Rabu, 19 Desember 2012

makalah revisi gerakan agama hindu yg di pengaruhi agama kristen

Gerakan Keagamaan Agama Hindu yang Dipengaruhi Kristen
by Ulil Albab

A. Pendahuluan
India adalah tanah air dari berbagai suku bangsa kebudayaan dan agama. kami telah menggambarkan gerakan agama ini pada halaman-halam terdahulu sekarang kita mencapai tahun dimana kita saksikan suatu usaha yang mengherankan dengan memasukkan segenap kepercayaan agam filsafat dan praktiknya kedalam satu sistem yang kita namakan Hinduisme.
Agama Hindu lahirdanberkembangpertamakalinyadilembahsungaisuciSindhu di India.Agama Hindu adalahsebuah agama yang berasaldari anakbenua India.Agama inimerupakanlanjutandari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakankepercayaansbangsa Indo-Iran (Arya). Agama inidiperkirakanmunculantaratahun 3102 SM sampai 1300 SM. Agama inimerupakan agama ketigaterbesar di duniasetelah agama Kristendan Islam denganjumlahumatsebanyakhampir 1 miliar jiwa.
pertemuan di india dengan agama kriten menimbulkan aliran-aliran baru juga . agama Kristen masuk india pada abad ke- 19.
Nah, di sini ini kemudian aliran itu berkembang mulai dari perkembangna dalam kekuasaan atau pengaruh penyebaran pergerakan yang diteruskan oleh pengikut-pengikutnya seperti halnya makalah ini , dimana Swami Vivekanada setelah ditinggal gurunya mengumpulkan para murid muridnya untuk membuat persatuan persaudaraan demi menjaga eksisten dari gurunya tersebut.

Di Sinilah saya sebagai penulis akan mencoba sedikit memaparkan atau memperjelas tentang gerakan Arya Samaj, meliputi latar belakang gerakan Arya Samay, tokoh, dan ada beberapa persayaratan untuk mengikuti/ menjadi seorang anggota tersebut dan masih banyak lagi tentang substansi dari ajaran-ajaran gerakan tersebut.
B. Arya Samay
Pada waktu itu orang Hindu dihadapkan dengan bermacam-macam keyakinan baik di dalam maupun diluar India. selain itu suasana politik politik tidak menguntungkan India. tekanan pemerintah inggris dirasakan berat sekali. masuknya kebudayaan barat di India, yang disertai dengan penerapan ilmu pengetahuan modern yaitu dengan adanya kereta api, telepon, telegraf dan lain sebagaianya mengubah pandangan banyak orang.[1]
Timbullah persoalan, bagai mana memperbaharui Agama Hindu supaya dapat bersaing dengan agama-agama yang lain dan bagaimana dapat mengadakan sintese antara yang kuno dan yang baru, antara timur dan barat, agar supaya orang dapat memberikan jaminan akan keagungan akal dan roh India untuk menjawab segala tantangan inilah Arya Samaj didirikan.
Gerakan ini didirikan oleh Swami dayananda Saraswati (1824-1883) yang berusaha melakukan penafsirkan kembali ajaran agama Hindu. sloganya adalah “kembali kepada Weda”. dengan tekanan penting pada usahanya untuk membuktikan bahwa segala hasil perkembangan ilmu pengetahuan modern pada dasarnya telah terdapat dalam kitab-kitab Weda.[2]
Sarasvati menginginkan segenap lapisan masyarakat mempelajari kitab Weda, karena Weda bukan monopoli orang-orang dwijati saja. ajaran pokoknya adalah untuk mengembalikan dan memperbaiki agama Hindu untuk memperkuat teknologi modern di india dan menolak dominasi Barat, baik dalam bidang pemikiran, Agama moral, maupun dalam politik.[3]
Gerakan ini meyakini bahwa kitab Weda adalah abadi dan merupakan dasr dari agma Hindu, akan tetapi menafsirkannya sedemikian rupa sehingga kadang-kadang di anggap tidak beralasan oleh orang-orang Hindu yangberaliran ortodoks (terutama di kalangan Sanatana Dharmis) . sikapnya ynag tidak mengakui sistem kasta (dwijati ) tadi diharapkanya akan tetapi mengembalikan orang-orang Hindu yang telah menganut Islam dapat dikembalikan kepada agamanya semula. para pengikut Arya Samay ini dikenal sebagai tokoh-tokoh yang militan dalam garakan Agama Hindu di India [4].
Gerakan Arya Samaj yang didirikan oleh Dayananda Saraswati pada tahun, merupakan suatu gerakan gerakan keagamaan yang bersifat Semesta, terbuka bagi siapa saja tanpa memperdulikan kasta ataupun kebangsaanya.bagi gerakan tersebut, kebenaran kebenaran Weda adalah mutlak, tanpa mengandung kesalahan sama sekali. ia menolak politeisme dan pemujaan terhadap patung-patung yang ada dalam kuil-kuil yang didasarkannya pada kitab-kitab purana. dikatanya bahwa perbuatan semacam itu adalah perbuatan yang tidak bermoral. kalau pada umumnya ada anggapan bahwa orang-orang India dalam menerima Weda dalam memasukkan ke Dalamnya kitab-kitab Brahmana dan kitab Upanishat, maka Dayadana Sarawati membatasi keabsahanya hanya pada Weda Shamhita saja. ia juga menolak upacara-upacara yang dilakukan oleh para Brahmana, juga menolak kecenderungan advaita yang terdapat dalam Upanishad[5]. Ia berpendapat bahwa kidung-kidung Weda mengajarkan hanya ada satu Tuhan saja ( monoteisme)yang harus di sembah secara spiritual, bukan dengan alat-alat atau patung-patung. tentang dewa-dewa yang jumlahnya sangat banyak dikatakan bahwa itu hanya merupakan sebutan saja dari “Tuhan” yang satu.Ia memang mengakui karma dankelahiran akan tetapi menolak bahwa tersebut di ajarkan dalam Weda.menurut Dayananda , kitab-kitab Weda adalah sabda Tuhan yang bersifat Kekal, dan karena itu tidak mengundang persoalan dan kesejarahan dan keinian[6].
Tidak jauh beda dengan gerakan Brahma samaj yang mempercayai bahwa Weda adalah dianggap penting dalam kehidupan manusia dan gerakan Brahma Samaj juga mengirimkan empat orang yang di pandang mamapu untuk hal ini dalam ke Benares untuk mempelajari dan menyalin kitab-kitab Weda dan harus melaporkan hasil-hasilnya. diantara hasil-hasilnya ialah bahwa gerakan Brahma Samaj ini menganggap Weda sebagai kebenaran yang sangat dijunjung tinggi[7] .
Bisa di katakan bahwa gerakan ini (gerakan arya samaj) sangat dan amat berpegang teguh kepada Weda, menurut mereka Weda lah yang merupakan satu-satunya kitab yang paling benar. lantas apa persoalan atau masalah yang di hadapai oleh gerakan ini, gerkan ini tidak membatasi golongan atau orang-orang khusus untuk bisa menjadi anggota gerakan samaj, membuka lebar-lebar pintu untuk bisa masuk golongan tersebut.
untuk menjadi seorang anggota Arya Samay, seseorang harus memperhatikan dan memenuhi dari sepuluh ajaran pokok, diantaranya;
1. Tuhan adalah sebab pertama dari segala ilmu pengetahuan yang benar dengan segala sesuatu di kenal dengan nama-Nya .
2. Tuhan adalah segala kebenaran, segala pengetetahuan , segala sikap perbuatan . Tuhan berdiri sendiri , tidak bergantung pada apapun . Tuhan Maha besar, adil, Mahakasih, tidak diperkenankan, tidak terbatas, tidak berubah-rubah, tanpa permulaan, tidak sapat di bandingkan, sumberdari segala kekuatan, meliputi segala sesuatu, tidak akan musnah, kekal abadi, bebas dari rasa takut, Mahasuci dan merupakan sebab dari alam semesta. Hamya kepada-Nya lah sesemabahan diberikan.
3. Weda adalah kitab pengetahuan yang benar dan orang-orang Arya wajib membacanya, wajin memdengarkanya dengan baik pada kitab tersebut dibaca, wajib mengajarkan dan mengembangkannya kepada orang lain.
4. orang harus menerima kebenaran dan menolak yang tidak benar.
5. segala perbuatan hanya dilakukan dengan mengharapkan kebaikanya semata dan harus dilakukan setelah mempertimbangkan baik dan buruknya terlebih dahulu.
6. Tujuan utama dari samay adalah berbuat baik dan melakukan kebaikan didunia dengan meningkatkan perbakan jasmani, rohani dan keadaan sosial manusia.
7. segala sesuatu harus dinyatakan dengan rasa cinta kasih, adil dan menjunjung tinggi kebaikan.
8. ketidaktahuan harus dihilangkan dan pengetahuan yang benar harus diresapi.
9. Tidak seorang pun boleh berpendapat bahwa hanya dirinya saja yang baik. orang harus menghargai kabaikan oarnag lain.
10. Menjunjung tinggi yang bermanfaat bagi keadaan sosial seluruh masyarakat dan tidak boleh memperturut diri mencampuri orang lain; akan tetapi dalam masalah pribadinya seseorang boleh berbuat batas.[8]
Ajaran-ajaran yang sudah tertera diatas adalah bukti bahwa gerakan ini mempercaya Weda adalah satu satunya kitab yang paling agung, melihat dari salah satu pejelasan tentang Ajaran-ajaran gerakan tersebut (gerakan Arya samaj) salah satu dari ajaranya tersebut sama atau hampir mirip dengan agama Islam yang menyebutkan sifat-sifat yang menyerupai degan sifat Allah dalam agama Islam.
Nah disitu lah bisa di ambil kesimpulan bahwa ajara-ajaran tersebut (gerakan Arya samaj) salah satunya ada yang menyerupai dengan agama Islam, selain itu tetap ajaran-ajaran tersebut beda-beda persepsi dalam artian beda jalan tapi satu arahnya.
kebaktian yang dilakukan pada hari Minggu oleh gerakan ini barangkali agak terpengaruh oleh agama Kristen. Kebaktian yang dilakukan dengan menyanyikan kidung-kidung, doa-doa, khutbah ibadat korban sebagai mana yang diajarkan Weda. organisasi garakan ini sangat kuat dan memiliki sikap anti asing atau anti Kristen yang sangat kuat. Tetapi dalam hubunganya dengan Islam, gerakan ini mampu hidup bersama-sama untuk jangka waktu yang cukup lama.[9]
C. Kesimpulan
Dilihat dari latar belakang sendiri dari gerakan ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa gerakan ini ada masalah politik dari barat(masuknya negara barat ke India) dan tekanan –tekanan yang di hadapi orang Hindu zaman dahulu mengakibatkan perubahan-perubahan yang tidak diperkirakan. gerakan ini didirikan oleh “Dayananda Sarasvati” pada tahun 1875.
Dan mengenai kitab-kitab bahwa gerakan keagamaan ini (gerakan Arya samaj) itu mempercayai kitab yang sangat benar dan sangat suci itu adalah “Weda” (kitab suci dari agama Hindu). mereka juga membuat slogan dari kitab tersebut yaitu “kembaki ke Weda”, di sisi gerakan itu juga tidak mengecam atau membeda-bedakan siapa saja yang akan masuk dalam golongan ini (gerakan Arya Samaj) apakah Ras, dari golongan darah biru, orang biasa bahkan dari orang yang kurang beruntung nasibnya dan lain sebagainya.

