
budindraya
penglihatan pendengaran penciuman rabaan citarasa
mata telinga hidung kulit lidah
kamendriya
1. Konsep Purusa dan Prakerti
Hubungan antara prakerti dan
purusa diterangkan sebagai suatu perkawinan. Nisbah antara prakerti dan
purusa-asali diumpamakan seperti nisbah antara isteri dan suami. Cara orang
pada zaman kuno di banyak bagian dunia di Timur dan Barat berpikir terbelenggu oleh
pikiran, bahwa rahasia dunia itu hanya dapat dipahami sebagai suatu hubungan
perkawinan. Bandingkanlah misalnya dengan pendapat orang Tionghoa tentang
unsur-unsur asali yang dan yin. Bila pada sistim Sankhya nisbah antara purusa
dan prakerti dilukiskan sebagai perkawinan maka artinya demikian: Antara purusa
dan prakerti terdapat suatu daya tarik yang mendekatkan keduanya: eros atau
cinta. Daya tarik yang mendekatkan keduanya itu sebenarnya mempunyai maksud
membebaskan purusa sama sekali. Karena segala peristiwa di dunia terjadi dari
daya-tarik itu dan karena senantiasa dengan maksud supaya purusa itu menjadi
bebas, maka di sini diajarkan, bahwa segala di dunia itu bergerak menuju ke
suatu tujuan yang telah ditetapkan (sistim telelogis: telos berarti tujuan).
Nisbah yang tersembunyi antara purusa dan prakerti, yang dapat dibandingkan
dengan nisbah antara baja dan besi berani ditujukan supaya purusa itu mengenal
hakekatnya sendiri dan menolak prakerti sebagai sesuatu yang tidak tergolong
dalam hakekatnya purusa. Dalam hal itu prakerti sendiri ikut membantu, seperti
air susu yang tidak sadar (seperti seluruh alam tidak sadar) dengan begitu saja
keluar guna kepentingan anak lembu.
Hubungan
antara prakerti dan purusa disebut “samyoga”, artinya persenyawaan atau ikatan
(sam berarti bersama dan yoga, bandingkanlah dengan lungo dalam
bahasa Latin, berarti mengikat).
Siapakah
purusa itu? Di dalam sistim-Samkhya purusa itu sesutu yang sangat halus dan
tidak dapat diberi definisinya. Segala gejala psykhis, segala yang ada pada
kita termasuk benda pengamatan ilmu jiwa, oleh Sankhya di pandang sebagai
tergolong pada prakerti. Purusa hanya penonton (sakshin) saja pada
peristiwa-peristiwa dalam. Kita dapat berkata”. Jadi pada kita ada semacam
kembaran yang tidak merasakan, tidak berpikir, berkata dan berbuat. Jadi di
dalam manusia purusa itu bukanlah yang berbuat, tetapi yang menonton. Biasanya
prakerti itu disebut materi. Tetapi itu sebenarnya lain dengan apa yang kita
namakan materi. Prakerti adalah subtansi yang universal, yang tidak diberi
bentuk, ialah alam dalam arti kata yang seluas-luasnya. Prakerti itu tidak
mempunyai permulaan dan tidak dapat dibinasakan dan bersifat satu adanya.
Adanya prakerti harus diakui, karena apa yang kita lihat itu harus bergantung
kepada sesuatu yang lebih universal dan tetap (permanen), dan karena dunia itu
menimbulkan pikiran pada kita, bahwa alam semesta itu suatu kesatuan. Jadi
ajaran tentang sebab dan akibat (kausalitas) di sini dipergunakan untuk
membuktikan adanya prakrti. Tiap-tiap kejadian itu hanya wujud pernyataan
sesuatu, yang telah termuat di dalam sebabnya. Atau dengan perkataan lain:
prakrti adalah kemungkinan, di mana segala sesuatu yang ada belum diberi
bentuk. Jika alam (prakrti) itu tidak mempunyai permulaan dan tidak terbinasanakan,
maka tentulah alam itu senantiasa berubah, senantiasa giat, (aktif). Terhadap
kesatuan prakrti yang pokok terdapatlah sejumlah banyak purusa. Terhadap
kegiatan prakrti yang abadi terdapat ketenangan yang abadi, keadaan purusa yang
abadi.
Selanjutnya
di dalam prakerti terdapat ketiga bagian yang membentuk semesta yakni: sattva,
Rayas,
Tamas. Semua itu disebut: guna.
Sattva ialah “adanya yang ada”. Sattva adalah
unsur asali dari segala yang terang, yang memberi cahaya dan segala yang mulia.
Sattva itu juga sesuatu yang memberi kepuasan, yang memberi ketentraman, yang
menenangkan hati manusia.
Rayas
adalah nafsu yang berkobar dan tidak dapat di kekang, ialah sesuatu yang
menimbulkan rasa tidak senang dan tidak tentram.
Tamas
adalah kegelapan, yang berat, yang tidak bernafsu (yang indolen), yang muram,
merasa sedih, merasa hancur, dukacita. Anasir-anasir atau faktor-faktor pada
prakrti itu sendiri tidak dapat diamati, kita hanya dapat merasainya pada
segala yang ada ini. Seekor burung mempunyai sattva (cahaya) sebagai ciri;
tetapi harimau mempunyai rayas; ulat bercirikan tamas. Pada segala sesuatu terdapat
ketiga guna itu. Pada barang atau makhluk yang satu terdapat lebih banyak guna
macam ini, pada barang atau makhluk yang lain terdapat guna yang lebih banyak
pula. Benda atau makhluk yang dapat kita amati adalah rupa dari guna. Cahaya
adalah rupa dari sattva. Api badai, dan sebagainya adalah rupa dari riyas. Ulat
dan kuda air adalah rupa dari tamas.
Ketiga
guna itu menentukan segala peristiwa di dunia dan di dalam prakrti dalam bentuk
terbungkus, prakrti adalah hal kemungkinan, sama dengan hule di dalam
filafat Yunani.
Bagaimanakah
kita harus membayangkan hubungan (samyoga) antara prakrti dan purusa? Apabila
purusa dan prakerti itu saling dekat-mendekati, mulailah prakrti itu mencipta:
dari keadaan yang tidak terbentuk dan dari kemungkinan yang alami beralihlah
prakrti itu menjadi sesuatu yang berbentuk (rupa). Perhatikanlah, bahwa di sini
unsur yang mencipta itu adalah unsur perempuan. Purusa itu pemimpi, yang
dipengaruhi oleh lukisan-lukisan nafsu daripada prakrti. Di dalam keadaan ini
purusa itu megira bertindak sendiri dan belum mengerti, bahwa hanya prakrti
yang bertindak, sedang ia sendiri (purusa) hanya menjadi penonton saja
(sakshin). Dalam saling dekat mendekati dari prakrti dan purusa berkembanglah
kabut menyelimuti purusa, yang makin bertambah tebal.
Jika
prakrti dan purusa saling dekat mendekati, terjadilah proes yang banyak
selukbeluknya sebagai berikut:
1. Mula-mula lahirlah budi, kesadaran.
2. Unsur yang kedua ialah ahamkara, artinya sang
pembuat aku, kesadaran akan adanya suatu “ aku” (kesadaran –subyek).
3. Manas: kekuasaan untuk mengmati dan untuk memberi
reaksi terhadap apa yang telah diamati itu.[5]
2.Triguna
Prakrti
dibangun oleh triguna yaitu, rajas, dan tamas. Guna artinya unsur, atau
komponen penyusunan. Triguna itu tidak dapat kita amati dengan indra. Adanya
itu disimpulkan atas obyek dunia ini yang merupakan akibat dari padanya. Karena
adanya kesamaan azas antara akibat dan sebab, maka dapat kita ketahui
sifat-sifat guna itu dari alam yang merupakan wujud hasil dari padanya. Semua
obyek dunia ini memiliki tiga sifat yaitu sifat-sifat yang menimbulkan rasa
senang. Susah dan netral. Nyanyian burung yang menyenangkan seorang seniman,
menyusahkan orang sakit, tak berpengaruh apapun untuk orang yang acuh. Sebab
semua sifat ini merupakan akibat suatu sebab, maka sifat-sifat itu haruslah
terkandung dalam sattva, rajas dan tamas itu.
Sattwa
adalah suatu prakrti yang merupakan alam kesenangan yang ringan, yang tenang
bercahaya. Wujudnya berupa kesadaran sifat ringan yang menimbulkan gerak
keatas, angin dan air di udara dan semua bentuk kesenangan seperti kepuasan,
kegirangan dan sebagainya.
Rajas
adalah unsur gerak pada benda-benda ini. Ia selalu gerak dan menyebabkan benda-benda
ini bergerak. Ialah menyebabkan api berkobar, angin berhembus, pikiran
berkeliaran kesaana kemari. Ialah yang menggerakan sattwa dan tamas untuk
melaksanakan tugasnya.
Tamas
adalah unsur yang menyebabkan sesuatu menjadi pasip dan bersifat negatif. Ia
bersifat keras, menentang aktifitas menahan gerak pikiran hingga menimbulkan
kegelapan, kebodohan sehingga mengantar orang pada kebingungan. Karena
menentang aktifitas menyebabkan orang menjadi malas, acuh tak acuh, tidur.[6]
Ketiga
guna ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainya karena masing-masing saling
mengsuport yang lain sebagai satu kesatuan. Ibaratkan “lampu minyak” yang
terdiri dari unsur nyala, unsur minyak dan unsur lampunya, yang secara
sendiri-sendiri tidak akan dapat berfungsi. Dalam kaitan dengan konsep
penciptaan , pemeliharaan dan peniadaan, Sattwa adalah penciptaan Rajas adalah
pemeliharaan dan Tamas adalah peniadaan. Prakrti dicirikan oleh adanya tiga
guna diatas. Kata guna artinya adalah kwalitas atau sifat dari Prakrti, tetapi
tidak sekedar aspek permukaan dari alam materiil ini, tapi hakekat intrinsic
dari Prakrti. Guna-guna itu selalu berubah dari dalem dirinya sendiri walaupun
dalam keadaan keseimbangan, Cuma saja ia tidak menghasilkan apapun sepanjang
keseimbangan tidak terganggu. Bila keseimbangan terganggu maka guna-guna dalam
situasi gunaksobha, dimana masing-masing guna beraksi satu sama lainnya yang
diebabkan karena salah satu guna secara dominan tampil walaupun tidak
meniadakan guna-guna lainnya, dalam benda-benda material yang diam atau yang
tidak bergerak maka yang dominan adalah Tamas Guna dibangdingkan dengan dua Guna lainnya. Dalam sesuatu yang bergerak
maka Rajas Guna dominan dari pada dua guna lainnya. Demikianlah Guna-Guna itu
bekerja bersama-sama dalam membentuk alam semesta ini. Guna-guna itu dapat di
mengerti dari fakta berupa ciri-ciri dari Dunia marteriin ini,baik secara
eksternal maupun secara internal, baik itu berupa unsur fisik atau pikiran, yang
semuanya itu memiliki kemampuan dalam menghasilkan kesenangan, penderitaan atau
seimbang tidak keduanya. Suatu objek yang sama barangkali menyenangkan
seseorang tapi menyakiti bagi yang lainnya atau sama sekali tidak keduanya itu.
Seorang wanita yang cantik akan sangat menarik bagi pacarnya,tapi akan
menyakitkan wanita lainnya yang juga tertarik pada laki-laki pacar wanita
cantik itu, dan tidak ada apa-apanya bagi orang lain yang tidak
terlibat”kecantikan dari wanita itu menunjukkan adanya hubungan dengan
orang-orang lainnya disekitarnya, yang muncul dari Guna-guna yang ada pada
dunia ini. Dari contoh ini kita akan dibantu dalam memahami bagaimana
asal-usuldari semua fenomena Prakrti ang memiliki ciri-ciri yang dapatkita
temukan. Pada obyek-obyek dunia ini. Prekrti dan produk-produk yang
dihasilkannya membutuhkan guna-guna tersebut karena, prakrti dan produknya
tidak mempunyai kekuatan untuk membedakan dirinya dengan Purusa. Mereka adalah
Objek sedangkan Purusa adalah Subyek. Filsafa Samkhya menyatakan bahwa
keseluruhan alam semesta ini berkembang dari guna, dimana dalam keadaan ketiga
guna itu seimbang alami disebut Prakrti dan dalam keadaan tidak seimbang
disebut sebagai Vikrti, yaitu keadaan yang heterogen. Tiga guna ini oleh filsuf
Samkhya yang beraliran nonteistik dinyatakan sebagai penyebab terakhir dari
aktifitas (alam); dan Tamas adalah berat dan gelap, lesu atau menutupi (guru
danavarna). Guna itu tidak berbentuk dan selalu ada (omnipresent) yang dalam
keadaan seimbang menyerahkan sifat-sifatnya kedalam yang satu dengan yang
lainnya. Dalam keadaan tidak seimbang, rajas dikatakan sebagai pusat dari
sattva dan tamas, yang menghasilkan penciptaan karena memanifestasikan dirinya
dengan demikian rajas menghasilkan pasangan-pasangan yang berlawanan.sebaliknya
Raja juga tergantung dari Sattpa dan Tamas, karena aktifitas tidakakan terjadi
tanpa adanya obyek dan media leat mana ia beraktifitas. Dalam keadaan
memanifestasikan diri, salah satu guna mendominasi duaguna lainnya, tetapi
tidak pernah terjadi secara sepenuhnya terpisah atau absen satu sama lainnya
karena secara keseimbangan mereka bereaksi antara satu dengan yang lainnya.
Dengan pengaruh rajas maka kekuatan sattvika maka kecepatan yang tinggi dan
unit kekuatan itu terpecah menjadi bagian-bagian. Dalamtahapan tertentu
barangkal percepatan berkurang dan mereka mulai mendekat dan mendekat satusama
lainnya.kontraksi dari kekuatan Sattvika maka akan terbentuk Tamas, dan dalam
waktu yang bersamaan dorongan dari kekuatan aktif (rajas) juga terjadi pada
Tamas dan dalam kontraksi itu terjadilah ekspansi yang cepat. Dengan demikian
guna itu secara terus menerus merubah keunggulan mereka mengatasi yang lainnya.
Keunggulan Sattva dari Tamas dan sebaliknya, keunggulan Sattva pada Tamas
terjadi secara bersamaan dalam proses tersebut, dan pergantiian itu terjadi
pada setiap saat. Sattva dan Tamas dan dalam penampakannya merupakan terang dan
tidak berbobot sedang yang lain merupakan gelap dan berat. Tapi pasangan ini
bekerja secara bersama-sama dalam penciptaan dan peleburan seperti halnya
benda-benda bergerak dari yang halus. Ekspansi kekuatan energi yang tertimbun
dalam bentuk-bentuk yang halus, darimana ia memafestasikan dari dalam bentuk
keseimbangan yang baru. Keseimbangan yang sifatnya relatif ini merupakan suatu
tahapan tertentu dari proses evolusi itu sendiri. Memang kelihatannya ada suatu
konflikyang berkesinambungan antara guna-guna itu, tapi sesungguhnya ada
kerjasama yang sempurna selama proses penciptaan oleh karena lewat interaksi
yang berkesinambunganitulah aliran kosmis dan kehidupan individual terus
berlangsung. Guna-guna itu memiliki peranan yang sama dalam tubuh dan pikian
manusia sepertihalnya yang terjadi pada alam semesta secara keseluruhan.[7]
Contoh dari triguna
:
3.Evolusi
alam semesta.