makalah revisi filsafat wedanta oleh helmi suhaimi

Revisi filsafat wedanta.
A. Sad Darsana (Filsafat Wedanta)
1.Pengertian Wedanta
Wedanta berasal dari kata weda-anta,artinya bagian terakhir dari weda. Kitap Upanishad juga disebut dengan Wedanta, karena kitab-kitab ini mewujudkan bagian akhir dari Weda yang bersifat mengumpulkan. Disamping itu ada tiga faktor yang menyebabkan Upanishad disebut dengan Wedanta yaitu:
a) Upanishad adalah hasil karya terakhir dari jaman Weda.
b) Pada jaman Weda program pelajaran yang disampaikan oleh para Resi kepada sisyanya, Upainishad juga merupakan pelajaran yang terakhir. Para Brahmacari pada mulanya diberikan pelajaran shamhita yakni koleksi syair-syair dari zaman weda. Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran Brahmana yakni tata cara untuk melaksanakan upacara keagamaan, dan terakhir barulah sampai pada filsafat dari Upanisad.
c) Upainishad adalah merupakan kumpulan syair-syair yang terakhir dari pada jaman Weda.
Jadi pengertian Wedanta erat sekali hubungannya dengan Upanishad hanya saja kitab-kitab Upanishad tidak memuat uraian-uraian yang sistimatis. Usaha pertama untuk menyusun ajaran Upanishad secara sistimatis diusahakan oleh Badrayana, kira-kira 400 SM. Hasil karyanya disebut dengan Wedanta-Sutra.
Sebelum Badrayana telah ada orangg-orang yang berusaha menyusun ajaran Upanishad, akan tetapi paling terkenal adalah Badrayana, dalam Bhadgawadgita hasil karya beliau disebut Brahma Sutra.
Kitab Brahma Sutra/Wedanta Sutra, Upanishad dan Bhagawadgita, ketiga buku tersebut menjadi dasar filsafat Wedanta.

2. Pokok- Pokok Ajaran Wedanta
Wedanta mengajarkan bahwa nirvana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini,tak perlu menunggu setelah mati untuk mencapainya.nirvana adalah kesadaran terhadap diri sejati.dan sekali mengetahui hal itu,walau sekejap,maka seseorang tak akan pernah lagi dapat di perdaya oleh kabut individualitas.terdapat dua tahap pembedaan dalam kehidupan, yaitu: yang pertama, bahwa orang yang mengetahui diri sejatinya tak akan di pengaruhi oleh hal apapun. Yang kedua bahwa hanya dia sendirilah yang dapat melakukan kebaikan pada dunia
Seperti yang telah disebutkan tadi bahwa filsafat Wedanta bersumber dari Upanishad. Brahma Sutra/Wedanta Sutra dan Bhadgawadgita. Masing-masing buku tersebut memberikan ulasan isi filsafat itu berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh sudut pandangannya yang berbeda. Walaupun obyeknya sama, tentu hasilnya akan berbeda. Sama halnya dengan orang buta yang merabah gajah dari sudut yangg berbeda, tentu hasilnya akan ber beda pula. Demikian pula halnya dengan filsafat tentang dunia ini, ada yang memberikan ulasan bahwa dunia ini maya (bayangan saja), dilain pihak menyebutkan dunia ini betul-betul ada, bukan palsu sebab diciptakan oleh Tuhan dari diriNya sendiri. Karena perbedaan pendapat ini dengan sendirinya menimbulkan suatu teka-teki,apakah dunia ini benar-benar ada ataukah dunia ini betul-betul maya.
Hal ini menyebabkan timbulnya penafsiran yangg bermacam-macam pula. Akibat dari penapsiran tersebut menghasilkan aliran-aliran filsafat Wedanta. Secara umum aliran filsafat Wedanta ada tiga ya ng terkenal yakni: aliran Adwaita oleh Sankara, Wasistadwaita oleh Ramanuja dan aliran Dwaita oleh Madhwa.
Pokok dari agama Weda seperti yang tampak pada kitab-kitab Weda itu tetap besar pengaruhnya didalam perkembangan agama Hindu. Tetapi walaupun kitab-kitab Weda itu masih tetap menjadi kitab-kitab tersuci orang-orang Hindu, kitab-kitab itu sudah tidak mempunyai arti yang besar lagi bagi praktek agama. Bahkan di jawa nampaknya kitab-kitab Weda itu tidak pernah dikenal. Bahasa yang digunakan didalam weda-weda itu tak lama kemudian tidak terbaca lagi oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu tidak berselang lama sudah ditulis orang berbagai tafsiran(komentar) tentang Weda-Weda itu. Komentar-komentar ini dimulai pada apa yang disebut “Brahmana “.

a. Aliran Filsafat Wedanta
Filsafat ini sangatlah kuno;yang berasal dari kkumpulan literatur bangsa Arya yang dikenal dengan nama Veda. Vedanta ini merupakan bunga diantara semua spekulasi, pengalaman dan analisa yang terbentuk dalam demikian banyak literatur yang dikumpulkan dan dipilih selama berabad-abad. Filsafat vedanta ini memiliki kekhususan. Yang pertama, ia sama sekali impersonal, ia bukan dari seseorang atau Nabi.
Sistem filsafat wedanta juga disebut uttara Mimamsa kata”wedanta” berarti”akhir dari weda. Sumber ajarannya adalah kitab upainishad. Maharsi V yasa menyusun kitab yang bernama Wedantasutra. Kitab ini dalam Bhagavad Gita disebut Brahmasutra. Oleh karna kitab Wedanta bersumber pada kitab-kitab Upanishad, Brahmasutra dan Bhagavad Gita, maka sifat ajarannya adalah absolutisme dan teisme. Absolutisme maksudnya adalah aliran yang meyakini bahwa Tuhan yang Maha Esa adalah mutlak dan tidak berpribadi (impersonal God), sedangkan teisme mengajarkan Truhan yang berpribadi (personal God).

1. Adwaita
Sistem Wedanta yang terbesar dan terkenal adalah Adwaita, artinya “tidak dualisme” maksudnya Adwaita menyangkal bahwa kenyataan ini lebih dari satu (Brahman), walaupun demikian sistim ini bukan bersifat monistis yang mengajarkan bahwa segala sesuatu dialirkan dari satu azas saja, melainkan disamping dari Brahman masih ada Atman yang merupakan sumber kekuatan.
Penganjur yang terbesar dan terbanyak pengaruhnya dari aliran ini adalah sankara(788-820 masehi). Sankara ragu-ragu akan ketentuan dari Upanisad yang menyatakan bahwa dunia ini diciptakan oleh Brahman, akan tetapi tidak percaya akan keaneka ragaman di alam ini sebagai yang di anjurkan oleh Ramanuja. Kalau dunia betul-betul ada dengan nyata,maka tidak mungkin keaneka ragaman itu,tidak ada. Dengan pemikiran ini berusaha untuk mempertemukan pendapat-pendapat yang bertentangan itu dengan berdasarkan pada upacara dalam Sweta Swatara Upanisad, yang menyatakan bahwa asal (prakrti) dari pada dunia ini terletak pada kekuatan sulap (maya) . Dengan demikian Brahman dengan kekuatannya MayaNya dapat memperlihatkan segala yang kita lihat ini, sehingga menghalangi pengetahuan kita yang sebenarnya itu yaitu Brahman dengan keanekaragamannya.
Kekuatan Maya dari Brahman dapat menipu diri manusia,antara lainn:
• Membuat manusia tetipu mengenai dunia yang kita liihat.
• Tertipu tentang apa yang sebenarnya Tuhan itu.
Ramanuja juga menguraikan tentang Maya, tetapi Maya yang dibayangkan adalah sesuatu kekuatan yang maha indah dari pada Tuhan. Untuk benar-benar menciptakan segala yang kita lihat di dunia ini, yaitu sesuatu kekuatan yang menjadikan dunia dari kekuatan MayaNya, sebagai yang digambarkan di depan, antara api dengan kekuatan membakarnya adalah merupakan satu kesatuan yang permanen. Demikian pula Tuhan dengan kekuatanNya adalah merupakan satu kesatuan. Pandangan ini berbeda dengan Sankara yang mengakui juga maya itu kekuatan Tuhan, tetapi tidak permanen.
Menurut Ramanuja, praktik yang merupakan bagian Tuhan benar-benar mengalami suatu perubahan. Sedangkan Sankara berpendapat bahwa Tuhan tak mengalami suatu perubahan dan segala yang kita lihat berubah, hanya kelihatannya saja demikian, sebenarnya tidak. Sebagai suatu contoh perubahan itu dapat dilihat antara lain:
• Perubahan wiwarta yakni; perubahan pandangan terhadap kenyataannya. Sesungguhnya tidak berubah, tetapi kelihatannya saja yang berubah. Seperti melihat ular sebagai tali, melihat awan sebagai orang-oranga, dan lain sebagainya. Apa yang dilihat tidak sesuai kenyataannya.
• Parinama, adalah perubahan dari bentuk aslinya menjadi bentuk yang lain. Seperti perubahan kelapa menjadi minyak, beras menjadi jajan dan lain sebagainya.
Ramanuja berpendapat, bahwa perubahan itu benar-benar Parinama, sedangkan Sankara menganggap bahwa perubahan itu hanyalah Wiwarta. Walaupun demikian, tetapi keduanya percaya pada Sat-Karya-Wada (Samkhya) yakni semuanya bersumber dari Brahman. Dari Brahmanlah timbulnya segala yang nampak beraneka ragam ini.
Hubungan Brahmana dengan Atman
Menurut Sankara hubungan antara jiwa dengan Brahman tidak sama dengan hubungan alam semata atau dunia dengan Brahman. Jadi jiwa tidak boleh dipandang sebagai kenyataan Brahmana, sebab jiwa telah kena pengaruh rajas dan tamas, walaupun jiwa adalah Brahmana seutuhnya. Jika hubungan Brahmana dengan alam semesta digambarkan sebagai ular yang berasal dari tali, maka hubungan jiwa dengan Brahmana digambarkan sebagai telur yang dilihat dengan kaca kuning. Telur yang putih, jika dilihat dengan kaca kuning akan tampak kuning juga. Sedangkan telurnya sendiri akan tetap putih, hanya tampaknya saja kuning karena ada alat tambahan yang disisipkan diantara telur dengan yang melihatnya. Telur disini menggambarkan Brahman, sedangkan telur yang kelihatan kuning adalah jiwa. Jelaslah bahwa jiwa bukanlah bayangan seperti halnya dengan alam semesta atau dunia ini. Dalam kehidupan sehari-hari pengertian jiwa atau “aku”mengandung dua pengertian yakni:
• Unsur yang identik dengan Brahman.
• Keadaan yang membatasi unsur yang identik dengan Brahman tadi,yaitu alat bathin (Bhudi,ahamkara,manas termasuk panca Budhindra dan panca Karmendhia),manusia.
Satu-satunya realitas yang ada, adalah Brahman.
Menurut Sankhara Brahman tidak dapat diuraikan dengan perantara sesuatu yang serba terbatas. Sankhara memberikan suatu ulasan bahwa Brahman memiliki dua rupa,dua bentuk atas dua wujud yakni;
• Para-rupa yakni rupa yang lebih tinggi.
• Apara-rupa yakni rupa yang lebih rendah.
Atman bukanlah sebagian dari Brahman, melainkan Brahman melainkan Brahman seutuhnya. Oleh karena Atman adalah Brahman seutuhnya, maka Atman memiliki sifat yang sama pula dengan Brahman yakni; berada dimana-mana, tanpa terikat kepada ruang, Mahatahu,Mahakuasa,Mahaadil dan bijaksana.

Pendapat Sankara terhadap pengetahuan
Menurut Kamarilah,Weda tidak memiliki penyusun,baik manusia maupun Tuhan, akan tetapi Sankara mengajarkan bahwa Tuhanlah yang menurunkan ajaran Weda. Sekalipun demikian Weda bukanlah hasil karya Tuhan dalam arti yang biasa, sebab Tuhan menurunkan wahyu yang diterima oleh para Resi yang dihimpun menjadi Weda. Sankara juga mengatakan Weda akan tiada kembalipada saat dunia pralaya (akhir jaman) kemudian akan muncul kembali pada jaman berikutnya.
Ada dua macam pengetahuan yaitu; pengetahuan yang lebih tinggi (para widya) dan pengetahuan yang lebih rendah (apara widya) pengetahuan yang lebih tinggi didalamnya mengandung segala macam kebenaran,meliputi sesuatu yang lebih mewujudkan segala macam kebenaran, meliputi segala sesuatu yang mewujudkan kesatuan segala sesuatu yaitu Brahman. Pengetahuan yang lebih rendah mengenai pengetahuan dunia yang tampak ini, yang sebenarnya adalah khayalan belaka.
Sarana untuk mencapai kelepasan atau menunggalnya dengan Brahman adalah:
• Melakukan disiplin yang praktis yang disebut dengan Wairagya yaitu sikap tidak tertarik kepada duniawi. Orang yang berhasil melakukan itu, akan mendapatkan kecakapan untuk membedakan antara hal-hal yang bersifat sementara dan yang bersifat kekal, untuk meniadakan keinginan guna menguatkan kegairahan melaksanakan disiplin dan menghindari kesusahan untuk mendapatkan ketenangan dan kesederhanaan serta kesediaan menangkal diri.
• Berusaha mendapatkan pengetahuan tentang kebenaran yang tertinggi (jnana) dan mengubah pengetahuan itu menjadi pengalaman yang langsung, yaitu dengan belajar kepada guru mengenai ajaran adwaita, sehingga pengetahuan benar-benar bahwa Brahman adalah Atman, sehingga lanjutnya berusaha mencerminkan pengetahuan itu didalam hidupnya dan akhirnya merenungkan pengetahuan yang langsung.

Tuhan yang berpribadi sebagai, satu-satunya kenyataan yang berdiri sendiri (swatantra) dengan kata lain Madhwa mengakui/percaya. Dengan adanya manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam.

Sistem Dvaita mengaggap dirinya sama tuanya dengan kitab-kitab Upanisad. Pokok ajaran Dvaita adalah perbedaan, dimana Madhva membuat perbedaan yang mutlak antara Tuhan, obyek-obyek yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan hanya Tuhan saja yang merupakan realitas yang merdeka. Dvaitamengakui bahwa alam semesta ini nyata (realistis), dan menerima adanya Tuhan yang berpribadi sebagai suatu kenyataan yang tertinggi (theistis). Segala sesuatu yang ada tergantung sepenuhnya kepada Tuhan, Wisnu (Sumawa dan Raka Krisnu, 1993 : 261).
Madvacharya menegaskan lima perbedaan besar, yaitu :
1. perbedaan antara Tuhan dan roh pribadi.
2. perbedaaan antara Tuhan dan materi.
3. perbedaan antara roh materi dan pribadi.
4. perbedaan satu roh dengan yang lainnya.
5. perbedaan antara materi yang satu dan yang lainnya.
Filsafat Madhva memiliki banyak titik persamaan dengan filsafatnya Ramanuja. Dalam sistem filsafat Madhva, Hari atau Wisnu merupakan keberadaan tertinggi. Alam adalah nyata dan perbedaannya adalah benar. Semua jiwa bergantung kepada Tuhan. Tuhan Hari hanya dapat diketahui melalui Weda. Pemujaan kepada Sri Krsna seperti yang diajarkan dalam Bhagavata Purana merupakan pusat dari keyakinannya. Hal ini merupakan intisari dari ajaran Madhvacharya (Sivananda, 1997 : 236-237).

Daftar Pustaka
1. I Gede Rudia Adiputra, Tattwa Darsana, (jakarta:Yayasan Dharma Sarathi,1990)
2. A.G. Honig,Ilmu Agama,(jakarta: PT BPK Gunung Mulia,1997)

3. Svami Vivekanada,Vedanta,(Surabaya;Paramita,2007)

4. Djam’annuri,agama kita

5. Diakses pada tanggal 05 Desember 2012 dari http://narayanasmrti.com/2011/10/17/filsafat-dvaita-dari-madhvacharya/

makalah revisi filsafat samkhya

filsafat samkhya

oleh ahmad syafiq 



Dharsana dalam agama hindu
                Dalam jangkamasa antara 500 tahun sebelum Masehi sampai 500 tahun sesudah Masehi Berlangsung perkembangan aliran-aliran filsafat di dalam agama Hindu dengan sistem- sistem tinjauan (dharsanas) tersendiri terhadap permasalahan keagamaan.[1]
                Menurut tradisi India, Realitas Mutlak (Ultimate Reality) itu hanya satu, tetapi disampingnya terdapat enam interpretasi dasar mengenai Realitas, yang disebut Sad Darsana / Six Insight/ Enam Wawasan. Kata Sansekerta darsana  berasal dari asalkata ‘drs’ berarti melihat, yakni suatu istilah Sansekerta untuk falsafat/filosofi. Sad Darsana/Keenam Wawasan tersebut membentuk sistim falsafat klasik India yakni : Nyaya, vaesesika, samkhya, yoga, Mimasa dan Vedanta. Para pendiri Sad Darsana yang asli tidak diketahui/dikenal. Keenam wawasan/pengertian itu berangsur-angsur menjadi interpretasi mengenai Realitas Mutlak, masing-masing saling berjalin sehingga hipotase dan metode masing-masing saling bergantung satu dengan yang lain. Semuanya menuju ke pengetahuan mengenai kebenaran Mutlak dan Kebebasan Roh /sukma /soul.[2]
                                                                                        Darsana