Prakrti akan
mengembang menjadi alam ini bila berhubungan dengan purusa. Melalui perhubungan
ini prakerti dipengaruhi oleh purusa seperti halnya anggota badan kita dapat
bergerak karena hadirnya pikiran.
Evolusi alam semesta tidak mungkin
terjadi hanya karena purusa, karena ia bersifat pasif. Tidak juga hal itu dapat
terjadi karena ia tanpa kesadaran. Hanya karena perhubungan purusa prakerti ini
adalah seperti kerja sama orang lumpuh dengan orang buta untuk dapat keluar
hutan. Mereka bekarja sama untuk mencapai tujuannya.
Hubungan antara purusa dan prakrti
menyebabkan terganggunya keseimbangan dalam triguna. Yang mula-mula tergantung
ialah rajas yang menyebabkan guna yang lain ikut terguncang pula. Masing-masing
guna itu berusaha mengatasi kekuatan guna lainnya. Maka terjadilah pemisah dan
penyatuan triguna itu yang menyebabkan munculnya obyek yang kedua ini. Yang
pertama terjadi dari prakrti ialah Mahat dan Budhi. Mahat adalah benih besar
alam semesta ini sedangkan Budhi adalah unsur intelek.
Fungsi
budhi ialah untuk memberikan pertimbangan dan memutuskan segala apa yang datang
dari alat-alat yang lebih rendah dari padanya. Dalam keadaannya yang murni ia
bersifat dharma, jnana, vairagya dan aiswarya yaitu kebijakan, pengetahuan,
tidak bernafsu dan ketuhanan. Ia berada amat dekat dengan roh. Ahamkara atau
rasa aku adalah hasil prakrti yang kedua. Ia langsung timbul dari mahat dan
merupakan manifestasi pertama dari mahat. Fungsi Ahamkara ialah merasakan rasa
aku. Dengan ahamkara sang diri merasa dirinya yang bertindak, yang ingin, yang
bermilik.
Ada tiga macam ahamkara seuai
dengan guna mana yang lebih unggul dalam keinginan itu. Ahamkara itu disebut
sattwika bila unsur sattwa yang unggul, rajasa bila rajas yang unggul dan
tamasa bila tamas yang unggul.
Dari sattvika timbullah panca
jnanendriya, panca karmendriya dan manas. Dari tamasa lahirlah panca tanmatra
sedangkan rajasa memberikan tenaga baik pada sattwika maupun tamasa untuk
merubah mana berfungsi menuntun alat-alat tubuh untuk mengetahui dan bertindak.
Panca tanmatra adalah sari-sari
benih suara, sentuhan, warna, rasa dan bau. Semuanya ini hanya diketahui orang
akibat yang ditimbulkannya, sedangkan ia sendiri tidak dapat dikenal karena
amat halusnya.
Dari benih suara
terjadilah Akasa.
Dari benih sentuhan
dan suara terjadilah udara.
Dari benih warna,
suara dan sentuhan terjadi cahaya atau api.
Dari benih suara,
sentuhan dan warna terjadi air.
Dan dari benih baru
dan empat tanmatra yang lain terjadi bumi.
Dari semua anasir kasar itu
berkembanglah alam semesta ini dengan segala isinya, namun perkembangan ini
tidak menimbulkan azas-azas baru lagi seperti perkembangan mahat. Alam semesta
ini dengan segala isinya, namun perkembangan mahat. Alam semesta adalah
benda-benda yang dijadikan bukan benda-benda yang menjadikan.
Suatu
azaz lagi setelah terbentuknya alam semesta ini, belumlah sempurna sampai
disitu, sebab ia memerlukan adanya dunia roh yang menjadi saksi dan yang
menikmati isi alam ini. Bila roh nyata ada, maka perlulah adanya penyesuaian
moral, kenikmatan dan kesusahan hidup ini. Evolusi prkrti menjadi dunia obyek
memungkinkan roh nikmat atau menderita sesuai dengan baik buruk perbuatanya.
Namun tujuan akhir evolusi prakrti ialah kelepasan.[8]
4.Ajaran tentang kelepasan.
Hidup
didunia ini adalah campuran antara senang dan susah. Banyak kesenangan dapat
dinikmati, banyak pula kesusahan dan sakit yang diderita orang. Bila orang
dapat menghindari diri dari kesusahan dan sakit, maka ia tak dapat menghindari
diri dari ketuaan dan kematian. Ada tiga macam sakit dalam hidup ini yaitu
adhyatmika, adhibautika, dan adhidaiwika.
Adhyatmika adalah sakit karena sebab-sebab
dari dalam badan sendiri seperti kerja alat-alat tubuh yang tidak normal dan
gangguan perasaan. Dengan demikian ia merupakan gangguan perasaan. Dengan
demikian ia merupakan gangguan jasmani dan rokhani seperti sakitkepala, takut,
marah, dan sebgainya.
Adhibautika adalah sakit yang disebabkan oleh
faktor luar tubuh, seperti terpukul, kena gigitan nyamuk dan sebagainya.
Dan adidaiwika adalah sakit karena tenaga
gaib seperti setan, hantu dan lain-lainnya.
Tidak
ada seorangpun yang ingin menderita sakit, semuanya ingin hidup bahagia lepas
dari susah dan sakit. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Selama orang masih
berbadan lemah, selama itu suka dan duka, sakit dan sehat selalu berdampingan.
Dengan demikian kita perlu bercita-cita hidup bersenang-senang selalu, cukup
hidup biasa-biasa saja dengan berusaha melepaskan penderitaan atas dasar
pikiran sehat.
Dalam
ajaran samkya kelepasan itu adalah penghentian yang sempurna dari semua
penderitaan. Inilah tujuan terakhir dari hidup kita. Kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi memperingan hidup kita, namun tidak dapat melepaskan kita dari
penderitaan sepenuh-penuhnya. Samkhya mengajarkan bahwa cara mencapai kelepasan
itu ialah melalui pengetahuan yang benar atas kenyataan dunia ini.
Tiadanya pengetahuan itulah yang menyebabkan
orang menderita. Dalam banyak hal orang-orang yang tidak punya pengetahuan
tentang hukum alam dan hukum kehidupan terbentur pada masalah yang membawanya
pada kesedihan. Berbeda halnya orang-orang yang berpengetahuan akan menerima
dan menikmati kenyataan itu tidak sempurna, maka ia tidak lepas dari
penderitaan sepenuhnya. Kelepasan itu hanya akan dicapai bila pengetahuan orang
akan kenyataan itu sudah sempurna.[9]
Dalam Sankhya dan Yoga,
pertentangan filsafat dan kosmologi sel kehidupan dualistik pra-Arya dengan
materi kehidupan di alam semesta akhirnya bisa disatukan menjadi ortodoksi
Brahman. Pertentangan ini bahkan menjadi salah salah satu bagian terpenting
dalam tradisi filsafat Hindu klasik yang komperhensif. Namun demikian, Kapila,
pendiri mitis ajaran sankhya, mula-mula dianggap heterodoks, dan tidak ada
nama-nama guru Brahman garis Vedic yang tampak di antara para penjelas Sankhya
dan Yoga awal. Pada kenyataan, ketidak kompatibilitasan mendasar idealisme
non-ganda Vedanta dengan realisme dualistik-pluralistik Sankhya dan Yoga masih
dapat dirasakan bahkan dalam Bhagavad Gita, meskipun sebenarnya salah
satu ciri pokok kitab sintesis yang agung ini adalah pemakaian bahasa-bahasa
dari dua tradisi yang bertentangan itu secara berdampingan untuk menunjukan
bahwa keduanya pada hakikatnya tidak berbeda. Pada abad ke-15, dalam Vedantasara,
dan lagi-lagi pada abad ke-16, dalam tulisan-tulisan Vijnanbhiksu, dua
filsafat tersebut dipaparkan secara berurutan yang menunjukkan bahwa keduanya
menguraikan seebuah kebenaran dari dua sudut pandang yang berbeda. Senyatanya,
para pendukung dua aliran ini di india telah berdamai selama berabad-abad
dengan saling meminjam konsep-konsep pokok untuk menguak misteri jalan menuju
ke tujuan yang sama, yakni moksa.[10]
Daftar Pustaka
[1] Joesoef Sou’yb, AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA, (Jakarta : Al Husna Zikra,
1996) cet 3
2 Harsa Swabodhi, BUDDHA DHARMA&HINDU DHARMA, (Sumatra Utara
:Yayasan Perguruan “BUDAYA”)
3. Dr.A.G.HONIG Jr. ILMU AGAMA,( Jakarta, Gunung mulia, 1997)
.4
I GEDE RUDIA ADIPUTRA, TATTWA DARSANA, (Jakarta, yayasan dharma sarath, 1990)
makalah revisi filsafat yoga
Filsafat Hinduisme Yoga
oleh faur rasyid
1. Pendahuluan
Ada banyak jalan untuk mencapai kebenaran tertinggi. Jalan yang berbeda-beda itu tampakanya memiliki tujuan yang sama yaitu sebuah penyatuan tertinggi antara Atman dengan Brahman. Kita lahir berulang kali untuk meningkatakan perkembangan evolusi jiwa. Dan masing-masing dari kita berada pada tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Karena itu tiap orang disiapkan untuk tingkat pengetahuan spiritual yanag berbeda pula. Semua jalan rohani yang ada di dunia ini penting karena ada orang-orang yang membutuhkan ajarannya. Penganut suatu jalan rohani dapat saja tidak memiliki pemahaman lengkap tentang sabda Tuhan dan tidak akan pernah selama masih berada dalam jalan rohani tersebut.
Jalan rohani itu merupakan sebuah batu loncatan untuk pengetahuan yang lebih lanjut. Setiap jalan rohani memenuhi kebutuhan rohani yang mungkin tidak dapat dipenuhi oleh jalan rohani yang lain. Tidak satupun jalan rohani yang memenuhi kebutuhan semua orang di segala tingkat. Saat satu individu masih tingkat pemahamannya tentang Tuhan dan perkembangan dalam dirinya, dia mungkin merasa tidak terpenuhi oleh pengajaran jalan rohani sebelumnya dan mencari jalan rohani yang lain untuk mengisi kekosongannya. Bila hal itu terjadi, maka orang tersebut telah meraih tingkat pemahaman yang lain dan akan merindukan kebenaran serta pengetahuan yang lebih luas, dan kemungkinan lain untuk tumbuh.
Dengan demikian kita tidak berhak untuk mencerca jalan rohani yang lain. Semua berharga dan penting di mata-Nya. Ada pemenuhan sabda Tuhan, akan tetapi kebanyakan oaring tidak meperolehnya di sini untuk bisa meraih kebenaran, kita perlu mendengarkan roh dan melepas ego kita. Dan Yoga sebagai salah satu jalan yang bersifat universal adalah salah satu jalan rohani dengan tahapan-tahapan yang disesuaikan dengan kemapuan spiritual seseorang. Secara historis, aliran yoga yang paling penting dalam Hinduisme adalah sistem klasik dan Patanjali.
2. Filsafat Yoga
a. Pengertian Filsafat Yoga
Yoga berasal dari bahasa Sanskerta berarti "penyatuan", yang bermakna "penyatuan dengan Sang Pencipta". Yoga merupakan salah satu dari enam ajaran dalam filsafat Hindu, yang menitikberatkan pada aktivitas tapa di mana seseorang memusatkan seluruh pikiran untuk mengontrol panca inderanya dan tubuhnya secara keseluruhan. Yoga secara harfiah berasal dari suku kata “yuj” yang memiliki arti menyatukan atau menghubungkan diri dengan Tuhan. Kemudian Patanjali memberikan definisi tentang yoga yaitu mengendalikan gerak-gerak pikiran. Ada dua hal yang penting sebagai seorang praktisi yoga adalah melatih secara terus menerus sekaligus tidak terikat dengan hal-hal duniawi. Secara spiritual Yoga merupakan suatu proses di mana identitas jiwa individual dan jiwa Hyang Agung disadari oleh seorang yogi, Yogi adalah orang yang menjalani yoga, orang yang telah mencapai persatuan dengan Hyang Agung.
Jiwa manusia dibawa kepada kesadaran akan hubungan yang dekat dengan sumber realitas (Hyang Widhi). Seperti setitik air yang bersatu dengan air di samudra. Yoga adalah ketenangan hati, ketentraman, keahlian dalam bertingkah laku, Segala sesuatu yang terbaik dan tertinggi yang dapat dicapai dalam hidup ini adalah Yoga juga, Yoga mencakup seluruh aplikasi yang inklusif dan universal yang mengantar kepada pengembangan / pembangunan seluruh badan, pikiran dan jiwa.
Kata Yoga artinya hubungan. Hubungan antara rokh berpribadi dengan rokh yang universal yang tidak berpribadi. Dalam hal ini Rsi Patanjali mengartikan yoga sebagai penghentian gerakannya pikiran.
Ajaran Yoga adalah anugrah yang luar biasa besarnya dari Rsi Patanjali kepada siapa saja yang melaksanakan hidup kerokhanian. Ajaran ini merupakan bantuan kepada mereka yang ingin menginsyafi kenyataan adanya roh sebagai azas yang bebas, bebas dari tubuh indrinya dan pikiran yang terbatas.
Yoga sebagai cara untuk menguasai pikiran, agar supaya kesadaran yang biasa diganti dengan yang luar biasa, sebagai bukti bahwa orang telah mendapat pengalaman mistis yang sungguh-sungguh, telah dikenal orang India sejak zaman kuna. Di zaman yang kemudian yoga menghubungkan diri dengan aliran agama dan filsafat yang bermacam-macam, atau mungkin lebih tepat dikatakan, bahwa tiap aliran mencoba memberikan dasar yang teoritis kepada yoganya.
Yoga dalam gerakannya berorientasi menciptakan suasana batin yang tenang untuk mencapai atau menyatu-nya ruh individu dan ruh universal. Muara dari orientasi tersebut adalah kedamaian batin yang merupakan landasan dari kebahagiaan manusia. Yoga mengajarkan ketenangan dalam menyikapi permasalahan atau konflik yang terjadi antara individu. Yoga menjawab permasalahan dalam cabang filsafat etika tentang apa yang menyebabkan kebahagiaan manusia.