Nyaya                   Vaesesika              Samkhya                    Yoga                     Mimasa              Vedanta
Sankhya dan yoga, Mimasa dan Vedanta, Vaesesika, dan Nyaya, enanm sistem klasik, atau enam filsafat, atau, secara lebih literer, enam sudut pandang (darsana, dari kata drs “melihat”), dianggap sebagai enam aspek dari sebuah tradisi ortodoks tunggal, Meskipun tampaknya dan secara lahiriyah saling kontradiktif, keenam aspek tersebut dipahami sebagai proyeksi-proyeksi yang saling melengkapi dari sebuah kebenaran tentang berbagai latar kesadaran, institusi-institusi kebenaran dari sudut-sudut pandang yang berbeda seperti pengalaman tujuh orang buta yang meraba-raba seekor gajah dalam fabel Budha populer. Para pendiri enam sistem tersebut, yakni Kapila, Patanjali, Jaimini, Vyasa, Gautama, dan Kanada, mungkin lebih dipandang sebagai aliran-aliran daripada individu-individu. Tidak ada yang diketahui tentang merka itu kecuali namanya. Sutra mereka banyak dijumpai pada bagian awal berbagai buku yang ditulis oleh para pengulas dan karya-karya mereka sendiri yang mengundang diskusi panjang; masing-masing karya berisi argumentasi-argumentasi yang saling menyerang. Jika tidak ditulis oleh banyak ahli, karya-karya mereka tidak akan bisa dipahami dengan jelas karena bukan karya para pemikir independen yang berdiri sendiri, tetapi merupakan “benang-benang” (sastra) mnemonic sebagai petunjuk pengajaran lisan ala India kuno dari guru kepada adhikarin-nya.[3]
Aliran samkhya
                Samkhya itu bermakna : akal (reason). Aliran Samkhya itu dibangun oleh Kapila. Aliran Samkhya itu membahas tentang Jiwa dan tentang Materi beserta hubungan antara keduanya yang membangkitkan Tabiat pada segala sesuatunya. Aliran Samkhya itu menunjukkan 25 buah kesatuan (tattvas) yang amat menentukan di dalam proses kedirian, bagi pembentukan pribadi.
                Dua kesatuan yang paling azasi dan saling bertentangan ialah purusha (jiwa) dan prakerti (materi, benda). Jiwa itu tidak terbatas jumlahnya dan berisikan akal murni. Satu persatunya berdiri sendiri-sendiri, tak terbagi, tak bersyarat, tak berobah, dan abadi. Jiwa itu berkaitan dengan materi, yakni : prakriti, pradhana, avyakta.
                Pada mulanya prakeriti itu berada dalam keadaan diam. Thariqat-thariqat dalam dunia mistik Islam memanggilkan perikeadaan diam itu dengan alam-tsabitah. Prakriti itu memiliki tiga sipat (gunas), yaitu :
1.       Sattvas, yakni kebijakan.
2.       Rajas, yakni hasrat.
3.       Tamas, yakni kegelapan.
Ketiga-tiga gunas itu masih berada dalam pertimbangannya. Kemudian purusha (jiwa), sesuai dengan krama-nya (kewajibannya), lantas menggerakanya. Prakriti bergetar, dan satu persatu gunas itu lalu kehilangan perimbangannya. Dari pergerakan prakriti itu lahirlah 23 tattvas (kesatuan) lainnya.
                Pertama-tama lahir buddhi (akal), dan dari buddhi itulah berlangsung proses kepribadian, yakni Ahamkara, yang bermakna : Aku adalah Pelaku. Ahamkara itu suatu proses gerakan yang terus menerus, yang secara alamiah (kosmis) dan secara kedirian (individualis), memperlihatkan ragam-beda (differensisasi).
                Secara kommis, Ahamkara itu melahirkan lima tanmatras (unsur terhalus) yaitu : tanah, air, api, udara, dan ether. Dari lima unsur terhalus itu lahir lima mahabhuta (unsur tanggapan yaitu : Keras, basah, hangat, embusan, dan cairan. Dan semuanya itu sasaran bagi indra.
                Secara individualis, Ahamkara itu melahirkan lima buddhindraya (Indria yang merupakan alat akal) yaitu : penglihatan, pendengaran, penciuman, rabaan, dan citarasa. Dan dari situ lahir lima karmendrya (indria untuk bertindak) yaitu : mata, telinga, hidung, kulit, dan lidah.
                Tanmatras dan buddhindrya itu punya hubungan dengan ingatan (mind) dan hubunga itulah yang menentukan kepribadian sesuatu diri, yaitu pergumulan Hasrat dengan Akal. Jalan satu-satunya untuk mencapai keselamatan (moksha) ialah melakukan Yoga, karena, tubuh jasmani bisa terikat selamnya kepada karma dan samsara sebelum tercapai moksha.[4]
samkhya
jiwa dan materi
purusa                 prakerti
                         satvas    rajas   tamas
budhi proses ahamkara
tanmatras
                                            tanah         api          udara           air            ether 
                                            keras        panas      embusan      cairan        basah 
mahabuta
budindraya
                  penglihatan         pendengaran          penciuman            rabaan           citarasa
                      mata                  telinga                    hidung                kulit                lidah 
kamendriya  


1. Konsep Purusa dan Prakerti
Hubungan antara prakerti dan purusa diterangkan sebagai suatu perkawinan. Nisbah antara prakerti dan purusa-asali diumpamakan seperti nisbah antara isteri dan suami. Cara orang pada zaman kuno di banyak bagian dunia di Timur dan Barat berpikir terbelenggu oleh pikiran, bahwa rahasia dunia itu hanya dapat dipahami sebagai suatu hubungan perkawinan. Bandingkanlah misalnya dengan pendapat orang Tionghoa tentang unsur-unsur asali yang dan yin. Bila pada sistim Sankhya nisbah antara purusa dan prakerti dilukiskan sebagai perkawinan maka artinya demikian: Antara purusa dan prakerti terdapat suatu daya tarik yang mendekatkan keduanya: eros atau cinta. Daya tarik yang mendekatkan keduanya itu sebenarnya mempunyai maksud membebaskan purusa sama sekali. Karena segala peristiwa di dunia terjadi dari daya-tarik itu dan karena senantiasa dengan maksud supaya purusa itu menjadi bebas, maka di sini diajarkan, bahwa segala di dunia itu bergerak menuju ke suatu tujuan yang telah ditetapkan (sistim telelogis: telos berarti tujuan). Nisbah yang tersembunyi antara purusa dan prakerti, yang dapat dibandingkan dengan nisbah antara baja dan besi berani ditujukan supaya purusa itu mengenal hakekatnya sendiri dan menolak prakerti sebagai sesuatu yang tidak tergolong dalam hakekatnya purusa. Dalam hal itu prakerti sendiri ikut membantu, seperti air susu yang tidak sadar (seperti seluruh alam tidak sadar) dengan begitu saja keluar guna kepentingan anak lembu.
                Hubungan antara prakerti dan purusa disebut “samyoga”, artinya persenyawaan atau ikatan (sam berarti bersama dan yoga, bandingkanlah dengan lungo dalam bahasa Latin, berarti mengikat).
                Siapakah purusa itu? Di dalam sistim-Samkhya purusa itu sesutu yang sangat halus dan tidak dapat diberi definisinya. Segala gejala psykhis, segala yang ada pada kita termasuk benda pengamatan ilmu jiwa, oleh Sankhya di pandang sebagai tergolong pada prakerti. Purusa hanya penonton (sakshin) saja pada peristiwa-peristiwa dalam. Kita dapat berkata”. Jadi pada kita ada semacam kembaran yang tidak merasakan, tidak berpikir, berkata dan berbuat. Jadi di dalam manusia purusa itu bukanlah yang berbuat, tetapi yang menonton. Biasanya prakerti itu disebut materi. Tetapi itu sebenarnya lain dengan apa yang kita namakan materi. Prakerti adalah subtansi yang universal, yang tidak diberi bentuk, ialah alam dalam arti kata yang seluas-luasnya. Prakerti itu tidak mempunyai permulaan dan tidak dapat dibinasakan dan bersifat satu adanya. Adanya prakerti harus diakui, karena apa yang kita lihat itu harus bergantung kepada sesuatu yang lebih universal dan tetap (permanen), dan karena dunia itu menimbulkan pikiran pada kita, bahwa alam semesta itu suatu kesatuan. Jadi ajaran tentang sebab dan akibat (kausalitas) di sini dipergunakan untuk membuktikan adanya prakrti. Tiap-tiap kejadian itu hanya wujud pernyataan sesuatu, yang telah termuat di dalam sebabnya. Atau dengan perkataan lain: prakrti adalah kemungkinan, di mana segala sesuatu yang ada belum diberi bentuk. Jika alam (prakrti) itu tidak mempunyai permulaan dan tidak terbinasanakan, maka tentulah alam itu senantiasa berubah, senantiasa giat, (aktif). Terhadap kesatuan prakrti yang pokok terdapatlah sejumlah banyak purusa. Terhadap kegiatan prakrti yang abadi terdapat ketenangan yang abadi, keadaan purusa yang abadi.
                Selanjutnya di dalam prakerti terdapat ketiga bagian yang membentuk semesta yakni: sattva,
Rayas,
Tamas. Semua itu disebut: guna.
Sattva ialah “adanya yang ada”. Sattva adalah unsur asali dari segala yang terang, yang memberi cahaya dan segala yang mulia. Sattva itu juga sesuatu yang memberi kepuasan, yang memberi ketentraman, yang menenangkan hati manusia.
                Rayas adalah nafsu yang berkobar dan tidak dapat di kekang, ialah sesuatu yang menimbulkan rasa tidak senang dan tidak tentram.
                Tamas adalah kegelapan, yang berat, yang tidak bernafsu (yang indolen), yang muram, merasa sedih, merasa hancur, dukacita. Anasir-anasir atau faktor-faktor pada prakrti itu sendiri tidak dapat diamati, kita hanya dapat merasainya pada segala yang ada ini. Seekor burung mempunyai sattva (cahaya) sebagai ciri; tetapi harimau mempunyai rayas; ulat bercirikan tamas. Pada segala sesuatu terdapat ketiga guna itu. Pada barang atau makhluk yang satu terdapat lebih banyak guna macam ini, pada barang atau makhluk yang lain terdapat guna yang lebih banyak pula. Benda atau makhluk yang dapat kita amati adalah rupa dari guna. Cahaya adalah rupa dari sattva. Api badai, dan sebagainya adalah rupa dari riyas. Ulat dan kuda air adalah rupa dari tamas.
                Ketiga guna itu menentukan segala peristiwa di dunia dan di dalam prakrti dalam bentuk terbungkus, prakrti adalah hal kemungkinan, sama dengan hule di dalam filafat Yunani.
                Bagaimanakah kita harus membayangkan hubungan (samyoga) antara prakrti dan purusa? Apabila purusa dan prakerti itu saling dekat-mendekati, mulailah prakrti itu mencipta: dari keadaan yang tidak terbentuk dan dari kemungkinan yang alami beralihlah prakrti itu menjadi sesuatu yang berbentuk (rupa). Perhatikanlah, bahwa di sini unsur yang mencipta itu adalah unsur perempuan. Purusa itu pemimpi, yang dipengaruhi oleh lukisan-lukisan nafsu daripada prakrti. Di dalam keadaan ini purusa itu megira bertindak sendiri dan belum mengerti, bahwa hanya prakrti yang bertindak, sedang ia sendiri (purusa) hanya menjadi penonton saja (sakshin). Dalam saling dekat mendekati dari prakrti dan purusa berkembanglah kabut menyelimuti purusa, yang makin bertambah tebal.        
                Jika prakrti dan purusa saling dekat mendekati, terjadilah proes yang banyak selukbeluknya sebagai berikut:
1.       Mula-mula lahirlah budi, kesadaran.
2.       Unsur yang kedua ialah ahamkara, artinya sang pembuat aku, kesadaran akan adanya suatu “ aku” (kesadaran –subyek).
3.       Manas: kekuasaan untuk mengmati dan untuk memberi reaksi terhadap apa yang telah diamati itu.[5]
2.Triguna
Prakrti dibangun oleh triguna yaitu, rajas, dan tamas. Guna artinya unsur, atau komponen penyusunan. Triguna itu tidak dapat kita amati dengan indra. Adanya itu disimpulkan atas obyek dunia ini yang merupakan akibat dari padanya. Karena adanya kesamaan azas antara akibat dan sebab, maka dapat kita ketahui sifat-sifat guna itu dari alam yang merupakan wujud hasil dari padanya. Semua obyek dunia ini memiliki tiga sifat yaitu sifat-sifat yang menimbulkan rasa senang. Susah dan netral. Nyanyian burung yang menyenangkan seorang seniman, menyusahkan orang sakit, tak berpengaruh apapun untuk orang yang acuh. Sebab semua sifat ini merupakan akibat suatu sebab, maka sifat-sifat itu haruslah terkandung dalam sattva, rajas dan tamas itu.
Sattwa adalah suatu prakrti yang merupakan alam kesenangan yang ringan, yang tenang bercahaya. Wujudnya berupa kesadaran sifat ringan yang menimbulkan gerak keatas, angin dan air di udara dan semua bentuk kesenangan seperti kepuasan, kegirangan dan sebagainya.
Rajas adalah unsur gerak pada benda-benda ini. Ia selalu gerak dan menyebabkan benda-benda ini bergerak. Ialah menyebabkan api berkobar, angin berhembus, pikiran berkeliaran kesaana kemari. Ialah yang menggerakan sattwa dan tamas untuk melaksanakan tugasnya.
Tamas adalah unsur yang menyebabkan sesuatu menjadi pasip dan bersifat negatif. Ia bersifat keras, menentang aktifitas menahan gerak pikiran hingga menimbulkan kegelapan, kebodohan sehingga mengantar orang pada kebingungan. Karena menentang aktifitas menyebabkan orang menjadi malas, acuh tak acuh, tidur.[6]
Ketiga guna ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainya karena masing-masing saling mengsuport yang lain sebagai satu kesatuan. Ibaratkan “lampu minyak” yang terdiri dari unsur nyala, unsur minyak dan unsur lampunya, yang secara sendiri-sendiri tidak akan dapat berfungsi. Dalam kaitan dengan konsep penciptaan , pemeliharaan dan peniadaan, Sattwa adalah penciptaan Rajas adalah pemeliharaan dan Tamas adalah peniadaan. Prakrti dicirikan oleh adanya tiga guna diatas. Kata guna artinya adalah kwalitas atau sifat dari Prakrti, tetapi tidak sekedar aspek permukaan dari alam materiil ini, tapi hakekat intrinsic dari Prakrti. Guna-guna itu selalu berubah dari dalem dirinya sendiri walaupun dalam keadaan keseimbangan, Cuma saja ia tidak menghasilkan apapun sepanjang keseimbangan tidak terganggu. Bila keseimbangan terganggu maka guna-guna dalam situasi gunaksobha, dimana masing-masing guna beraksi satu sama lainnya yang diebabkan karena salah satu guna secara dominan tampil walaupun tidak meniadakan guna-guna lainnya, dalam benda-benda material yang diam atau yang tidak bergerak maka yang dominan adalah Tamas Guna dibangdingkan dengan  dua Guna lainnya. Dalam sesuatu yang bergerak maka Rajas Guna dominan dari pada dua guna lainnya. Demikianlah Guna-Guna itu bekerja bersama-sama dalam membentuk alam semesta ini. Guna-guna itu dapat di mengerti dari fakta berupa ciri-ciri dari Dunia marteriin ini,baik secara eksternal maupun secara internal, baik itu berupa unsur fisik atau pikiran, yang semuanya itu memiliki kemampuan dalam menghasilkan kesenangan, penderitaan atau seimbang tidak keduanya. Suatu objek yang sama barangkali menyenangkan seseorang tapi menyakiti bagi yang lainnya atau sama sekali tidak keduanya itu. Seorang wanita yang cantik akan sangat menarik bagi pacarnya,tapi akan menyakitkan wanita lainnya yang juga tertarik pada laki-laki pacar wanita cantik itu, dan tidak ada apa-apanya bagi orang lain yang tidak terlibat”kecantikan dari wanita itu menunjukkan adanya hubungan dengan orang-orang lainnya disekitarnya, yang muncul dari Guna-guna yang ada pada dunia ini. Dari contoh ini kita akan dibantu dalam memahami bagaimana asal-usuldari semua fenomena Prakrti ang memiliki ciri-ciri yang dapatkita temukan. Pada obyek-obyek dunia ini. Prekrti dan produk-produk yang dihasilkannya membutuhkan guna-guna tersebut karena, prakrti dan produknya tidak mempunyai kekuatan untuk membedakan dirinya dengan Purusa. Mereka adalah Objek sedangkan Purusa adalah Subyek. Filsafa Samkhya menyatakan bahwa keseluruhan alam semesta ini berkembang dari guna, dimana dalam keadaan ketiga guna itu seimbang alami disebut Prakrti dan dalam keadaan tidak seimbang disebut sebagai Vikrti, yaitu keadaan yang heterogen. Tiga guna ini oleh filsuf Samkhya yang beraliran nonteistik dinyatakan sebagai penyebab terakhir dari aktifitas (alam); dan Tamas adalah berat dan gelap, lesu atau menutupi (guru danavarna). Guna itu tidak berbentuk dan selalu ada (omnipresent) yang dalam keadaan seimbang menyerahkan sifat-sifatnya kedalam yang satu dengan yang lainnya. Dalam keadaan tidak seimbang, rajas dikatakan sebagai pusat dari sattva dan tamas, yang menghasilkan penciptaan karena memanifestasikan dirinya dengan demikian rajas menghasilkan pasangan-pasangan yang berlawanan.sebaliknya Raja juga tergantung dari Sattpa dan Tamas, karena aktifitas tidakakan terjadi tanpa adanya obyek dan media leat mana ia beraktifitas. Dalam keadaan memanifestasikan diri, salah satu guna mendominasi duaguna lainnya, tetapi tidak pernah terjadi secara sepenuhnya terpisah atau absen satu sama lainnya karena secara keseimbangan mereka bereaksi antara satu dengan yang lainnya. Dengan pengaruh rajas maka kekuatan sattvika maka kecepatan yang tinggi dan unit kekuatan itu terpecah menjadi bagian-bagian. Dalamtahapan tertentu barangkal percepatan berkurang dan mereka mulai mendekat dan mendekat satusama lainnya.kontraksi dari kekuatan Sattvika maka akan terbentuk Tamas, dan dalam waktu yang bersamaan dorongan dari kekuatan aktif (rajas) juga terjadi pada Tamas dan dalam kontraksi itu terjadilah ekspansi yang cepat. Dengan demikian guna itu secara terus menerus merubah keunggulan mereka mengatasi yang lainnya. Keunggulan Sattva dari Tamas dan sebaliknya, keunggulan Sattva pada Tamas terjadi secara bersamaan dalam proses tersebut, dan pergantiian itu terjadi pada setiap saat. Sattva dan Tamas dan dalam penampakannya merupakan terang dan tidak berbobot sedang yang lain merupakan gelap dan berat. Tapi pasangan ini bekerja secara bersama-sama dalam penciptaan dan peleburan seperti halnya benda-benda bergerak dari yang halus. Ekspansi kekuatan energi yang tertimbun dalam bentuk-bentuk yang halus, darimana ia memafestasikan dari dalam bentuk keseimbangan yang baru. Keseimbangan yang sifatnya relatif ini merupakan suatu tahapan tertentu dari proses evolusi itu sendiri. Memang kelihatannya ada suatu konflikyang berkesinambungan antara guna-guna itu, tapi sesungguhnya ada kerjasama yang sempurna selama proses penciptaan oleh karena lewat interaksi yang berkesinambunganitulah aliran kosmis dan kehidupan individual terus berlangsung. Guna-guna itu memiliki peranan yang sama dalam tubuh dan pikian manusia sepertihalnya yang terjadi pada alam semesta secara keseluruhan.[7]
Contoh dari triguna :
     