Yoga merupakan implementasi dari etika dalam filsafat. Perkembangan yang terjadi dewasa ini, yoga yang ada saat ini berbeda dengan yoga pada awal kemunculannya. Dewasa ini, yoga memiliki ribuan aliran, namun terdapat 9 (Sembilan) aliran yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia, antara lain Jnana Yoga, Karma Yoga, Bhakti Yoga, Yantra Yoga, Tantra Yoga, Mantra Yoga, Kundalini Yoga, Hatha Yoga dan Raja Yoga. Beberapa diantara aliran yoga tersebut berorientasi pada proses penenangan hati dan dapat menjadi pengobatan alternatif. Namun yang sekarang banyak dipakai adalah Hatha Yoga atau penyatuan melalui penguasaan tubuh dan nafas secara olah fisik.
Sistem filsafat yang dipakai untuk mendasari sistem yoga terang diambil dari ajaran Sankhya. Sebab juga yoga mengajarkan bahwa :
Benda dan roh adalah kenyataan terakhir dari segala sesuatu ( prakrti dan purusa)
Bahwa jumlah purusa adalah banyak sekali
Bahwa alam semesta dialirkan satu sumber, yaitu prakrti
Keduapuluh lima azas yang diajarkan oleh sankhya, yaitu purusa dan prakrti dengan perkembangannya dari mahat hingga anasir kasar ( mahat, buddhi, ahamkara, manas, buddhendrya, karmendriya, tanmatra, dan mahabhuta) diterima juga oleh yoga, sekalipun dengan perubahan sana-sini.
Konsepsi yang paling penting di dalam sistem yoga adalah citta. Citta dipandang sebagai hasil pertama dari perkembangan prakrti, yang meliputi juga ahamkara dan manas. Jadi yang dimaksud dengan citta ialah gabungan buddhi, ahamkara, dan manas.
b. Tokoh Filsafat Yoga
Tokoh pertama dari filsafat yoga adalah Rsi Patanjali yang menulis dalam karyanya Yoga Sutra pada abad yang kelima masehi. Beliau pendiri sistim ajaran yoga, walaupun unsur-unsur ajarannya sudah ada sebelum karya tulis ini. Kemudian muncullah buku-buku komentar atas ajaran beliau seperti Byasa-bhasya tulisan Byasa Nitti tulisan Bhojaraja dan lain-lain.
Komentar-komentar ini menguraikan ajaran-ajaran yoga Rsi Patanjali yang ditulis dalam kalimat-kalimat pendek yang padat isinya. Pada kira-kira tahun 650-850Waysa menulis keterangan tentang isi buku Rsi Patanjali dengan memberikan tekanan kepada permenungan.
c. Isi Kitab Yoga Sutra
Yoga terdiri dari empat kitab dan tiap orang boleh memilih beberapa diantara yang empat itu sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing yaitu :
Bakthi yoga yaitu dengan sujud bakti, dengan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan.
Karma yoga yaitu dengan melakukan kewajiban-kewajiban dan perbuatan-perbuatan baik,dengan ikhlas tanpa pamrih.
Jnana yoga yaitu dengan jalan pengetahuan atau filsafat, tetapi yang dimaksud semula adalah pengetahuanyang berdasarkan intuisi.
Raja yoga yaitu dengan jalan mistik, yang terdiri dari beberapa tahap yang disebut dengan Assatangga Yoga. Ini merupakan jalan yang paling sulit yang hanya cocok bagi orang yang berbakatuntuk menjalankan tapa.
3. Etika Yoga
Dalam filsafat yoga maka yoga berarti penghentian kegoncangan-kegoncangan pikiran. Ada lima keadaan pikiran itu. Keadaan pikiran itu ditentukan oleh intensitas sattwa, rajas dan tamas. Kelima keadaan pikiran itu ialah:
a. Ksiptaartinya tidak diam-diam
Dalam keadaan ini pikiran diombang ambingkan oleh rajas dan tamas dan ditarik-tarik oleh objek indranya dan sarana-sarana untuk mencapainya. Pikiran melompat-lompat dari satu objek ke objak yang laint tanpa mengaso pada satu objek
b. Mudha artinya lamban dan malas
Ini disebabkan oleh pengaruh tamas yang menguasai alam pikiran. Akibatnya orang yang alam pikirannya demikian cenderung lebih bodoh, senang tidur dan sebagainya.
c. Wiksipta artinyabingung, kacau.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh rajas. Karena pengaruh ini pikiran mampu mewujudkan semua objek dan mengarahkannya kepada kebajikan, pengetahuan dan sebagainya. Ini merupakan tahap pemusatan pikiran pada suatu objek namun sifatnya sementara sebab akan sisusul lagi oleh kekuatan pikiran.
d. Ekagra artinya terpusat.
Disi citta terhapus dari cemarnya rajas sehingga sattvalah yang kuasa atas pikiran. Ini merupakan awal pemusatan pikiran pada suatu objek yang memungkinkan ia menetahui alamnya yang sejati sebagai persiapan untuk menghentikan perobahan-perobahan pikiran.
e. Niruddha artinya terkendali.
Dalam tahap ini berhentilah semua kegiatan pikiran, hanya ketenanganlah yang ada.
Ekagra dan Niruddha merupakan bantuan dan persiapan untuk mencapai tujuan akhir yaitu kelepasan. Ekagra bila berlangsung terus menerus disebut samprajnata yoga atau mediasi yang dalam yang padanya ada perenungan kesadaran akan suatu objek yang terang.
Ada empat macam samprajnana yoga menurut jenis obat renungannya, keempat jenis itu ialah :
a. Sawitarka ialah bila pikiran itu dipusatkan pada suatu objek benda kasar seperti arca dewa atau dewi.
b. Sawicara ialah bila pikiran itu dipusatkan pada suatu objek yang halus yang tidak nyata seperti tanmatra.
c. Sananda ialah bila pikiran itu dipusatkan pada suatu objek yang halus seperti rasa indranya.
d. Sasmita ialah bila pikiran itu dipusatkan pada asmita yaitu anasir rasa aku yang biasanya rokh menyamakan dirinya dengan ini.
4. Astangga Yoga
Ajaran sankhya yoga mengatakan bahwa kelepasan itu dapat mencapai melalui pandangan spiritual pada kebenaran rokh sebagai suatu daya hidup yang kekal yang berbeda dengan badan dan pikiran.
Pandangan spiritual seperti tersebut diatas ini hanya dapat dimiliki bila pikiran itu bersih. Tenang tak digoncangkan oleh apapun juga. Untuk meningkatkan kebersihan pikiran itu yoga mengajarkan adanya 8 jalan yang bertahap-tahap yang disebut astangga yoga yaitu :
a. Yama, yaitu dilarang melakukan kekerasan (himsa), berbohong, mencuri, seks bebas, rakus, iri hati.
b. Niyama, yaitu anjuran menjaga kebersihan lahir batin, lingkungan, kesederhanaan, bersyukur selalu untuk apa adanya, rajin belajar dan setia pada pasangan hidup, guru, orang tua, negara, dan seterusnya.
c. Asana, yaitu pelatihan atau posisi posisi hatha-yoga menyeluruh yang meliputi gerakan-gerakan sambil berdiri, duduk, berbaring dan juga secara akrobatis demi menjaga otot-otot persendian, organorgan bagian dalam dan luar tubuh.
d. Pranayama: Pernafasan yang dilatih secara sistematis, baik secara individual maupun berkelompok.
e. Pratihara: memusatkan pikiran dan perhatian ke dalam diri, membatasi diri dari berbagai rangsangan-rangsangan duniawi yang mengikat dan negatif melalui berbagai panca indra kita.
f. Dharana: memusatkan perhatian pada suatu hal dalam kehidupan ini, 6-7-8 harus dibawah guru spritual yang handal dan non pamrih.
g. Dhyana: meditasi ke arah ketenangan.
h. Samadi: pencerahan spritual akan hakekat diri manusia itu sendiri dan hubungannya dengan Sang Pencipta.
Kandungan metafisika dan etika dalam dunia filsafat sangat mengena jika melihat 8 (delapan) prinsip dasar dari yoga. Prinsip-prinsip tersebut mengarah pada hubungan antara jiwa (spiritual) yang dikelola melalui raga untuk mencapai ketenangan batin dalam meraih kebahagiaan.
5. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Yoga sebagai sebuah cara atau jalan untuk mengendalikan pikiran yang terobyektifkan serta kecendrungan alami pikiran dan mengatur segala kegelisahan-kegelisahan pikiran agar tetap tak terpengaruh sehingga bisa mencapai penyatuan antara kesadaran unit dan kesadaran kosmik.
Astangga yoga merupakan tahapan-tahapan yang harus dijalankan bagi seseorang yang ingin meningkatkan kualitas spiritual. Astangga Yoga berarti delapan tahapan yang harus dilaksanakan dalam beryoga. Bagian-bagian dari Astangga Yoga yaitu Yama (pengendalian), Nyama (peraturan-peraturan), Asana (sikap tubuh), Pranayama (latihan pernafasan), Prathyahara (menarik semua indrinya kedalam), Dharana (telah memutuskan untuk memusatkan diri dengan Tuhan), DHYANA(mulai meditasi dan merenungkan diri serta nama Tuhan), dan Samadhi (telah mendekatkan diri, menyatu atau kesendirian yang sempurna atau merialisasikan diri).
Aplikasi dari ajaran Astangga Yoga di jaman Kali Yuga ini masih sangat minim. Hal itu disebabkan karena jaman globalisasi membuat pola pikir seseorang untuk benar-benar berniat mengamalkan ajaran ini masih cukup rendah. Jika kita telusuri apa yang disebut Yoga oleh orang-orang moden sangat jauh berbeda dari sistem Yoga aslinya. Saat ini orang-orang hanya fokus mempraktekkan tingkatan Raja Yoga yang ketiga dan yang keempat, yaitu Asana (sikap duduk) dan Pranayama (teknik pernapasan) dan semata-mata hanya untuk alasan kesehatan, umur panjang bahkan meningkatkan nafsu birahai semata. Walaupun secara material bermanfaat, namun mereka tidak memahami tujuan utama dari sistem Yoga itu sendiri.
Pada dasarnya Yoga berarti penghubungan atau pengaitan jiva individual dengan Yang Maha Kuasa, dengan kata lain tujuan utama dari sistem Yoga adalah untuk menghubungkan diri kita yang rendah dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, bukan semata-mata hanya untuk kepentingan kesehatan dan hal-hal material lainnya. Dengan demikian syarat utama yang dimiliki oleh seorang calon praktisi Yoga adalah kepercayaan akan adanya Tuhan. Seorang yang atheis tidak bisa mengikuti sistem ini. Kalaupun dia mengikutinya, dia hanya akan mentok sampai pada tingkatan asana dan pranayama yang tujuannya hanya sebatas kesehatan fisik. Disamping itu, seorang praktisi Yoga juga harus memiliki dasar moral dan disiplin tinggi. Meskipun dikatakan bahwa selama kita ada dalam tubuh manusia, tidak perduli berapa umur kita, jenis kelamin dan kondisi fisik, namun tanpa dasar moral yang baik dipastikan seseorang tidak akan pernah bisa menapak sistem Yoga. Karena itulah dua tingkatan pertama memelihara sifat kejam, suka mabuk dan kejahatan-kejahatannya otomatis.
Daftar Pustaka
Adiputra, I Gede Rudia “Tattwa Darsana” Jakarta : Yayasan Dharma sarathi 1990
Ali, Matius “ Filsafat India” Tangerang : Sanggar Luxor 2010
Hadiwijono, Harun “ Sari Filsafat India” Jakarta : Gunung mulia 1985
Manaf, Abdul Mudjahid. “ Sejarah Agama-Agama” Jakarta : Raja Grafindo Persada 1994
http://id.wikipedia.org
Ada banyak jalan untuk mencapai kebenaran tertinggi. Jalan yang berbeda-beda itu tampakanya memiliki tujuan yang sama yaitu sebuah penyatuan tertinggi antara Atman dengan Brahman. Kita lahir berulang kali untuk meningkatakan perkembangan evolusi jiwa. Dan masing-masing dari kita berada pada tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Karena itu tiap orang disiapkan untuk tingkat pengetahuan spiritual yanag berbeda pula. Semua jalan rohani yang ada di dunia ini penting karena ada orang-orang yang membutuhkan ajarannya. Penganut suatu jalan rohani dapat saja tidak memiliki pemahaman lengkap tentang sabda Tuhan dan tidak akan pernah selama masih berada dalam jalan rohani tersebut.
Jalan rohani itu merupakan sebuah batu loncatan untuk pengetahuan yang lebih lanjut. Setiap jalan rohani memenuhi kebutuhan rohani yang mungkin tidak dapat dipenuhi oleh jalan rohani yang lain. Tidak satupun jalan rohani yang memenuhi kebutuhan semua orang di segala tingkat. Saat satu individu masih tingkat pemahamannya tentang Tuhan dan perkembangan dalam dirinya, dia mungkin merasa tidak terpenuhi oleh pengajaran jalan rohani sebelumnya dan mencari jalan rohani yang lain untuk mengisi kekosongannya. Bila hal itu terjadi, maka orang tersebut telah meraih tingkat pemahaman yang lain dan akan merindukan kebenaran serta pengetahuan yang lebih luas, dan kemungkinan lain untuk tumbuh.
Dengan demikian kita tidak berhak untuk mencerca jalan rohani yang lain. Semua berharga dan penting di mata-Nya. Ada pemenuhan sabda Tuhan, akan tetapi kebanyakan oaring tidak meperolehnya di sini untuk bisa meraih kebenaran, kita perlu mendengarkan roh dan melepas ego kita. Dan Yoga sebagai salah satu jalan yang bersifat universal adalah salah satu jalan rohani dengan tahapan-tahapan yang disesuaikan dengan kemapuan spiritual seseorang. Secara historis, aliran yoga yang paling penting dalam Hinduisme adalah sistem klasik dan Patanjali.
2. Filsafat Yoga
a. Pengertian Filsafat Yoga
Yoga berasal dari bahasa Sanskerta berarti "penyatuan", yang bermakna "penyatuan dengan Sang Pencipta". Yoga merupakan salah satu dari enam ajaran dalam filsafat Hindu, yang menitikberatkan pada aktivitas tapa di mana seseorang memusatkan seluruh pikiran untuk mengontrol panca inderanya dan tubuhnya secara keseluruhan. Yoga secara harfiah berasal dari suku kata “yuj” yang memiliki arti menyatukan atau menghubungkan diri dengan Tuhan. Kemudian Patanjali memberikan definisi tentang yoga yaitu mengendalikan gerak-gerak pikiran. Ada dua hal yang penting sebagai seorang praktisi yoga adalah melatih secara terus menerus sekaligus tidak terikat dengan hal-hal duniawi. Secara spiritual Yoga merupakan suatu proses di mana identitas jiwa individual dan jiwa Hyang Agung disadari oleh seorang yogi, Yogi adalah orang yang menjalani yoga, orang yang telah mencapai persatuan dengan Hyang Agung.
Jiwa manusia dibawa kepada kesadaran akan hubungan yang dekat dengan sumber realitas (Hyang Widhi). Seperti setitik air yang bersatu dengan air di samudra. Yoga adalah ketenangan hati, ketentraman, keahlian dalam bertingkah laku, Segala sesuatu yang terbaik dan tertinggi yang dapat dicapai dalam hidup ini adalah Yoga juga, Yoga mencakup seluruh aplikasi yang inklusif dan universal yang mengantar kepada pengembangan / pembangunan seluruh badan, pikiran dan jiwa.
Kata Yoga artinya hubungan. Hubungan antara rokh berpribadi dengan rokh yang universal yang tidak berpribadi. Dalam hal ini Rsi Patanjali mengartikan yoga sebagai penghentian gerakannya pikiran.
Ajaran Yoga adalah anugrah yang luar biasa besarnya dari Rsi Patanjali kepada siapa saja yang melaksanakan hidup kerokhanian. Ajaran ini merupakan bantuan kepada mereka yang ingin menginsyafi kenyataan adanya roh sebagai azas yang bebas, bebas dari tubuh indrinya dan pikiran yang terbatas.
Yoga sebagai cara untuk menguasai pikiran, agar supaya kesadaran yang biasa diganti dengan yang luar biasa, sebagai bukti bahwa orang telah mendapat pengalaman mistis yang sungguh-sungguh, telah dikenal orang India sejak zaman kuna. Di zaman yang kemudian yoga menghubungkan diri dengan aliran agama dan filsafat yang bermacam-macam, atau mungkin lebih tepat dikatakan, bahwa tiap aliran mencoba memberikan dasar yang teoritis kepada yoganya.
Yoga dalam gerakannya berorientasi menciptakan suasana batin yang tenang untuk mencapai atau menyatu-nya ruh individu dan ruh universal. Muara dari orientasi tersebut adalah kedamaian batin yang merupakan landasan dari kebahagiaan manusia. Yoga mengajarkan ketenangan dalam menyikapi permasalahan atau konflik yang terjadi antara individu. Yoga menjawab permasalahan dalam cabang filsafat etika tentang apa yang menyebabkan kebahagiaan manusia.
Yoga merupakan implementasi dari etika dalam filsafat. Perkembangan yang terjadi dewasa ini, yoga yang ada saat ini berbeda dengan yoga pada awal kemunculannya. Dewasa ini, yoga memiliki ribuan aliran, namun terdapat 9 (Sembilan) aliran yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia, antara lain Jnana Yoga, Karma Yoga, Bhakti Yoga, Yantra Yoga, Tantra Yoga, Mantra Yoga, Kundalini Yoga, Hatha Yoga dan Raja Yoga. Beberapa diantara aliran yoga tersebut berorientasi pada proses penenangan hati dan dapat menjadi pengobatan alternatif. Namun yang sekarang banyak dipakai adalah Hatha Yoga atau penyatuan melalui penguasaan tubuh dan nafas secara olah fisik.
Sistem filsafat yang dipakai untuk mendasari sistem yoga terang diambil dari ajaran Sankhya. Sebab juga yoga mengajarkan bahwa :
Benda dan roh adalah kenyataan terakhir dari segala sesuatu ( prakrti dan purusa)
Bahwa jumlah purusa adalah banyak sekali
Bahwa alam semesta dialirkan satu sumber, yaitu prakrti
Keduapuluh lima azas yang diajarkan oleh sankhya, yaitu purusa dan prakrti dengan perkembangannya dari mahat hingga anasir kasar ( mahat, buddhi, ahamkara, manas, buddhendrya, karmendriya, tanmatra, dan mahabhuta) diterima juga oleh yoga, sekalipun dengan perubahan sana-sini.
Konsepsi yang paling penting di dalam sistem yoga adalah citta. Citta dipandang sebagai hasil pertama dari perkembangan prakrti, yang meliputi juga ahamkara dan manas. Jadi yang dimaksud dengan citta ialah gabungan buddhi, ahamkara, dan manas.
b. Tokoh Filsafat Yoga
Tokoh pertama dari filsafat yoga adalah Rsi Patanjali yang menulis dalam karyanya Yoga Sutra pada abad yang kelima masehi. Beliau pendiri sistim ajaran yoga, walaupun unsur-unsur ajarannya sudah ada sebelum karya tulis ini. Kemudian muncullah buku-buku komentar atas ajaran beliau seperti Byasa-bhasya tulisan Byasa Nitti tulisan Bhojaraja dan lain-lain.
Komentar-komentar ini menguraikan ajaran-ajaran yoga Rsi Patanjali yang ditulis dalam kalimat-kalimat pendek yang padat isinya. Pada kira-kira tahun 650-850Waysa menulis keterangan tentang isi buku Rsi Patanjali dengan memberikan tekanan kepada permenungan.
c. Isi Kitab Yoga Sutra
Yoga terdiri dari empat kitab dan tiap orang boleh memilih beberapa diantara yang empat itu sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing yaitu :
Bakthi yoga yaitu dengan sujud bakti, dengan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan.
Karma yoga yaitu dengan melakukan kewajiban-kewajiban dan perbuatan-perbuatan baik,dengan ikhlas tanpa pamrih.
Jnana yoga yaitu dengan jalan pengetahuan atau filsafat, tetapi yang dimaksud semula adalah pengetahuanyang berdasarkan intuisi.
Raja yoga yaitu dengan jalan mistik, yang terdiri dari beberapa tahap yang disebut dengan Assatangga Yoga. Ini merupakan jalan yang paling sulit yang hanya cocok bagi orang yang berbakatuntuk menjalankan tapa.
3. Etika Yoga
Dalam filsafat yoga maka yoga berarti penghentian kegoncangan-kegoncangan pikiran. Ada lima keadaan pikiran itu. Keadaan pikiran itu ditentukan oleh intensitas sattwa, rajas dan tamas. Kelima keadaan pikiran itu ialah:
a. Ksiptaartinya tidak diam-diam
Dalam keadaan ini pikiran diombang ambingkan oleh rajas dan tamas dan ditarik-tarik oleh objek indranya dan sarana-sarana untuk mencapainya. Pikiran melompat-lompat dari satu objek ke objak yang laint tanpa mengaso pada satu objek
b. Mudha artinya lamban dan malas
Ini disebabkan oleh pengaruh tamas yang menguasai alam pikiran. Akibatnya orang yang alam pikirannya demikian cenderung lebih bodoh, senang tidur dan sebagainya.
c. Wiksipta artinyabingung, kacau.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh rajas. Karena pengaruh ini pikiran mampu mewujudkan semua objek dan mengarahkannya kepada kebajikan, pengetahuan dan sebagainya. Ini merupakan tahap pemusatan pikiran pada suatu objek namun sifatnya sementara sebab akan sisusul lagi oleh kekuatan pikiran.
d. Ekagra artinya terpusat.
Disi citta terhapus dari cemarnya rajas sehingga sattvalah yang kuasa atas pikiran. Ini merupakan awal pemusatan pikiran pada suatu objek yang memungkinkan ia menetahui alamnya yang sejati sebagai persiapan untuk menghentikan perobahan-perobahan pikiran.
e. Niruddha artinya terkendali.
Dalam tahap ini berhentilah semua kegiatan pikiran, hanya ketenanganlah yang ada.
Ekagra dan Niruddha merupakan bantuan dan persiapan untuk mencapai tujuan akhir yaitu kelepasan. Ekagra bila berlangsung terus menerus disebut samprajnata yoga atau mediasi yang dalam yang padanya ada perenungan kesadaran akan suatu objek yang terang.
Ada empat macam samprajnana yoga menurut jenis obat renungannya, keempat jenis itu ialah :
a. Sawitarka ialah bila pikiran itu dipusatkan pada suatu objek benda kasar seperti arca dewa atau dewi.
b. Sawicara ialah bila pikiran itu dipusatkan pada suatu objek yang halus yang tidak nyata seperti tanmatra.
c. Sananda ialah bila pikiran itu dipusatkan pada suatu objek yang halus seperti rasa indranya.
d. Sasmita ialah bila pikiran itu dipusatkan pada asmita yaitu anasir rasa aku yang biasanya rokh menyamakan dirinya dengan ini.
4. Astangga Yoga
Ajaran sankhya yoga mengatakan bahwa kelepasan itu dapat mencapai melalui pandangan spiritual pada kebenaran rokh sebagai suatu daya hidup yang kekal yang berbeda dengan badan dan pikiran.
Pandangan spiritual seperti tersebut diatas ini hanya dapat dimiliki bila pikiran itu bersih. Tenang tak digoncangkan oleh apapun juga. Untuk meningkatkan kebersihan pikiran itu yoga mengajarkan adanya 8 jalan yang bertahap-tahap yang disebut astangga yoga yaitu :
a. Yama, yaitu dilarang melakukan kekerasan (himsa), berbohong, mencuri, seks bebas, rakus, iri hati.
b. Niyama, yaitu anjuran menjaga kebersihan lahir batin, lingkungan, kesederhanaan, bersyukur selalu untuk apa adanya, rajin belajar dan setia pada pasangan hidup, guru, orang tua, negara, dan seterusnya.
c. Asana, yaitu pelatihan atau posisi posisi hatha-yoga menyeluruh yang meliputi gerakan-gerakan sambil berdiri, duduk, berbaring dan juga secara akrobatis demi menjaga otot-otot persendian, organorgan bagian dalam dan luar tubuh.
d. Pranayama: Pernafasan yang dilatih secara sistematis, baik secara individual maupun berkelompok.
e. Pratihara: memusatkan pikiran dan perhatian ke dalam diri, membatasi diri dari berbagai rangsangan-rangsangan duniawi yang mengikat dan negatif melalui berbagai panca indra kita.
f. Dharana: memusatkan perhatian pada suatu hal dalam kehidupan ini, 6-7-8 harus dibawah guru spritual yang handal dan non pamrih.
g. Dhyana: meditasi ke arah ketenangan.
h. Samadi: pencerahan spritual akan hakekat diri manusia itu sendiri dan hubungannya dengan Sang Pencipta.
Kandungan metafisika dan etika dalam dunia filsafat sangat mengena jika melihat 8 (delapan) prinsip dasar dari yoga. Prinsip-prinsip tersebut mengarah pada hubungan antara jiwa (spiritual) yang dikelola melalui raga untuk mencapai ketenangan batin dalam meraih kebahagiaan.
5. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Yoga sebagai sebuah cara atau jalan untuk mengendalikan pikiran yang terobyektifkan serta kecendrungan alami pikiran dan mengatur segala kegelisahan-kegelisahan pikiran agar tetap tak terpengaruh sehingga bisa mencapai penyatuan antara kesadaran unit dan kesadaran kosmik.
Astangga yoga merupakan tahapan-tahapan yang harus dijalankan bagi seseorang yang ingin meningkatkan kualitas spiritual. Astangga Yoga berarti delapan tahapan yang harus dilaksanakan dalam beryoga. Bagian-bagian dari Astangga Yoga yaitu Yama (pengendalian), Nyama (peraturan-peraturan), Asana (sikap tubuh), Pranayama (latihan pernafasan), Prathyahara (menarik semua indrinya kedalam), Dharana (telah memutuskan untuk memusatkan diri dengan Tuhan), DHYANA(mulai meditasi dan merenungkan diri serta nama Tuhan), dan Samadhi (telah mendekatkan diri, menyatu atau kesendirian yang sempurna atau merialisasikan diri).
Aplikasi dari ajaran Astangga Yoga di jaman Kali Yuga ini masih sangat minim. Hal itu disebabkan karena jaman globalisasi membuat pola pikir seseorang untuk benar-benar berniat mengamalkan ajaran ini masih cukup rendah. Jika kita telusuri apa yang disebut Yoga oleh orang-orang moden sangat jauh berbeda dari sistem Yoga aslinya. Saat ini orang-orang hanya fokus mempraktekkan tingkatan Raja Yoga yang ketiga dan yang keempat, yaitu Asana (sikap duduk) dan Pranayama (teknik pernapasan) dan semata-mata hanya untuk alasan kesehatan, umur panjang bahkan meningkatkan nafsu birahai semata. Walaupun secara material bermanfaat, namun mereka tidak memahami tujuan utama dari sistem Yoga itu sendiri.
Pada dasarnya Yoga berarti penghubungan atau pengaitan jiva individual dengan Yang Maha Kuasa, dengan kata lain tujuan utama dari sistem Yoga adalah untuk menghubungkan diri kita yang rendah dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, bukan semata-mata hanya untuk kepentingan kesehatan dan hal-hal material lainnya. Dengan demikian syarat utama yang dimiliki oleh seorang calon praktisi Yoga adalah kepercayaan akan adanya Tuhan. Seorang yang atheis tidak bisa mengikuti sistem ini. Kalaupun dia mengikutinya, dia hanya akan mentok sampai pada tingkatan asana dan pranayama yang tujuannya hanya sebatas kesehatan fisik. Disamping itu, seorang praktisi Yoga juga harus memiliki dasar moral dan disiplin tinggi. Meskipun dikatakan bahwa selama kita ada dalam tubuh manusia, tidak perduli berapa umur kita, jenis kelamin dan kondisi fisik, namun tanpa dasar moral yang baik dipastikan seseorang tidak akan pernah bisa menapak sistem Yoga. Karena itulah dua tingkatan pertama memelihara sifat kejam, suka mabuk dan kejahatan-kejahatannya otomatis.
Daftar Pustaka
Adiputra, I Gede Rudia “Tattwa Darsana” Jakarta : Yayasan Dharma sarathi 1990
Ali, Matius “ Filsafat India” Tangerang : Sanggar Luxor 2010
Hadiwijono, Harun “ Sari Filsafat India” Jakarta : Gunung mulia 1985
Manaf, Abdul Mudjahid. “ Sejarah Agama-Agama” Jakarta : Raja Grafindo Persada 1994
http://id.wikipedia.org
teks asli sruti dan smriti
2.1 Penciptaan Menurut Kitab Suci Veda
2.2 Penciptaan menurut kitab-kitab Purāṇa
Isi pokok kitab-kitab Purāṇa umumnya dikenal dengan Pancalaksana, yang terdiri dari: (1) Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus), (2) Pratisarga (penghancuran dan penciptaan kembali alam semesta), (3) Manvantara (masa dan perubahan Manu-Manu pada setiap masa), (4) Vamsa (cerita dinasti raja-raja yang berkuasa di bumi, dan (5) Vamsanucarita (dinasti raja-raja & Ṛṣi-Ṛṣi dan raja yang akan datang). Dalam uraian ini dibatasi hanya pada sarga
2.2.1 Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus)
Sarga adalah (proses) penciptaan (yang halus) berupa lima unsur (Panca Mahabhuta), obyek-obyek indriya, organ indriya dan pikiran, ego (ahamkara) dan prinsip kecerdasan kosmik (mahat), selanjutnya terganggunya keseimbangan dari sifat-sifat alam (guna/bhuta-matendriya-dhiyam janmasarga udaritah).