3.Evolusi alam semesta.
      Prakrti akan mengembang menjadi alam ini bila berhubungan dengan purusa. Melalui perhubungan ini prakerti dipengaruhi oleh purusa seperti halnya anggota badan kita dapat bergerak karena hadirnya pikiran.
        Evolusi alam semesta tidak mungkin terjadi hanya karena purusa, karena ia bersifat pasif. Tidak juga hal itu dapat terjadi karena ia tanpa kesadaran. Hanya karena perhubungan purusa prakerti ini adalah seperti kerja sama orang lumpuh dengan orang buta untuk dapat keluar hutan. Mereka bekarja sama untuk mencapai tujuannya.
        Hubungan antara purusa dan prakrti menyebabkan terganggunya keseimbangan dalam triguna. Yang mula-mula tergantung ialah rajas yang menyebabkan guna yang lain ikut terguncang pula. Masing-masing guna itu berusaha mengatasi kekuatan guna lainnya. Maka terjadilah pemisah dan penyatuan triguna itu yang menyebabkan munculnya obyek yang kedua ini. Yang pertama terjadi dari prakrti ialah Mahat dan Budhi. Mahat adalah benih besar alam semesta ini sedangkan Budhi adalah unsur intelek.
Fungsi budhi ialah untuk memberikan pertimbangan dan memutuskan segala apa yang datang dari alat-alat yang lebih rendah dari padanya. Dalam keadaannya yang murni ia bersifat dharma, jnana, vairagya dan aiswarya yaitu kebijakan, pengetahuan, tidak bernafsu dan ketuhanan. Ia berada amat dekat dengan roh. Ahamkara atau rasa aku adalah hasil prakrti yang kedua. Ia langsung timbul dari mahat dan merupakan manifestasi pertama dari mahat. Fungsi Ahamkara ialah merasakan rasa aku. Dengan ahamkara sang diri merasa dirinya yang bertindak, yang ingin, yang bermilik.
                Ada tiga macam ahamkara seuai dengan guna mana yang lebih unggul dalam keinginan itu. Ahamkara itu disebut sattwika bila unsur sattwa yang unggul, rajasa bila rajas yang unggul dan tamasa bila tamas yang unggul.
                Dari sattvika timbullah panca jnanendriya, panca karmendriya dan manas. Dari tamasa lahirlah panca tanmatra sedangkan rajasa memberikan tenaga baik pada sattwika maupun tamasa untuk merubah mana berfungsi menuntun alat-alat tubuh untuk mengetahui dan bertindak.
                Panca tanmatra adalah sari-sari benih suara, sentuhan, warna, rasa dan bau. Semuanya ini hanya diketahui orang akibat yang ditimbulkannya, sedangkan ia sendiri tidak dapat dikenal karena amat halusnya.
Dari benih suara terjadilah Akasa.
Dari benih sentuhan dan suara terjadilah udara.
Dari benih warna, suara dan sentuhan terjadi cahaya atau api.
Dari benih suara, sentuhan dan warna terjadi air.
Dan dari benih baru dan empat tanmatra yang lain terjadi bumi.
                Dari semua anasir kasar itu berkembanglah alam semesta ini dengan segala isinya, namun perkembangan ini tidak menimbulkan azas-azas baru lagi seperti perkembangan mahat. Alam semesta ini dengan segala isinya, namun perkembangan mahat. Alam semesta adalah benda-benda yang dijadikan bukan benda-benda yang menjadikan.
                Suatu azaz lagi setelah terbentuknya alam semesta ini, belumlah sempurna sampai disitu, sebab ia memerlukan adanya dunia roh yang menjadi saksi dan yang menikmati isi alam ini. Bila roh nyata ada, maka perlulah adanya penyesuaian moral, kenikmatan dan kesusahan hidup ini. Evolusi prkrti menjadi dunia obyek memungkinkan roh nikmat atau menderita sesuai dengan baik buruk perbuatanya. Namun tujuan akhir evolusi prakrti ialah kelepasan.[8]
4.Ajaran tentang kelepasan.
                Hidup didunia ini adalah campuran antara senang dan susah. Banyak kesenangan dapat dinikmati, banyak pula kesusahan dan sakit yang diderita orang. Bila orang dapat menghindari diri dari kesusahan dan sakit, maka ia tak dapat menghindari diri dari ketuaan dan kematian. Ada tiga macam sakit dalam hidup ini yaitu adhyatmika, adhibautika, dan adhidaiwika.
Adhyatmika adalah sakit karena sebab-sebab dari dalam badan sendiri seperti kerja alat-alat tubuh yang tidak normal dan gangguan perasaan. Dengan demikian ia merupakan gangguan perasaan. Dengan demikian ia merupakan gangguan jasmani dan rokhani seperti sakitkepala, takut, marah, dan sebgainya.
Adhibautika adalah sakit yang disebabkan oleh faktor luar tubuh, seperti terpukul, kena gigitan nyamuk dan sebagainya.
Dan adidaiwika adalah sakit karena tenaga gaib seperti setan, hantu dan lain-lainnya.
                Tidak ada seorangpun yang ingin menderita sakit, semuanya ingin hidup bahagia lepas dari susah dan sakit. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Selama orang masih berbadan lemah, selama itu suka dan duka, sakit dan sehat selalu berdampingan. Dengan demikian kita perlu bercita-cita hidup bersenang-senang selalu, cukup hidup biasa-biasa saja dengan berusaha melepaskan penderitaan atas dasar pikiran sehat.
                Dalam ajaran samkya kelepasan itu adalah penghentian yang sempurna dari semua penderitaan. Inilah tujuan terakhir dari hidup kita. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memperingan hidup kita, namun tidak dapat melepaskan kita dari penderitaan sepenuh-penuhnya. Samkhya mengajarkan bahwa cara mencapai kelepasan itu ialah melalui pengetahuan yang benar atas kenyataan dunia ini.
Tiadanya pengetahuan itulah yang menyebabkan orang menderita. Dalam banyak hal orang-orang yang tidak punya pengetahuan tentang hukum alam dan hukum kehidupan terbentur pada masalah yang membawanya pada kesedihan. Berbeda halnya orang-orang yang berpengetahuan akan menerima dan menikmati kenyataan itu tidak sempurna, maka ia tidak lepas dari penderitaan sepenuhnya. Kelepasan itu hanya akan dicapai bila pengetahuan orang akan kenyataan itu sudah sempurna.[9]
Dalam Sankhya dan Yoga, pertentangan filsafat dan kosmologi sel kehidupan dualistik pra-Arya dengan materi kehidupan di alam semesta akhirnya bisa disatukan menjadi ortodoksi Brahman. Pertentangan ini bahkan menjadi salah salah satu bagian terpenting dalam tradisi filsafat Hindu klasik yang komperhensif. Namun demikian, Kapila, pendiri mitis ajaran sankhya, mula-mula dianggap heterodoks, dan tidak ada nama-nama guru Brahman garis Vedic yang tampak di antara para penjelas Sankhya dan Yoga awal. Pada kenyataan, ketidak kompatibilitasan mendasar idealisme non-ganda Vedanta dengan realisme dualistik-pluralistik Sankhya dan Yoga masih dapat dirasakan bahkan dalam Bhagavad Gita, meskipun sebenarnya salah satu ciri pokok kitab sintesis yang agung ini adalah pemakaian bahasa-bahasa dari dua tradisi yang bertentangan itu secara berdampingan untuk menunjukan bahwa keduanya pada hakikatnya tidak berbeda. Pada abad ke-15, dalam Vedantasara, dan lagi-lagi pada abad ke-16, dalam tulisan-tulisan Vijnanbhiksu, dua filsafat tersebut dipaparkan secara berurutan yang menunjukkan bahwa keduanya menguraikan seebuah kebenaran dari dua sudut pandang yang berbeda. Senyatanya, para pendukung dua aliran ini di india telah berdamai selama berabad-abad dengan saling meminjam konsep-konsep pokok untuk menguak misteri jalan menuju ke tujuan yang sama, yakni moksa.[10]    
     
       
Daftar Pustaka
[1] Joesoef Sou’yb, AGAMA-AGAMA BESAR DI DUNIA, (Jakarta : Al Husna Zikra, 1996) cet 3
2 Harsa Swabodhi, BUDDHA DHARMA&HINDU DHARMA, (Sumatra Utara :Yayasan Perguruan “BUDAYA”)
3. Dr.A.G.HONIG Jr. ILMU AGAMA,( Jakarta, Gunung mulia, 1997)
.4 I GEDE RUDIA ADIPUTRA, TATTWA DARSANA, (Jakarta, yayasan dharma sarath, 1990)

makalah revisi filsafat yoga

Filsafat Hinduisme Yoga

oleh faur rasyid 

1.    Pendahuluan
Ada banyak jalan untuk mencapai kebenaran tertinggi. Jalan yang berbeda-beda itu tampakanya memiliki tujuan yang sama yaitu sebuah penyatuan tertinggi antara Atman dengan Brahman. Kita lahir berulang kali untuk meningkatakan perkembangan evolusi jiwa. Dan masing-masing dari kita berada pada tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Karena itu tiap orang disiapkan untuk tingkat pengetahuan spiritual yanag berbeda pula. Semua jalan rohani yang ada di dunia ini penting karena ada orang-orang yang membutuhkan ajarannya. Penganut suatu jalan rohani dapat saja tidak memiliki pemahaman lengkap tentang sabda Tuhan dan tidak akan pernah selama masih berada dalam jalan rohani tersebut.