Di kitab-kitab Purāṇa yang lain digambarkan sebagai “evolusi mahat, karena terganggunya keseimbangan Triguna selanjutnya mendorong yang tidak termanifestasikan, avyakrita, yakni unsur materi yang pertama atau Prakriti), dari tiga lapis Ahamkara (keakuan dari Mahat) dan (tiga lapis Ahamkara) dari 5 unsur alam (Bhuta), (sebelas) organ indriya (Panca Budhiriya, Karmendriya dan pikiran) dan obyek-obyek indriya.
Penciptaan ada dua jenis, yaitu: (1). Alaukika (kedevataan) dan (2) Laukika (keduniawian).
Penciptaan Alaukika/kedevataan merupakan penciptaan yang terdiri dari 33 devata, saat itu Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk Yajna-Varaha, mewujudkan diri-Nya sebagai seekor babi hutan untuk menyelamatkan dunia. Penggambaran penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai seekor babi hutan (yang membunuh raksasa Hiranyaksa) tidak lain maksudnya adalah untuk selamatnya umat manusia, dan hal ini juga menggambarkan ajaran Karma Marga (jalan perbuatan).
Penciptaan Laukika (keduniawian), dimaksudkan adalah penciptaan yang menggambarkan evolusi dari alam semesta yang terdiri dari 28 unsur, empat unsur materi/alam (bhuta) dan waktu (kala). Episode yang menguraikan ajaran Kapila (dan istrinya) dalam kitab Bhagavata Purāṇa menggambarkan jalan pengetahuan (Jnana Marga
Di dalam kitab Bhagavata Purāṇa (XII.7.11) diuraikan sepintas tentang penciptaan ini ke dalam beberapa topik antara lain evolusi Mahat (prinsip dasar dari kecerdasan kosmik), dari bergejolak dan terganggunya keseimbangan dari Triguna yang belum termanifes (Prakriti, unsur materi/bahan yang permulaan), memimpin evolusi Triguna selanjutnya (tipe-tipe Vaikarika atau Sattvika, Rajasa dan Tamasa, tergantung dari dominasi masing-masing guna), evolusi berlaut pada unsur-unsur alam (bhuta), alat indriya, dan obyeknya (seperti unsur yang kasar dan devata yang bersemayam pada masing-masing organ indriya (Loc.Cit).
Lebih jauh tentang penciptaan ini digambarkan dalam kitab Agni Purāṇa (17.1-16), sebagai berikut:
Agni bersabda:
Aku akan menjelaskan sekarang penciptaan alam semesta, yang merupakan dari krida (lila) Sang Hyang Visnu (dalam Samkhya disebut Brahma). Beliaulah yang menciptakan sorga dan lain-lain. Pada permulaan ciptaan dan dilengkapi dengan sifat-sifat dan tanpa sifat-sifat (1).
1) Brahma, yang tidak menampakan diri, sesungguhnya Yang Ada. Saat itu tidak ada langit, siang atau malam, dan lain-lain. Sang Hyang Visnu masuk ke-dalam Prakriti (unsur materi) dan ke dalam Puruṣa (unsur kesadaran) dan menggerakkannya(2).
2) Pada saat penciptaan yang pertama kali terpencar adalah intelek (kecerdasan budi/mahat). Kemudian terwujudlah ego (ahamkara), selanjutnya disusul pertama dari keadaan natural (Vaikarika), kilauan cahaya (taijasa) unsur-unsur alam, dan sebagainya dan kegelapan (tamasa/yang menciptakan kebodohan(3).
3) Kemudian meluaplah ether (akasa) yang merupakan unsur dasar suara (sabda) dari ego (ahamkara). Kemudian angin (vayu) merupakan unsur dasar sentuhan (sparsa) dan api (teja) sebagai unsur dasar warna (rupa) menjadi ada dari padanya(4).
4) Air (apah) sebagai unsur dasar rasa (rāsa/menjadi ada) dari padanya. Tanah (prithivi) sebagai unsur bau (gandha). Dari kegelapan lahirlah ego, indriya (menjadi ada) yang nampak berkilauan(5).
5) Evolusi selanjutnya adalah terciptanya 10 kahyangan dan pikiran, sebelas indriya selanjutnya munculah Sang Hyang Svayambhu (yang ada dengan sendirinya), yakni Sang Hyang Brahma yang berkeinginan menciptakan berbagai tipe mahluk hidup(6).
6) Sang Hyang Brahma menciptakan air yang pertama. Air berhubungan dengan (disebut) sebagai narah, karena hal itu merupakan ciptaan spirit yang Tertinggi(7).
7) Dari pergerakkannya yang pertama dari semuanya itu, karenanya Ia disebut Narayana. Kemudian tergeletak (mengambang) telur di atas air yang warnanya keemasan(8).
8) Dari pada itu, Sang Hyang Brahma lahir dengan keinginannya sendiri, oleh karenanya kita mengenal sebagai yang lahir dengan sendirinya (Svayambhu). Hidup (di dalamnya) sepanjang tahun, karenanya disebut Hiranyagarbha, kemudian menjadikan telur itu dua bagian, yaitu menjadi sorga dan bumi. Di antara kedua bagian itu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan langit (9-10).
9) Sepuluh penjuru menyangga bumi yang mengambang di atas air. Kemudian Sang Hyang Prajapati (Brahma yang merupakan pencipta mahluk hidup dan alam semesta) berkeinginan mencipta, menciptakan waktu, pikiran, perkataan, keinginan, kemarahan, keterikatan dan yang lain-lain. Dari cahaya Ia menciptakan petir dan mendung, bianglala, dan burung-burung. Ia pertama menciptakan Parjanya (Indra, dewa hujan). Kemudian menciptakan Ṛgveda (Rcah), Yajurveda (Yajumsi), dan Samaveda (Samani) untuk menyelesaikan Yajña-Nya (11-13).
10) Mereka yang ingin menyelesaikan (Yajña), memuja para devata dengan (merapalkan) mantra-mantra tersebut. Mahluk hidup yang tinggi dan rendah diciptakan-Nya. Ia menciptakan Sanatkumara dan Rudra, yang lahir dari kemarahan-Nya (14).
11) Kemudian Ia menciptakan para Ṛṣi Marici, Atri, Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Vasistha, yang diyakini sebagai putra-putra yang lahir dari pikiran Sang Hyang Brahma (15).
12) Oh, Yang Mulia! Para Ṛṣi tersebut melahirkan (banyak) mahluk hidup, membagi diri-Nya atas dua bagian, separo menjadi laki-laki dan saparoh lagi menjadi perempuan. Selanjutnya Brahma melahirkan anak-anak-Nya melalui separoh bagiannya yakni bagian yang perempuan (16/Gangadharan, Vol.27, Part I, 1984: 39-41).
Pada bagian lain, kitab Agni Purāṇa (20.9.1-8) menjelaskan lebih terperinci proses penciptaan alam semesta yang digambarkan sebagai berikut:
1) Ciptaan pertama adalah intelek atau kecerdasan budi (mahat) dari Brahma. Ciptaan yang kedua adalah unsur materi yang sangat halus (tanMatra) yang dikenal dengan nama Bhutasarga (penciptaan elemen alam semesta/pañca mahabhuta (1).
2) Ciptaan yang ketiga adalah evolusi (vaikarikasarga) yakni penciptaan organ indriya (aindriyasarga). Ciptaan tersebut adalah ciptaan pertama (prakritasarga) yang ke luar dari intelek (kecerdasan budi) (2).
3) Ciptaan yang keempat adalah ciptaan dasar/utama (mukhyasarga). Sesuatu yang tidak bergerak dikenal sebagai dasar (penciptaan). Penciptaan kelima disebut penciptaan kualitas yang lebih rendah (tiryaksrota) yang dinamakan sebagai ciptaan mahluk di bawah manusia (seperti binatang, burung-burung, dan lain-lain (3).
4) Ciptaan yang keenam adalah mahluk-mahluk yang lebih tinggi (urdhvasrota) dikenal sebagai ciptaan kahyangan. Penciptaan yang ketujuh disebut ciptaan menengah (arvaksrota), yakni terciptanya umat manusia (4).
5) Ciptaan yang kedelapan adalah Anugrahasarga (kasih sayang devata), disusun dari karakter (Sattvika dan Tamasika). Kelima ciptaan yang terakhir dikenal dengan Vaikritasarga (ciptaan subyek yang akan berubah). Ciptaan yang kesembilan disebut Kaumarsarga (penciptaan Sanatkumara, dan lain-lain). demikianlah sembilan ciptaan sang Hyang Brahma yang merupakan dasar terciptanya alam semesta (5-6).
6) Bhrigu dan lain-lain mengawini Khyāti dan putri-putri yang dari Daksa. Ciptaan terdiri dari tiga jenis disebut orang, yaitu yang selalu (biasa) berlangsung (nitya), penciptaan yang menimbulkan ciptaan yang lain (naimittika) dan yang berlangsung setiap hari (dainandinì). Ciptaan yang sedang berlangsung ketika masa peleburan disebut Dainandinì. Penciptaan yang selalu berlangsung (tiada hentinya) disebut nitya (7-8).
Teori penciptaan alam semesta (sarga) yang dikenal dengan sembilan ciptaan Sang Hyang Brahma diuraikan pula secara sistematis dan terinci dalam kitab Brahmanda Purāṇa, yang dapat diringkas (direkapitulasi), sebagai berikut.
1) Ciptaan pertama
(1). Mahat (ciptaan kesadaran yang tinggi)
(2). Tanmatra (ciptaan disini disebut juga Bhutasarga)
(3). Vaikarika (ciptaan Aindriyasarga)
Seluruh ciptaan di atas adalah ciptaan Prakrita (dari kata Prakriti), sebagai awal ciptaan.
1) Penciptaan yang kedua
(4). Mukhyasarga (ciptaan yang tidak bergerak)
(5). Tiryaksrota (ciptaan mahluk rendahan dan binatang)
(6). Urdhvasrota (ciptaan berupa dewa-dewa dan mahluk-mahluk sorga).
(7). Arvaksrota (ciptaan umat manusia)
(8). Anugrahasarga (baik Sattvika maupun Tamasika)
Kelimanya (4-8) tersebut di atas disebut Vaikrita (ciptaan kedua) dan fungsi mereka tanpa kesadaran atau bagian depan (sebelum) pengetahuan (a-budhi-purvaka).
2) Penciptaan (setelah) kedua (?)
(9). Kaumarasarga (penciptaan putra-putra yang lahir dari pikiran). Ketika Sanatkumara dan yang lain-lain menjadi seorang Yogi dan tidak melahirkan putra-putra, Sang Hyang Brahma (I.1.5.70-76) menciptakan putra-putra yang lahir dari pikiran-Nya kembali, maka lahirlah: Bhrigu, Angirasa, Marìci, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha dari berbagai bagian badan-Nya (Tagare, Vol.22, Part I, 1993: XXXIV).
G. V. Tagare dalam terjemahan kitab Vayu Purāṇa, pada bagian kata pengantarnya (XXIII) menyatakan bahwa tentang penciptaan alam semesta (Sarga) bahwa di dalam kitab-kitab Purāṇa ditemukan tiga teori tentang penciptaan alam semesta, yakni (1). Teori Samkhya-Vedānta, (2). Teori Purāṇa dan (3). Teori Samkhya. Berikut dijelaskan ketiga teori tersebut:
1) Teori Samkhya-Vedānta. Penciptaan mulai dengan prinsip dasar yang disebut Mahat dan berakhir dengan Visesa, yakni perbedaan antara lima unsur yang sangat halus dan yang kasar (kasat mata) yang disebut Pañca Mahabhuta dan Pañca Tanmatra. Sumber alam semesta adalah Brahman yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir, tidak dilahirkan, dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Pada awalnya adalah kegelapan dan Ia yang meresapi seluruh alam semesta yang diselubungi dalam kegelapan (Ia yang tidak termanifest), saat itu Guna dalam keadaan seimbang. Brahman juga disebut Atman. Pada awal penciptaan Ksetrajña (Devata Tertinggi) memimpin Pradhana, menggerakkan Guna dan prinsip dasar Mahat berkembang. Ketika Guna Sattva menjadi sangat dominan di dalam Mahat, unsur spirit yang sangat halus pada jasmani berkembang dan dipimpin oleh Ksetrajña.
Kitab-kitab Purāṇa memberikan etimologi yang populer dari sinonim Brahman, Ksetrajña, dan lain-lain, semacam Samanvaya dan perbedaan istilah dan teori. Ketika Mahat didorong (oleh keinginan Tuhan Yang Maha Esa), terciptalah alam semesta yang besar, Samkalpa (kekuatan pikiran) dan Adhyavasaya (kebulatan/tekad) dalam 2 tendensi (Vritti-dvayam/ I.1.4,16). Teori sintese Samkhya-Vedānta tentang penciptaan ini dapat dijumpai dalam beberapa Purāṇa, antara lain: Agni Purāṇa XVII.2-26, Brahmanda Purāṇa I.1.3.6, dan Kurma Purāṇa I.2.3.
2) Teori Purāṇa. Ksetrajña disebut Brahma yang bangkit dari telur kosmos. Ia adalah mahluk yang pertama mengambil wujud (yang berwujud pertama kali). Ia pencipta dari seluruh Pañca Mahabhuta (baik unsur material maupun mahluk hidup). Hiranyagarbha (Brahman) dalam empat wajah adalah Ksetrajña, baik pada saat penciptaan maupun pada saat Pralaya (penghancuran) alam semesta. Telur kosmos terdiri dari tujuh dunia, bumi dengan tujuh benua, samudra-samudra dan segala sesuatunya termasuk matahari, bulan, bintang-bintang, Loka (Saptaloka) dan Aloka (Saptapatala). dari luar telur kosmos ini dilapisi oleh tujuh lapisan (I.1.1.44-45). Empat yang pertama terdiri dari 4 elemen, yaitu: air, api, angin dan ether (akasa), masing-masing selubung 10 kali lebih besar dibandingkan selubung yang pertama (sebelumnya/yang ditengahnya) dan tiga selubung lainnya terdiri dari Bhutadi, Mahat dan Pradhana yang tidak termanifest. Avyakta (yang tidak termanifest) disebut Ksetra dan Brahma disebut Ksetrajña. Prakrita-sarga dipimpin oleh Brahma. Penciptaan berlangsung tanpa pra-rencana (abuddhipurvaka) seperti halnya kerdipan cahaya (I.1.4.68.-78).
3) Teori Samkhya. Teori Vedānta, Samkhya dan Purāṇa dipadukan dalam teori ini. Analisis yang terang ditunjukkan bahwa Prakrita Sarga adalah penciptaan dari Prakriti. Teori Samkhya yang teistik dapat lebih dijelaskan secara lebih ekplisit dinyatakan dalam uraian (II.5.104) sebagai berikut: “Sebelum penciptaan alam semesta adalah kondisi laya (keseimbangan) dari semua Guna. dalam wujudnya yang Avyakta (tidak termanifestasi), secara potensial terbentang seperti minyak susu (ghee) di dalam susu. Tuhan Yang Maha Agung, dengan kekuatan Yoga-Nya, menciptakan ketidak-seimbangan dari Tri Guna dan terciptalah Tiga Devata Utama (Tri Murti), Brahma (dari Rajas), Api atau Rudra (dari Tamas) dan Visnu (dari Sattva). Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa yang membagi diri-Nya ke dalam 3 fungsi utama itu”.
Di dalam kitab suci Veda terdapat
dua Sūkta (himne) yang secara khusus menguraikan tentang penciptaan jagat raya
yang dikenal dengan sebutan Nasadiyasūkta dan Puruṣasūkta. Yang pertama
menjelaskan asal atau kejadian alam semesta dan yang kedua merupakan dasar
filosofis Veda yang menyatakan bahwa segala sesuatunya berasal dari Yajña,
yakni pengorbanan Tuhan Yang Maha Esa yang mesti diikuti oleh umat-Nya sebagai
usaha untuk menjaga kelangsungan dan harmoni alam semesta.
2.1.1 Penciptaan Menurut Nasadiyasūkta
Berikut dikutipkan terjemahan Nasadiyazūkta
(Terjadinya Alam Semesta)(Ṛgveda X.129.1-7) tersebut.
Pada waktu itu, tidak ada mahluk
(eksistensi) maupun non makhluk (non eksistensi); pada waktu itu tidak ada
atmosfir dan juga tidak ada lengkung langit di luarnya. Pada waktu itu apakah
yang menutupi, dan di mana ? Airkah di sana, air yang tak terduga dalamnya (1)’
Waktu itu, tidak ada kematian, pun pula tidak ada kehidupan. Tidak ada tanda yang menandakan siang dan malam. Yang Esa bernafas tanpa nafas menurut kekuatannya sendiri. Bernafas menurut kekuatan-Nya sendiri. Di luar Dia tidak ada apa pun juga (2)’
‘Pada mula pertama kegelapan ditutupi oleh kegelapan. Semua yang ada ini adalah keterbatasan yang tak dapat dibedakan. Yang ada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tapas (tenaga panas) yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong (3)’
‘Pada awal mulanya keinginan menjadi bermanifestasi. Yang merupakan benih awal dan benih semangat. Para Ṛṣi setelah meditasi dalam hatinya menemukan dengan kearifannya hubungan antara eksistensi dan non eksistensi (4)’
‘Sinar-Nya terentang ke luar, apakah ia melintang, apakah ia di bawah atau di atas. Kemudian ada kemampuan memperbanyak diri dan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya, materi gaib ke sini dan energi ke sana (5)’
‘Siapakah yang sungguh-sungguh mengetahui dan memapar-kannya di sini, dari manakah datangnya alam semesta yang menjadi ada ini? Orang-orang bijaksana lebih belakang dari ciptaan alam semesta ini, karena itu siapakah yang mengetahui dari mana munculnya (ciptaan) ini (6)’
‘Sesungguhnya Dia yang telah menciptakan alam semesta ini, serta mengendalikannya (di dalam kekuasaan-Nya). Dia yang mengawasi alam semesta ini berada di atas angkasa yang tak terhingga, sesungguhnya Dia mengetahui alam semesta ini seluruhnya dan Wahai Manusia! Janganlah mengakui eksistensi lain yang mana pun sebagai Pencipta alam semesta ini (7)’
Waktu itu, tidak ada kematian, pun pula tidak ada kehidupan. Tidak ada tanda yang menandakan siang dan malam. Yang Esa bernafas tanpa nafas menurut kekuatannya sendiri. Bernafas menurut kekuatan-Nya sendiri. Di luar Dia tidak ada apa pun juga (2)’
‘Pada mula pertama kegelapan ditutupi oleh kegelapan. Semua yang ada ini adalah keterbatasan yang tak dapat dibedakan. Yang ada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tapas (tenaga panas) yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong (3)’
‘Pada awal mulanya keinginan menjadi bermanifestasi. Yang merupakan benih awal dan benih semangat. Para Ṛṣi setelah meditasi dalam hatinya menemukan dengan kearifannya hubungan antara eksistensi dan non eksistensi (4)’
‘Sinar-Nya terentang ke luar, apakah ia melintang, apakah ia di bawah atau di atas. Kemudian ada kemampuan memperbanyak diri dan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya, materi gaib ke sini dan energi ke sana (5)’
‘Siapakah yang sungguh-sungguh mengetahui dan memapar-kannya di sini, dari manakah datangnya alam semesta yang menjadi ada ini? Orang-orang bijaksana lebih belakang dari ciptaan alam semesta ini, karena itu siapakah yang mengetahui dari mana munculnya (ciptaan) ini (6)’
‘Sesungguhnya Dia yang telah menciptakan alam semesta ini, serta mengendalikannya (di dalam kekuasaan-Nya). Dia yang mengawasi alam semesta ini berada di atas angkasa yang tak terhingga, sesungguhnya Dia mengetahui alam semesta ini seluruhnya dan Wahai Manusia! Janganlah mengakui eksistensi lain yang mana pun sebagai Pencipta alam semesta ini (7)’
Dari terjemahan mantram Ṛgveda di
atas dapat diketahui pandangan yang mendasar tentang misteri dari alam semesta
ini. Sūkta di atas menjelaskan tentang asal alam semesta dan Tuhan Yang Maha
Esa yang merupakan asal dari alam semesta tersebut. Sūkta pertama menjelaskan
bahwa pada mulanya adalah kosong, tidak ada apa pun benda material. Sūkta kedua
menjelaskan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa yang bernafas dengan kekuatan-Nya
sendiri. Sūkta ketiga menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kekosongan, tidak
ada sesuatu apa pun dan tanpa bentuk. Disebutkan pula dari pada-Nya tenaga
panas (energi) muncul yang merupakan proses awal penciptaan. Dari keinginan-Nya
muncul penciptaan dan hal ini dapat diketahui oleh para Ṛṣi yang bermeditasi
kepada-Nya (Sūkta 4). Sūkta kelima menjelaskan terciptanya benih-benih
kehidupan. Sūkta keenam dan ketujuh menjelaskan terjadinya alam semesta.
Klaus K. Klostermaier (1990:110) mengemukakan beberapa kata kunci untuk memahami proses penciptaan menurut Nasadiyasūkta di atas, yaitu: tapas, panas, kekuatan seorang Yogi (Ṛṣi) yang disebut sebagai yang bertanggung jawab pertama dalam proses penciptaan. Kama, keinginan atau dorongan nafsu (keinginan untuk mencipta) yang menyebabkan keserbaragaman dan yang melekat dalam ketidakabadian.
Klaus K. Klostermaier (1990:110) mengemukakan beberapa kata kunci untuk memahami proses penciptaan menurut Nasadiyasūkta di atas, yaitu: tapas, panas, kekuatan seorang Yogi (Ṛṣi) yang disebut sebagai yang bertanggung jawab pertama dalam proses penciptaan. Kama, keinginan atau dorongan nafsu (keinginan untuk mencipta) yang menyebabkan keserbaragaman dan yang melekat dalam ketidakabadian.
2.1.2 Penciptaan menurut Puruṣasūkta
Tentang penciptaan alam
semesta lebih jauh dinyatakan dalam Puruṣasūkta (Yajña Tuhan Yang Maha Esa) (Ṛgveda
X.90.1-16) yang terjemahannya dikutipkan sebagai berikut:
‘Puruṣa (Manusia Kosmos) berkepala seribu, bermata seribu, berkaki seribu, memenuhi jagat raya, pada semua arah, mengisi seluruh angkasa (1)’
‘Sesungguhnya Puruṣa adalah semua ini, semua yang ada sekarang dan yang akan datang, Dia adalah raja keabadian yang terus membesar dengan makanan (2)’
‘Demikian hebat kebenarannya. Dan Puruṣa bahkan lebih besar dari ini. Semua wujud ini adalah seperempat dari diri-Nya. Tiga perempat lagi adalah keabadian ada di sorga (3)’
‘Tiga perempat dari Puruṣa pergi membubung jauh. Seperempat lagi lagi berada di alam ini yang berproses terus menerus berselang-seling dalam berbagai wujud yang bernyawa dan yang tidak bernyawa (4)’.
‘Dari Dia Viraj (Dia Yang Bercahaya) lahir dan dari Virāj Dia kembali. Segera setelah Dia lahir Dia mengembang ke seluruh penjuru, mengembang mengatasi alam semesta (5)’
‘Ketika para Dewa mengadakan upacara kurban dengan Puruṣa sebagai persembahan, maka minyaknya adalah musim semi, kayu bakarnya adalah musim panas dan sajian persembahannya adalam musim gugur (6)’
‘Mereka mengorbankan sebagian korban pada rumput. Puruṣa yang lahir pada awal kejadian alam semesta. Pada Dia para Dewa dan semua Sadhya dan para Ṛṣi mempersembahkan kurban (7)’
‘Dari korban Puruṣa dipersembahkan keluarlah dadih dan mentega yang sudah bercampur. Kemudian Dia jadikan binatang-binatang yang padanya berbeda. Baik binatang buas maupun binatang jinak (8)’
‘Dari korban Puruṣa yang dipersembahkan, Ric (Ṛgveda) dan Sama (Samaveda) muncul. Dari Dia lahirnya metrik. Dari Dia lahirnya Yajus (Yajurveda) (9)’
‘Dari Dia lahirlah kuda dan binatang apa saja yang mempunyai gigi dua baris. Sapi lahir dari Dia. Dari Dialah lahirnya kambing dan biri-biri (10)’.
‘Ketika mereka menjadikan Puruṣa persembahan, menjadi berapa bagiankah Dia? Dan apakah mereka sebut paha kaki-Nya? (11)’
‘Dari mulut-Nya muncul Brahmana, dari lengan-Nya muncul Rajanya (Ksatriya), dari paha-Nya muncul Vaisya, dan Sudra muncul dari kaki-Nya (12)’
‘Bulan muncul dari pikiran-Nya, matahari dari mata-Nya, Indra dan Agni muncul dari mulut-Nya, dan Vayu dari nafas-Nya (13)’.
‘Dari pusar-Nya cakrawala ini muncul, dari kepala-Nya muncul langit, dari kaki-Nya muncul bumi, dari telingap-Nya lahir keempat penjuru mata angin, demikianlah Dia membentuk alam semesta ini (14)’.
‘Tujuh pagar kelilingnya upacara korban itu, tiga kali enam potong kayu bakar disiapkan, ketika para Dewa mempersembahkan upacara itu yang menjadikan Puruṣa sebagai kurban (15)’
‘Dewa-dewa dengan mengandakan upacara korban memuja Dia (Manusia Kosmos) yang juga merupakan upacara korban itu. Dia yang agung mencapai sorga yang mulia tempat para Sadhyas, Dewa-Dewa zaman dahulu (16)’
Puruṣasūkta adalah sebuah Sūkta (himne) yang menjelaskan kondisi sebelum penciptaan dan pengejawantahan-Nya. Kondisi tersebut merupakan dua kondisi berubah dan kekal abadi, jagatas tasthusas. Hal tersebut merupakan proses abadi yang dari padanya Ia Yang Tidak Terbatas menjadi terbatas. Sūkta tersebut merupakan perubahan bentuk yang direncanakan dari Wujud Manusia Tertinggi (Supreme Person) dan proses terciptanya alam semesta. Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Sempurna dikenal oleh para mahārṣi (orang-orang suci). Mereka menggambarkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Yang Bercahaya seperti cahaya ribuan matahari, yang terletak di samping Kegelapan. Pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Tunggal, dinyatakan oleh para mahārṣi yang membebaskan pencari kebenaran dari segala keterikatan dan menjadikannya kekal abadi (Reddy, 1991: 175).
Puruṣa bukanlah semata-mata Manusia Kosmos, tetapi juga merupakan aspek personal dari seluruh realitas. Konsep manusia meliputi esensi hubungan internal. Segala sesuatunya merupakan bagian dari Yang Esa dan unik yakni Puruṣa. Dari Puruṣa, Viraj, emanasi kedewataan yang pertama menampakkan diri dan berproses. Makhluk yang tidak terciptakan, yang keberadaan-Nya berfungsi sebagai media dalam proses penciptaan, meningkatkan dan juga turun kepada semua makhluk, dan juga kepada keseluruhan aktivitas, Dia juga mengandung aspek feminin, tidak hanya dalam kaitannya dengan gender, tetapi juga dalam hukum-Nya (Panikkar, 1989:73).
Menurut Puruṣasūkta di atas, Tuhan Yang Maha Esa sendiri yang mengorbankan diri-Nya untuk menciptakan jagat raya ini, yang penampakkan-Nya di alam semesta dalam wujud materi hanya seperempat bagian sedang tiga perempat lainnya tidak terjangkau oleh umat manusia.
Seluruh jagat raya berasal dari pada-Nya melalui Viraj, proses alam semesta dan segala isi di dalamnya berlangsung. Proses penciptaan (sristi atau utpati) dan pemeliharaan (stiti) alam semesta ini berlangsung selama Tuhan Yang Maha Esa menghendakinya dan tentunya juga akan berakhir ketika Dia menghendakinya pula.
Proses tercipta, terpelihara, dan peleburan (pralaya) kembali alam semesta berserta seluruh isinya disebut Trikona, tiga titik kulminasi yang berlangsung terus. Proses tersebut juga dinamakan lila atau krida Tuhan Yang Maha Esa. Menurut A.L.Basham (1992:3240 motivasi penciptaan seperti tersebut, yakni berupa lila atau krida dari Jiwa Alam Semesta dapat dianalogikan dengan hasil karya seni yang muncul dari pikiran seorang artis.
Di samping mantra-mantra tentang peenciptaan seperti telah disebutkan di atas terdapat juga mantra yang menjelaskan tentang bibit abadi berupa telur berwarna keemasan (Hiranyagarbha) yang kemudian dari pada-Nya terciptalah seluruh jagat raya seperti dinyatakan dalam Ṛgveda X.121.1 berikut:
Pada awalnya terlahirlah Hiranyagarbha, Dia yang demikian menunjukkan eksistensinya, menjadi raja dari semua makhluk, Dia yang menyangga bumi dan sorga.
Di dalam kitab suci Veda dijelaskan tentang awal penciptaan alam semesta ini dan yang pertama eksis adalah Tuhan Yang Maha Esa sendiri, kemudian menjadikan diri-Nya sendiri sebagai Yajna dan kemudian berpikir “aham bahu syam”, “Saya ingin menciptakan yang banyak”. Sejak saat itu mulailah penciptaan alam semesta. Pertama-tama tercipta air. Di sanalah telur Hiranyagarbha berada. Telur itu kemudian pecah menjadi dua bagian, yaitu satu bagian menjadi bumi dan bagian yang lain menjadi angkasa. Segala proses penciptaan alam semesta baru dimulai setelah telur yang mengandung air itu pecah (Somvir, 2001:34-35).