Jalan rohani itu merupakan sebuah batu loncatan untuk pengetahuan yang lebih lanjut. Setiap jalan rohani memenuhi kebutuhan rohani yang mungkin tidak dapat dipenuhi oleh jalan rohani yang lain. Tidak satupun jalan rohani yang memenuhi kebutuhan semua orang di segala tingkat. Saat satu individu masih tingkat pemahamannya tentang Tuhan dan perkembangan dalam dirinya, dia mungkin merasa tidak terpenuhi oleh pengajaran jalan rohani sebelumnya dan mencari jalan rohani yang lain untuk mengisi kekosongannya. Bila hal itu terjadi, maka orang tersebut telah meraih tingkat pemahaman yang lain dan akan merindukan kebenaran serta pengetahuan yang lebih luas, dan kemungkinan lain untuk tumbuh.
Dengan demikian kita tidak berhak untuk mencerca jalan rohani yang lain. Semua berharga dan penting di mata-Nya. Ada pemenuhan sabda Tuhan, akan tetapi kebanyakan oaring tidak meperolehnya di sini untuk bisa meraih kebenaran, kita perlu mendengarkan roh dan melepas ego kita. Dan Yoga sebagai salah satu jalan yang bersifat universal adalah salah satu jalan rohani dengan tahapan-tahapan yang disesuaikan dengan kemapuan spiritual seseorang. Secara historis, aliran yoga yang paling penting dalam Hinduisme adalah sistem klasik dan Patanjali.

2.    Filsafat Yoga
a.    Pengertian Filsafat Yoga
Yoga berasal dari bahasa Sanskerta berarti "penyatuan", yang bermakna "penyatuan dengan Sang Pencipta".  Yoga merupakan salah satu dari enam ajaran dalam filsafat Hindu, yang menitikberatkan pada aktivitas tapa di mana seseorang memusatkan seluruh pikiran untuk mengontrol panca inderanya dan tubuhnya secara keseluruhan.  Yoga secara harfiah berasal dari suku kata “yuj” yang memiliki arti menyatukan atau  menghubungkan diri dengan Tuhan. Kemudian Patanjali memberikan definisi tentang yoga yaitu mengendalikan gerak-gerak pikiran.  Ada dua hal yang penting sebagai seorang praktisi yoga adalah melatih secara terus menerus sekaligus tidak terikat dengan hal-hal duniawi. Secara spiritual Yoga merupakan suatu proses di mana identitas jiwa individual dan jiwa Hyang Agung disadari oleh seorang yogi, Yogi adalah orang yang menjalani yoga, orang yang telah mencapai persatuan dengan Hyang Agung.
Jiwa manusia dibawa kepada kesadaran akan hubungan yang dekat dengan sumber realitas (Hyang Widhi). Seperti setitik air yang bersatu dengan air di samudra. Yoga adalah ketenangan hati, ketentraman, keahlian dalam bertingkah laku, Segala sesuatu yang terbaik dan tertinggi yang dapat dicapai dalam hidup ini adalah Yoga juga, Yoga mencakup seluruh aplikasi yang inklusif dan universal yang mengantar kepada pengembangan / pembangunan seluruh badan, pikiran dan jiwa.
Kata Yoga artinya hubungan. Hubungan antara rokh berpribadi dengan rokh yang universal yang tidak berpribadi. Dalam hal ini Rsi Patanjali mengartikan yoga sebagai penghentian gerakannya pikiran.
Ajaran Yoga adalah anugrah yang luar biasa besarnya dari Rsi Patanjali kepada siapa saja yang melaksanakan hidup kerokhanian. Ajaran ini merupakan bantuan kepada mereka yang ingin menginsyafi kenyataan adanya roh sebagai azas yang bebas, bebas dari tubuh indrinya dan pikiran yang terbatas.
Yoga sebagai cara untuk menguasai pikiran, agar supaya kesadaran yang biasa diganti dengan yang luar biasa, sebagai bukti bahwa orang telah mendapat pengalaman mistis yang sungguh-sungguh, telah dikenal orang India sejak zaman kuna. Di zaman yang kemudian yoga menghubungkan diri dengan aliran agama dan filsafat yang bermacam-macam, atau mungkin lebih tepat dikatakan, bahwa tiap aliran mencoba memberikan dasar yang teoritis kepada yoganya.
Yoga dalam gerakannya berorientasi menciptakan suasana batin yang tenang untuk mencapai atau menyatu-nya ruh individu dan ruh universal. Muara dari orientasi tersebut adalah kedamaian batin yang merupakan landasan dari kebahagiaan manusia. Yoga mengajarkan ketenangan dalam menyikapi permasalahan atau konflik yang terjadi antara individu. Yoga menjawab permasalahan dalam cabang filsafat etika tentang apa yang menyebabkan kebahagiaan manusia.
Yoga merupakan  implementasi dari etika dalam filsafat. Perkembangan yang terjadi dewasa ini, yoga yang ada saat ini berbeda dengan yoga pada awal kemunculannya. Dewasa ini, yoga memiliki ribuan aliran, namun terdapat 9 (Sembilan) aliran yang disesuaikan dengan kebutuhan manusia, antara lain Jnana Yoga, Karma Yoga, Bhakti Yoga, Yantra Yoga, Tantra Yoga, Mantra Yoga, Kundalini Yoga, Hatha Yoga dan Raja Yoga. Beberapa diantara aliran yoga tersebut berorientasi pada proses penenangan hati dan dapat menjadi pengobatan alternatif. Namun yang sekarang banyak dipakai adalah Hatha Yoga atau penyatuan melalui penguasaan tubuh dan nafas secara olah fisik.
Sistem filsafat yang dipakai untuk mendasari sistem yoga terang diambil dari ajaran Sankhya. Sebab juga yoga mengajarkan bahwa :
    Benda dan roh adalah kenyataan terakhir dari segala sesuatu ( prakrti dan purusa)
    Bahwa jumlah purusa adalah banyak sekali
    Bahwa alam semesta dialirkan satu sumber, yaitu prakrti
    Keduapuluh lima azas yang diajarkan oleh sankhya, yaitu purusa dan prakrti dengan perkembangannya dari mahat hingga anasir kasar ( mahat, buddhi, ahamkara, manas, buddhendrya, karmendriya, tanmatra, dan mahabhuta) diterima juga oleh yoga, sekalipun dengan perubahan sana-sini.
Konsepsi yang paling penting di dalam sistem yoga adalah citta. Citta dipandang sebagai hasil pertama dari perkembangan prakrti, yang meliputi juga ahamkara dan manas. Jadi yang dimaksud dengan citta ialah gabungan buddhi, ahamkara, dan manas.

b.    Tokoh Filsafat Yoga
Tokoh pertama dari filsafat yoga adalah Rsi Patanjali yang menulis dalam karyanya Yoga Sutra pada abad yang kelima masehi. Beliau pendiri sistim ajaran yoga, walaupun unsur-unsur ajarannya sudah ada sebelum karya tulis ini. Kemudian muncullah buku-buku komentar atas ajaran beliau seperti Byasa-bhasya tulisan Byasa Nitti tulisan Bhojaraja dan lain-lain.
Komentar-komentar ini menguraikan ajaran-ajaran yoga Rsi Patanjali yang ditulis dalam kalimat-kalimat pendek yang padat isinya. Pada kira-kira tahun 650-850Waysa menulis keterangan tentang isi buku Rsi Patanjali dengan memberikan tekanan kepada permenungan.