Berdasarkan kutipan terjemahan mantra-mantra Veda di atas, maka penciptaan alam semesta menurut kitab suci Veda dimulai dengan tapas yang memancarkan cahaya (energi), selanjutnya Tuhan Yang Maha Esa berkehendak dan melaksanakan Yajña dan yang terakhir dari pada-Nya pula lahir bibit berupa telur keemasan (Hiranyagarbha) yang di alam semesta tampak plenet-planet yang demikian banyak jumlahnya berwujud sebagai telor dan berwarna keemasan.
‘Puruṣa (Manusia Kosmos) berkepala seribu, bermata seribu, berkaki seribu, memenuhi jagat raya, pada semua arah, mengisi seluruh angkasa (1)’
‘Sesungguhnya Puruṣa adalah semua ini, semua yang ada sekarang dan yang akan datang, Dia adalah raja keabadian yang terus membesar dengan makanan (2)’
‘Demikian hebat kebenarannya. Dan Puruṣa bahkan lebih besar dari ini. Semua wujud ini adalah seperempat dari diri-Nya. Tiga perempat lagi adalah keabadian ada di sorga (3)’
‘Tiga perempat dari Puruṣa pergi membubung jauh. Seperempat lagi lagi berada di alam ini yang berproses terus menerus berselang-seling dalam berbagai wujud yang bernyawa dan yang tidak bernyawa (4)’.
‘Dari Dia Viraj (Dia Yang Bercahaya) lahir dan dari Virāj Dia kembali. Segera setelah Dia lahir Dia mengembang ke seluruh penjuru, mengembang mengatasi alam semesta (5)’
‘Ketika para Dewa mengadakan upacara kurban dengan Puruṣa sebagai persembahan, maka minyaknya adalah musim semi, kayu bakarnya adalah musim panas dan sajian persembahannya adalam musim gugur (6)’
‘Mereka mengorbankan sebagian korban pada rumput. Puruṣa yang lahir pada awal kejadian alam semesta. Pada Dia para Dewa dan semua Sadhya dan para Ṛṣi mempersembahkan kurban (7)’
‘Dari korban Puruṣa dipersembahkan keluarlah dadih dan mentega yang sudah bercampur. Kemudian Dia jadikan binatang-binatang yang padanya berbeda. Baik binatang buas maupun binatang jinak (8)’
‘Dari korban Puruṣa yang dipersembahkan, Ric (Ṛgveda) dan Sama (Samaveda) muncul. Dari Dia lahirnya metrik. Dari Dia lahirnya Yajus (Yajurveda) (9)’
‘Dari Dia lahirlah kuda dan binatang apa saja yang mempunyai gigi dua baris. Sapi lahir dari Dia. Dari Dialah lahirnya kambing dan biri-biri (10)’.
‘Ketika mereka menjadikan Puruṣa persembahan, menjadi berapa bagiankah Dia? Dan apakah mereka sebut paha kaki-Nya? (11)’
‘Dari mulut-Nya muncul Brahmana, dari lengan-Nya muncul Rajanya (Ksatriya), dari paha-Nya muncul Vaisya, dan Sudra muncul dari kaki-Nya (12)’
‘Bulan muncul dari pikiran-Nya, matahari dari mata-Nya, Indra dan Agni muncul dari mulut-Nya, dan Vayu dari nafas-Nya (13)’.
‘Dari pusar-Nya cakrawala ini muncul, dari kepala-Nya muncul langit, dari kaki-Nya muncul bumi, dari telingap-Nya lahir keempat penjuru mata angin, demikianlah Dia membentuk alam semesta ini (14)’.
‘Tujuh pagar kelilingnya upacara korban itu, tiga kali enam potong kayu bakar disiapkan, ketika para Dewa mempersembahkan upacara itu yang menjadikan Puruṣa sebagai kurban (15)’
‘Dewa-dewa dengan mengandakan upacara korban memuja Dia (Manusia Kosmos) yang juga merupakan upacara korban itu. Dia yang agung mencapai sorga yang mulia tempat para Sadhyas, Dewa-Dewa zaman dahulu (16)’
Puruṣasūkta adalah sebuah Sūkta (himne) yang menjelaskan kondisi sebelum penciptaan dan pengejawantahan-Nya. Kondisi tersebut merupakan dua kondisi berubah dan kekal abadi, jagatas tasthusas. Hal tersebut merupakan proses abadi yang dari padanya Ia Yang Tidak Terbatas menjadi terbatas. Sūkta tersebut merupakan perubahan bentuk yang direncanakan dari Wujud Manusia Tertinggi (Supreme Person) dan proses terciptanya alam semesta. Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Sempurna dikenal oleh para mahārṣi (orang-orang suci). Mereka menggambarkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Yang Bercahaya seperti cahaya ribuan matahari, yang terletak di samping Kegelapan. Pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Tunggal, dinyatakan oleh para mahārṣi yang membebaskan pencari kebenaran dari segala keterikatan dan menjadikannya kekal abadi (Reddy, 1991: 175).
Puruṣa bukanlah semata-mata Manusia Kosmos, tetapi juga merupakan aspek personal dari seluruh realitas. Konsep manusia meliputi esensi hubungan internal. Segala sesuatunya merupakan bagian dari Yang Esa dan unik yakni Puruṣa. Dari Puruṣa, Viraj, emanasi kedewataan yang pertama menampakkan diri dan berproses. Makhluk yang tidak terciptakan, yang keberadaan-Nya berfungsi sebagai media dalam proses penciptaan, meningkatkan dan juga turun kepada semua makhluk, dan juga kepada keseluruhan aktivitas, Dia juga mengandung aspek feminin, tidak hanya dalam kaitannya dengan gender, tetapi juga dalam hukum-Nya (Panikkar, 1989:73).
Menurut Puruṣasūkta di atas, Tuhan Yang Maha Esa sendiri yang mengorbankan diri-Nya untuk menciptakan jagat raya ini, yang penampakkan-Nya di alam semesta dalam wujud materi hanya seperempat bagian sedang tiga perempat lainnya tidak terjangkau oleh umat manusia.
Seluruh jagat raya berasal dari pada-Nya melalui Viraj, proses alam semesta dan segala isi di dalamnya berlangsung. Proses penciptaan (sristi atau utpati) dan pemeliharaan (stiti) alam semesta ini berlangsung selama Tuhan Yang Maha Esa menghendakinya dan tentunya juga akan berakhir ketika Dia menghendakinya pula.
Proses tercipta, terpelihara, dan peleburan (pralaya) kembali alam semesta berserta seluruh isinya disebut Trikona, tiga titik kulminasi yang berlangsung terus. Proses tersebut juga dinamakan lila atau krida Tuhan Yang Maha Esa. Menurut A.L.Basham (1992:3240 motivasi penciptaan seperti tersebut, yakni berupa lila atau krida dari Jiwa Alam Semesta dapat dianalogikan dengan hasil karya seni yang muncul dari pikiran seorang artis.
Di samping mantra-mantra tentang peenciptaan seperti telah disebutkan di atas terdapat juga mantra yang menjelaskan tentang bibit abadi berupa telur berwarna keemasan (Hiranyagarbha) yang kemudian dari pada-Nya terciptalah seluruh jagat raya seperti dinyatakan dalam Ṛgveda X.121.1 berikut:
Pada awalnya terlahirlah Hiranyagarbha, Dia yang demikian menunjukkan eksistensinya, menjadi raja dari semua makhluk, Dia yang menyangga bumi dan sorga.
Di dalam kitab suci Veda dijelaskan tentang awal penciptaan alam semesta ini dan yang pertama eksis adalah Tuhan Yang Maha Esa sendiri, kemudian menjadikan diri-Nya sendiri sebagai Yajna dan kemudian berpikir “aham bahu syam”, “Saya ingin menciptakan yang banyak”. Sejak saat itu mulailah penciptaan alam semesta. Pertama-tama tercipta air. Di sanalah telur Hiranyagarbha berada. Telur itu kemudian pecah menjadi dua bagian, yaitu satu bagian menjadi bumi dan bagian yang lain menjadi angkasa. Segala proses penciptaan alam semesta baru dimulai setelah telur yang mengandung air itu pecah (Somvir, 2001:34-35).
Berdasarkan kutipan terjemahan mantra-mantra Veda di atas, maka penciptaan alam semesta menurut kitab suci Veda dimulai dengan tapas yang memancarkan cahaya (energi), selanjutnya Tuhan Yang Maha Esa berkehendak dan melaksanakan Yajña dan yang terakhir dari pada-Nya pula lahir bibit berupa telur keemasan (Hiranyagarbha) yang di alam semesta tampak plenet-planet yang demikian banyak jumlahnya berwujud sebagai telor dan berwarna keemasan.
2.2 Penciptaan menurut kitab-kitab Purāṇa
Isi pokok kitab-kitab Purāṇa umumnya dikenal dengan Pancalaksana, yang terdiri dari: (1) Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus), (2) Pratisarga (penghancuran dan penciptaan kembali alam semesta), (3) Manvantara (masa dan perubahan Manu-Manu pada setiap masa), (4) Vamsa (cerita dinasti raja-raja yang berkuasa di bumi, dan (5) Vamsanucarita (dinasti raja-raja & Ṛṣi-Ṛṣi dan raja yang akan datang). Dalam uraian ini dibatasi hanya pada sarga
2.2.1 Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus)
Sarga adalah (proses) penciptaan (yang halus) berupa lima unsur (Panca Mahabhuta), obyek-obyek indriya, organ indriya dan pikiran, ego (ahamkara) dan prinsip kecerdasan kosmik (mahat), selanjutnya terganggunya keseimbangan dari sifat-sifat alam (guna/bhuta-matendriya-dhiyam janmasarga udaritah).
Di kitab-kitab Purāṇa yang lain digambarkan sebagai “evolusi mahat, karena terganggunya keseimbangan Triguna selanjutnya mendorong yang tidak termanifestasikan, avyakrita, yakni unsur materi yang pertama atau Prakriti), dari tiga lapis Ahamkara (keakuan dari Mahat) dan (tiga lapis Ahamkara) dari 5 unsur alam (Bhuta), (sebelas) organ indriya (Panca Budhiriya, Karmendriya dan pikiran) dan obyek-obyek indriya.
Penciptaan ada dua jenis, yaitu: (1). Alaukika (kedevataan) dan (2) Laukika (keduniawian).
Penciptaan Alaukika/kedevataan merupakan penciptaan yang terdiri dari 33 devata, saat itu Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk Yajna-Varaha, mewujudkan diri-Nya sebagai seekor babi hutan untuk menyelamatkan dunia. Penggambaran penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai seekor babi hutan (yang membunuh raksasa Hiranyaksa) tidak lain maksudnya adalah untuk selamatnya umat manusia, dan hal ini juga menggambarkan ajaran Karma Marga (jalan perbuatan).
Penciptaan Laukika (keduniawian), dimaksudkan adalah penciptaan yang menggambarkan evolusi dari alam semesta yang terdiri dari 28 unsur, empat unsur materi/alam (bhuta) dan waktu (kala). Episode yang menguraikan ajaran Kapila (dan istrinya) dalam kitab Bhagavata Purāṇa menggambarkan jalan pengetahuan (Jnana Marga
Di dalam kitab Bhagavata Purāṇa (XII.7.11) diuraikan sepintas tentang penciptaan ini ke dalam beberapa topik antara lain evolusi Mahat (prinsip dasar dari kecerdasan kosmik), dari bergejolak dan terganggunya keseimbangan dari Triguna yang belum termanifes (Prakriti, unsur materi/bahan yang permulaan), memimpin evolusi Triguna selanjutnya (tipe-tipe Vaikarika atau Sattvika, Rajasa dan Tamasa, tergantung dari dominasi masing-masing guna), evolusi berlaut pada unsur-unsur alam (bhuta), alat indriya, dan obyeknya (seperti unsur yang kasar dan devata yang bersemayam pada masing-masing organ indriya (Loc.Cit).
Lebih jauh tentang penciptaan ini digambarkan dalam kitab Agni Purāṇa (17.1-16), sebagai berikut:
Agni bersabda:
Aku akan menjelaskan sekarang penciptaan alam semesta, yang merupakan dari krida (lila) Sang Hyang Visnu (dalam Samkhya disebut Brahma). Beliaulah yang menciptakan sorga dan lain-lain. Pada permulaan ciptaan dan dilengkapi dengan sifat-sifat dan tanpa sifat-sifat (1).
1) Brahma, yang tidak menampakan diri, sesungguhnya Yang Ada. Saat itu tidak ada langit, siang atau malam, dan lain-lain. Sang Hyang Visnu masuk ke-dalam Prakriti (unsur materi) dan ke dalam Puruṣa (unsur kesadaran) dan menggerakkannya(2).
2) Pada saat penciptaan yang pertama kali terpencar adalah intelek (kecerdasan budi/mahat). Kemudian terwujudlah ego (ahamkara), selanjutnya disusul pertama dari keadaan natural (Vaikarika), kilauan cahaya (taijasa) unsur-unsur alam, dan sebagainya dan kegelapan (tamasa/yang menciptakan kebodohan(3).
3) Kemudian meluaplah ether (akasa) yang merupakan unsur dasar suara (sabda) dari ego (ahamkara). Kemudian angin (vayu) merupakan unsur dasar sentuhan (sparsa) dan api (teja) sebagai unsur dasar warna (rupa) menjadi ada dari padanya(4).
4) Air (apah) sebagai unsur dasar rasa (rāsa/menjadi ada) dari padanya. Tanah (prithivi) sebagai unsur bau (gandha). Dari kegelapan lahirlah ego, indriya (menjadi ada) yang nampak berkilauan(5).
5) Evolusi selanjutnya adalah terciptanya 10 kahyangan dan pikiran, sebelas indriya selanjutnya munculah Sang Hyang Svayambhu (yang ada dengan sendirinya), yakni Sang Hyang Brahma yang berkeinginan menciptakan berbagai tipe mahluk hidup(6).
6) Sang Hyang Brahma menciptakan air yang pertama. Air berhubungan dengan (disebut) sebagai narah, karena hal itu merupakan ciptaan spirit yang Tertinggi(7).
7) Dari pergerakkannya yang pertama dari semuanya itu, karenanya Ia disebut Narayana. Kemudian tergeletak (mengambang) telur di atas air yang warnanya keemasan(8).
8) Dari pada itu, Sang Hyang Brahma lahir dengan keinginannya sendiri, oleh karenanya kita mengenal sebagai yang lahir dengan sendirinya (Svayambhu). Hidup (di dalamnya) sepanjang tahun, karenanya disebut Hiranyagarbha, kemudian menjadikan telur itu dua bagian, yaitu menjadi sorga dan bumi. Di antara kedua bagian itu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan langit (9-10).
9) Sepuluh penjuru menyangga bumi yang mengambang di atas air. Kemudian Sang Hyang Prajapati (Brahma yang merupakan pencipta mahluk hidup dan alam semesta) berkeinginan mencipta, menciptakan waktu, pikiran, perkataan, keinginan, kemarahan, keterikatan dan yang lain-lain. Dari cahaya Ia menciptakan petir dan mendung, bianglala, dan burung-burung. Ia pertama menciptakan Parjanya (Indra, dewa hujan). Kemudian menciptakan Ṛgveda (Rcah), Yajurveda (Yajumsi), dan Samaveda (Samani) untuk menyelesaikan Yajña-Nya (11-13).
10) Mereka yang ingin menyelesaikan (Yajña), memuja para devata dengan (merapalkan) mantra-mantra tersebut. Mahluk hidup yang tinggi dan rendah diciptakan-Nya. Ia menciptakan Sanatkumara dan Rudra, yang lahir dari kemarahan-Nya (14).
11) Kemudian Ia menciptakan para Ṛṣi Marici, Atri, Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Vasistha, yang diyakini sebagai putra-putra yang lahir dari pikiran Sang Hyang Brahma (15).
12) Oh, Yang Mulia! Para Ṛṣi tersebut melahirkan (banyak) mahluk hidup, membagi diri-Nya atas dua bagian, separo menjadi laki-laki dan saparoh lagi menjadi perempuan. Selanjutnya Brahma melahirkan anak-anak-Nya melalui separoh bagiannya yakni bagian yang perempuan (16/Gangadharan, Vol.27, Part I, 1984: 39-41).
Pada bagian lain, kitab Agni Purāṇa (20.9.1-8) menjelaskan lebih terperinci proses penciptaan alam semesta yang digambarkan sebagai berikut:
1) Ciptaan pertama adalah intelek atau kecerdasan budi (mahat) dari Brahma. Ciptaan yang kedua adalah unsur materi yang sangat halus (tanMatra) yang dikenal dengan nama Bhutasarga (penciptaan elemen alam semesta/pañca mahabhuta (1).
2) Ciptaan yang ketiga adalah evolusi (vaikarikasarga) yakni penciptaan organ indriya (aindriyasarga). Ciptaan tersebut adalah ciptaan pertama (prakritasarga) yang ke luar dari intelek (kecerdasan budi) (2).
3) Ciptaan yang keempat adalah ciptaan dasar/utama (mukhyasarga). Sesuatu yang tidak bergerak dikenal sebagai dasar (penciptaan). Penciptaan kelima disebut penciptaan kualitas yang lebih rendah (tiryaksrota) yang dinamakan sebagai ciptaan mahluk di bawah manusia (seperti binatang, burung-burung, dan lain-lain (3).
4) Ciptaan yang keenam adalah mahluk-mahluk yang lebih tinggi (urdhvasrota) dikenal sebagai ciptaan kahyangan. Penciptaan yang ketujuh disebut ciptaan menengah (arvaksrota), yakni terciptanya umat manusia (4).
5) Ciptaan yang kedelapan adalah Anugrahasarga (kasih sayang devata), disusun dari karakter (Sattvika dan Tamasika). Kelima ciptaan yang terakhir dikenal dengan Vaikritasarga (ciptaan subyek yang akan berubah). Ciptaan yang kesembilan disebut Kaumarsarga (penciptaan Sanatkumara, dan lain-lain). demikianlah sembilan ciptaan sang Hyang Brahma yang merupakan dasar terciptanya alam semesta (5-6).
6) Bhrigu dan lain-lain mengawini Khyāti dan putri-putri yang dari Daksa. Ciptaan terdiri dari tiga jenis disebut orang, yaitu yang selalu (biasa) berlangsung (nitya), penciptaan yang menimbulkan ciptaan yang lain (naimittika) dan yang berlangsung setiap hari (dainandinì). Ciptaan yang sedang berlangsung ketika masa peleburan disebut Dainandinì. Penciptaan yang selalu berlangsung (tiada hentinya) disebut nitya (7-8).
Teori penciptaan alam semesta (sarga) yang dikenal dengan sembilan ciptaan Sang Hyang Brahma diuraikan pula secara sistematis dan terinci dalam kitab Brahmanda Purāṇa, yang dapat diringkas (direkapitulasi), sebagai berikut.
1) Ciptaan pertama
(1). Mahat (ciptaan kesadaran yang tinggi)
(2). Tanmatra (ciptaan disini disebut juga Bhutasarga)
(3). Vaikarika (ciptaan Aindriyasarga)
Seluruh ciptaan di atas adalah ciptaan Prakrita (dari kata Prakriti), sebagai awal ciptaan.
1) Penciptaan yang kedua
(4). Mukhyasarga (ciptaan yang tidak bergerak)
(5). Tiryaksrota (ciptaan mahluk rendahan dan binatang)
(6). Urdhvasrota (ciptaan berupa dewa-dewa dan mahluk-mahluk sorga).
(7). Arvaksrota (ciptaan umat manusia)
(8). Anugrahasarga (baik Sattvika maupun Tamasika)
Kelimanya (4-8) tersebut di atas disebut Vaikrita (ciptaan kedua) dan fungsi mereka tanpa kesadaran atau bagian depan (sebelum) pengetahuan (a-budhi-purvaka).
2) Penciptaan (setelah) kedua (?)
(9). Kaumarasarga (penciptaan putra-putra yang lahir dari pikiran). Ketika Sanatkumara dan yang lain-lain menjadi seorang Yogi dan tidak melahirkan putra-putra, Sang Hyang Brahma (I.1.5.70-76) menciptakan putra-putra yang lahir dari pikiran-Nya kembali, maka lahirlah: Bhrigu, Angirasa, Marìci, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha dari berbagai bagian badan-Nya (Tagare, Vol.22, Part I, 1993: XXXIV).
G. V. Tagare dalam terjemahan kitab Vayu Purāṇa, pada bagian kata pengantarnya (XXIII) menyatakan bahwa tentang penciptaan alam semesta (Sarga) bahwa di dalam kitab-kitab Purāṇa ditemukan tiga teori tentang penciptaan alam semesta, yakni (1). Teori Samkhya-Vedānta, (2). Teori Purāṇa dan (3). Teori Samkhya. Berikut dijelaskan ketiga teori tersebut:
1) Teori Samkhya-Vedānta. Penciptaan mulai dengan prinsip dasar yang disebut Mahat dan berakhir dengan Visesa, yakni perbedaan antara lima unsur yang sangat halus dan yang kasar (kasat mata) yang disebut Pañca Mahabhuta dan Pañca Tanmatra. Sumber alam semesta adalah Brahman yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir, tidak dilahirkan, dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Pada awalnya adalah kegelapan dan Ia yang meresapi seluruh alam semesta yang diselubungi dalam kegelapan (Ia yang tidak termanifest), saat itu Guna dalam keadaan seimbang. Brahman juga disebut Atman. Pada awal penciptaan Ksetrajña (Devata Tertinggi) memimpin Pradhana, menggerakkan Guna dan prinsip dasar Mahat berkembang. Ketika Guna Sattva menjadi sangat dominan di dalam Mahat, unsur spirit yang sangat halus pada jasmani berkembang dan dipimpin oleh Ksetrajña.
Kitab-kitab Purāṇa memberikan etimologi yang populer dari sinonim Brahman, Ksetrajña, dan lain-lain, semacam Samanvaya dan perbedaan istilah dan teori. Ketika Mahat didorong (oleh keinginan Tuhan Yang Maha Esa), terciptalah alam semesta yang besar, Samkalpa (kekuatan pikiran) dan Adhyavasaya (kebulatan/tekad) dalam 2 tendensi (Vritti-dvayam/ I.1.4,16). Teori sintese Samkhya-Vedānta tentang penciptaan ini dapat dijumpai dalam beberapa Purāṇa, antara lain: Agni Purāṇa XVII.2-26, Brahmanda Purāṇa I.1.3.6, dan Kurma Purāṇa I.2.3.
2) Teori Purāṇa. Ksetrajña disebut Brahma yang bangkit dari telur kosmos. Ia adalah mahluk yang pertama mengambil wujud (yang berwujud pertama kali). Ia pencipta dari seluruh Pañca Mahabhuta (baik unsur material maupun mahluk hidup). Hiranyagarbha (Brahman) dalam empat wajah adalah Ksetrajña, baik pada saat penciptaan maupun pada saat Pralaya (penghancuran) alam semesta. Telur kosmos terdiri dari tujuh dunia, bumi dengan tujuh benua, samudra-samudra dan segala sesuatunya termasuk matahari, bulan, bintang-bintang, Loka (Saptaloka) dan Aloka (Saptapatala). dari luar telur kosmos ini dilapisi oleh tujuh lapisan (I.1.1.44-45). Empat yang pertama terdiri dari 4 elemen, yaitu: air, api, angin dan ether (akasa), masing-masing selubung 10 kali lebih besar dibandingkan selubung yang pertama (sebelumnya/yang ditengahnya) dan tiga selubung lainnya terdiri dari Bhutadi, Mahat dan Pradhana yang tidak termanifest. Avyakta (yang tidak termanifest) disebut Ksetra dan Brahma disebut Ksetrajña. Prakrita-sarga dipimpin oleh Brahma. Penciptaan berlangsung tanpa pra-rencana (abuddhipurvaka) seperti halnya kerdipan cahaya (I.1.4.68.-78).
3) Teori Samkhya. Teori Vedānta, Samkhya dan Purāṇa dipadukan dalam teori ini. Analisis yang terang ditunjukkan bahwa Prakrita Sarga adalah penciptaan dari Prakriti. Teori Samkhya yang teistik dapat lebih dijelaskan secara lebih ekplisit dinyatakan dalam uraian (II.5.104) sebagai berikut: “Sebelum penciptaan alam semesta adalah kondisi laya (keseimbangan) dari semua Guna. dalam wujudnya yang Avyakta (tidak termanifestasi), secara potensial terbentang seperti minyak susu (ghee) di dalam susu. Tuhan Yang Maha Agung, dengan kekuatan Yoga-Nya, menciptakan ketidak-seimbangan dari Tri Guna dan terciptalah Tiga Devata Utama (Tri Murti), Brahma (dari Rajas), Api atau Rudra (dari Tamas) dan Visnu (dari Sattva). Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa yang membagi diri-Nya ke dalam 3 fungsi utama itu”.
Lapisan bumi
Menurut agama Hindu, bumi berbentuk bulat dengan inti yang sangat panas di dalamnya.
Inti bumi tersebut merupakan neraka yang terpanas. Sebelum mencapai inti bumi,
ada tujuh lapisan yang menyusun bumi. Tujuh lapisan itu disebut Saptapatala.
Penghuni lapisan tersebut adalah makhluk supranatural dan naga. Saptapatala
terdiri dari: Atala, Witala, Sutala, Talatala, Mahatala, Rasatala, Patala.
Atala identik dengan Mahamaya; Witala dipimpin oleh manifestasi Siwa yang disebut Hatakeswara; Sutala dipimpin oleh raksasa Bali; Talatala dipimpin oleh
Maya; Mahatala kediaman ular raksasa; Rasatala dihuni para Detya dan Danawa; Patala dipimpin oleh Basuki, raja para naga.
Lapisan Langit
Menurut agama Hindu, langit yang menyelimuti bumi terdiri dari tujuh lapisan. Tujuh
lapisan tersebut dikenal dengan istilah Saptaloka. Bhurloka adalah lapisan yang
paling bawah atau lapisan langit yang menyentuh bumi; Bhuwahloka adalah lapisan
udara di atasnya, antara langit dan matahari; Swahloka atau Swargaloka adalah
kediaman Dewa Indra; Maharloka adalah kediaman Resi Bhrigu; Janaloka adalah kediaman para putera Brahma; Tapaloka merupakan kediaman ras makhluk yang disebut
Weragi; Satyaloka atau Brahmaloka merupakan kediaman Brahma.
2.2.3 Umur alam semesta menurut agama hindu
Dalam kitab-kitab suci Hindu
disebutkan bahwa alam semesta diciptakan, dimusnahkan, dan dibuat ulang menurut
suatu siklus yang berputar abadi. Siklus tersebut disebut Kalpa atau masa seribu Yuga. Satu Kalpa sama dengan 4.320.000.000 tahun bagi manusia
sedangkan bagi Brahma satu Kalpa sama dengan satu
hari. Dalam kosmologi Hindu, alam semesta berlangsung selama satu Kalpa dan
setelah itu dihancurkan oleh unsur api atau air. Pada saat itu, Brahma
istirahat selama satu malam, yang lamanya sepanjang satu hari baginya. Proses
itu disebut Pralaya (Katalismik) dan berulang-ulang selama seratus tahun bagi
Brahma (311 Triliun tahun bagi manusia) yang merupakan umur Brahma.
Menurut pandangan umat Hindu, alam semesta sedang berada pada tahun ke-51 bagi Brahma
atau 155 Triliun tahun telah berlangsung semenjak Brahma lahir. Setelah Brahma
melewati usianya yang ke-100, siklus yang baru dimulai lagi dan segala ciptaan
yang sudah dimusnahkan diciptakan kembali. Proses ini merupakan siklus abadi
yang terus berulang-ulang dan tak akan pernah berhenti.
Masa hidup Brahma dibagi setiap
satu siklus Mahayuga. Yuga terdiri dari empat bagian,
yang mana dalam setiap bagian merupakan zaman yang memiliki karakter
berbeda-beda. Mahayuga memiliki 71 Divisi, dan setiap divisi merupakan 14
Manvantara (1000) tahun. Setiap Mahayuga berlangsung 4.320.000 tahun.
Manwantara adalah siklus Manu, leluhur manusia menurut
kepercayaan Hindu.
3.1 Simpulan
Ada beberapa
konsep Penciptaan Alam semesta yang
jika ditinjau dari Hinduisma atau dari agama Hindu,Konsep itu dapat kita
temukan baik dari Veda ataupun Purana-purana Agama Hindu.Jika dilihat dari Veda
terdapat dua Sūkta (himne) yang secara khusus menguraikan tentang penciptaan
jagat raya yang dikenal dengan sebutan Nasadiyasūkta dan Puruṣasūkta. Yang
pertama menjelaskan asal atau kejadian alam semesta dan yang kedua merupakan
dasar filosofis Veda yang menyatakan bahwa segala sesuatunya berasal dari
Yajña, yakni pengorbanan Tuhan Yang Maha Esa yang mesti diikuti oleh umat-Nya
sebagai usaha untuk menjaga kelangsungan dan harmoni alam semesta. Jika
ditinjau dari purana proses penciptaan alam semesta dapat kita lihat pada Isi pokok purana yang pertama kitab-kitab Purāṇa umumnya dikenal dengan
Pancalaksana, yaitu Sarga (ciptaan alam
semesta yang pertama/yang sangat halus).
DAFTAR PUSTAKA
Jro Mangku
Shri Dhanu.2009.Penciptaan jagat raya menurut
Agama Hindu.Diakses pada
tanggal 02 Nopember 2011 dari http://sanggrahanusantara.blogspot.Com/2009/11/
tanggal 02 Nopember 2011 dari http://sanggrahanusantara.blogspot.Com/2009/11/
penciptaan
-jagat-raya-menurut-hindu-dan.html
I Made
Titib,Dr.2003.Purana Sumber Ajaran Hindu
Komprehensip.Jakarta:Pustaka
Mitra
Jaya
Langganan:
Postingan (Atom)