c.    Isi Kitab Yoga Sutra
Yoga terdiri dari empat kitab dan tiap orang boleh memilih beberapa diantara yang empat itu sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing yaitu :
    Bakthi yoga yaitu dengan sujud bakti, dengan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan.
    Karma yoga yaitu dengan melakukan kewajiban-kewajiban dan perbuatan-perbuatan baik,dengan ikhlas tanpa pamrih.
    Jnana yoga yaitu dengan jalan pengetahuan atau filsafat, tetapi yang dimaksud semula adalah pengetahuanyang berdasarkan intuisi.
    Raja yoga yaitu dengan jalan mistik, yang terdiri dari beberapa tahap yang disebut dengan Assatangga Yoga. Ini merupakan jalan yang paling sulit yang hanya cocok bagi orang yang berbakatuntuk menjalankan tapa.
3.    Etika Yoga
Dalam filsafat yoga maka yoga berarti penghentian kegoncangan-kegoncangan pikiran. Ada lima keadaan pikiran itu. Keadaan pikiran itu ditentukan oleh intensitas sattwa, rajas dan tamas. Kelima keadaan pikiran itu ialah:
a.    Ksiptaartinya tidak diam-diam
Dalam keadaan ini pikiran diombang ambingkan oleh rajas dan tamas dan ditarik-tarik oleh objek indranya dan sarana-sarana untuk mencapainya. Pikiran melompat-lompat dari satu objek ke objak yang laint tanpa mengaso pada satu objek
b.    Mudha artinya lamban dan malas
Ini disebabkan oleh pengaruh tamas yang menguasai alam pikiran. Akibatnya orang yang alam pikirannya demikian cenderung lebih bodoh, senang tidur dan sebagainya.
c.    Wiksipta artinyabingung, kacau.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh rajas. Karena pengaruh ini pikiran mampu mewujudkan semua objek dan mengarahkannya kepada kebajikan, pengetahuan dan sebagainya. Ini merupakan tahap pemusatan pikiran pada suatu objek namun sifatnya sementara sebab akan sisusul lagi oleh kekuatan pikiran.
d.    Ekagra artinya terpusat.
Disi citta terhapus dari cemarnya rajas sehingga sattvalah yang kuasa atas pikiran. Ini merupakan awal pemusatan pikiran pada suatu objek yang memungkinkan ia menetahui alamnya yang sejati sebagai persiapan untuk menghentikan perobahan-perobahan pikiran.
e.    Niruddha artinya terkendali.
Dalam tahap ini berhentilah semua kegiatan pikiran, hanya ketenanganlah yang ada.
Ekagra dan Niruddha merupakan bantuan dan persiapan untuk mencapai tujuan akhir yaitu kelepasan. Ekagra bila berlangsung terus menerus disebut samprajnata yoga atau mediasi yang dalam yang padanya ada perenungan kesadaran akan suatu objek yang terang.
Ada empat macam samprajnana yoga menurut jenis obat renungannya, keempat jenis itu ialah :
a.    Sawitarka ialah bila pikiran itu dipusatkan pada suatu objek benda kasar seperti arca dewa atau dewi.
b.    Sawicara ialah bila pikiran itu dipusatkan pada suatu objek yang halus yang tidak nyata seperti tanmatra.
c.    Sananda ialah bila pikiran itu dipusatkan pada suatu objek yang halus seperti rasa indranya.
d.    Sasmita ialah bila pikiran itu dipusatkan pada asmita yaitu anasir rasa aku yang biasanya rokh menyamakan dirinya dengan ini.
4.    Astangga Yoga
Ajaran sankhya yoga mengatakan bahwa kelepasan itu dapat mencapai melalui pandangan spiritual pada kebenaran rokh sebagai suatu daya hidup yang kekal yang berbeda dengan badan dan pikiran.
Pandangan spiritual seperti tersebut diatas ini hanya dapat dimiliki bila pikiran itu bersih. Tenang tak digoncangkan oleh apapun juga. Untuk meningkatkan kebersihan pikiran itu yoga mengajarkan adanya 8 jalan yang bertahap-tahap yang disebut astangga yoga yaitu :
a.  Yama, yaitu dilarang melakukan kekerasan (himsa), berbohong, mencuri, seks bebas, rakus, iri hati.
b.  Niyama, yaitu anjuran menjaga kebersihan lahir batin, lingkungan, kesederhanaan, bersyukur selalu untuk apa adanya, rajin belajar dan setia pada pasangan hidup, guru, orang tua, negara, dan seterusnya.
c. Asana, yaitu pelatihan atau posisi posisi hatha-yoga menyeluruh yang meliputi gerakan-gerakan sambil berdiri, duduk, berbaring dan juga secara akrobatis demi menjaga otot-otot persendian, organorgan bagian dalam dan luar tubuh.
d. Pranayama: Pernafasan yang dilatih secara sistematis, baik secara individual maupun berkelompok.
e. Pratihara: memusatkan pikiran dan perhatian ke dalam diri, membatasi diri dari berbagai rangsangan-rangsangan duniawi yang mengikat dan negatif melalui berbagai panca indra kita.
f. Dharana: memusatkan perhatian pada suatu hal dalam kehidupan ini, 6-7-8 harus dibawah guru spritual yang handal dan non pamrih.
     g. Dhyana: meditasi ke arah ketenangan.
h. Samadi: pencerahan spritual akan hakekat diri manusia itu sendiri dan hubungannya dengan Sang Pencipta.
Kandungan metafisika dan etika dalam dunia filsafat sangat mengena jika melihat 8 (delapan) prinsip dasar dari yoga. Prinsip-prinsip tersebut mengarah pada hubungan antara jiwa (spiritual) yang dikelola melalui raga untuk mencapai ketenangan batin dalam meraih kebahagiaan.


5.    PENUTUP
 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Yoga sebagai sebuah cara atau jalan untuk mengendalikan pikiran yang terobyektifkan serta kecendrungan alami pikiran dan mengatur segala kegelisahan-kegelisahan pikiran agar tetap tak terpengaruh sehingga bisa mencapai penyatuan antara kesadaran unit dan kesadaran kosmik.
Astangga yoga merupakan tahapan-tahapan yang harus dijalankan bagi seseorang yang ingin meningkatkan kualitas spiritual. Astangga Yoga berarti delapan tahapan yang harus dilaksanakan dalam beryoga. Bagian-bagian dari Astangga Yoga yaitu Yama (pengendalian), Nyama (peraturan-peraturan), Asana (sikap tubuh), Pranayama (latihan pernafasan), Prathyahara (menarik semua indrinya kedalam), Dharana (telah memutuskan untuk memusatkan diri dengan Tuhan), DHYANA(mulai meditasi dan merenungkan diri serta nama Tuhan), dan Samadhi (telah mendekatkan diri, menyatu atau kesendirian yang sempurna atau merialisasikan diri).
Aplikasi dari ajaran  Astangga Yoga di jaman Kali Yuga ini masih sangat minim. Hal itu disebabkan karena jaman globalisasi membuat pola pikir seseorang untuk benar-benar berniat mengamalkan ajaran ini masih cukup rendah. Jika kita telusuri apa yang disebut Yoga oleh orang-orang moden sangat jauh berbeda dari sistem Yoga aslinya. Saat ini orang-orang hanya fokus mempraktekkan tingkatan Raja Yoga yang ketiga dan yang keempat, yaitu Asana (sikap duduk) dan Pranayama (teknik pernapasan) dan semata-mata hanya untuk alasan kesehatan, umur panjang bahkan meningkatkan nafsu birahai semata. Walaupun secara material bermanfaat, namun mereka tidak memahami tujuan utama dari sistem Yoga itu sendiri.
Pada dasarnya Yoga berarti penghubungan atau pengaitan jiva individual dengan Yang Maha Kuasa, dengan kata lain tujuan utama dari sistem Yoga adalah untuk menghubungkan diri kita yang rendah dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, bukan semata-mata hanya untuk kepentingan kesehatan dan hal-hal material lainnya. Dengan demikian syarat utama yang dimiliki oleh seorang calon praktisi Yoga adalah kepercayaan akan adanya Tuhan. Seorang yang atheis tidak bisa mengikuti sistem ini. Kalaupun dia mengikutinya, dia hanya akan mentok sampai pada tingkatan asana dan pranayama yang tujuannya hanya sebatas kesehatan fisik. Disamping itu, seorang praktisi Yoga juga harus memiliki dasar moral dan disiplin tinggi. Meskipun dikatakan bahwa selama kita ada dalam tubuh manusia, tidak perduli berapa umur kita, jenis kelamin dan kondisi fisik, namun tanpa dasar moral yang baik dipastikan seseorang tidak akan pernah bisa menapak sistem Yoga. Karena itulah dua tingkatan pertama memelihara sifat kejam, suka mabuk dan kejahatan-kejahatannya otomatis.
























Daftar Pustaka
Adiputra, I Gede Rudia “Tattwa Darsana” Jakarta : Yayasan Dharma sarathi 1990
Ali, Matius “ Filsafat India” Tangerang : Sanggar Luxor 2010
Hadiwijono, Harun “ Sari Filsafat India” Jakarta : Gunung mulia 1985
Manaf, Abdul Mudjahid. “ Sejarah Agama-Agama” Jakarta : Raja Grafindo Persada 1994
http://id.wikipedia.org

teks asli sruti dan smriti

2.1 Penciptaan Menurut Kitab Suci Veda
           Di dalam kitab suci Veda terdapat dua Sūkta (himne) yang secara khusus menguraikan tentang penciptaan jagat raya yang dikenal dengan sebutan Nasadiyasūkta dan Puruṣasūkta. Yang pertama menjelaskan asal atau kejadian alam semesta dan yang kedua merupakan dasar filosofis Veda yang menyatakan bahwa segala sesuatunya berasal dari Yajña, yakni pengorbanan Tuhan Yang Maha Esa yang mesti diikuti oleh umat-Nya sebagai usaha untuk menjaga kelangsungan dan harmoni alam semesta.
2.1.1 Penciptaan Menurut Nasadiyasūkta
Berikut dikutipkan terjemahan Nasadiyazūkta (Terjadinya Alam Semesta)(Ṛgveda X.129.1-7) tersebut.
            Pada waktu itu, tidak ada mahluk (eksistensi) maupun non makhluk (non eksistensi); pada waktu itu tidak ada atmosfir dan juga tidak ada lengkung langit di luarnya. Pada waktu itu apakah yang menutupi, dan di mana ? Airkah di sana, air yang tak terduga dalamnya (1)’
   
            Waktu itu, tidak ada kematian, pun pula tidak ada kehidupan. Tidak ada tanda yang menandakan siang dan malam. Yang Esa bernafas tanpa nafas menurut kekuatannya sendiri. Bernafas menurut kekuatan-Nya sendiri. Di luar Dia tidak ada apa pun juga (2)’

            ‘Pada mula pertama kegelapan ditutupi oleh kegelapan. Semua yang ada ini adalah keterbatasan yang tak dapat dibedakan. Yang ada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tapas (tenaga panas) yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong (3)’

             ‘Pada awal mulanya keinginan menjadi bermanifestasi. Yang merupakan benih awal dan benih semangat. Para Ṛṣi setelah meditasi dalam hatinya menemukan dengan kearifannya hubungan antara eksistensi dan non eksistensi (4)’

              ‘Sinar-Nya terentang ke luar, apakah ia melintang, apakah ia di bawah atau di atas. Kemudian ada kemampuan memperbanyak diri dan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya, materi gaib ke sini dan energi ke sana (5)’

‘Siapakah yang sungguh-sungguh mengetahui dan memapar-kannya di sini, dari manakah datangnya alam semesta yang menjadi ada ini? Orang-orang bijaksana lebih belakang dari ciptaan alam semesta ini, karena itu siapakah yang mengetahui dari mana munculnya (ciptaan) ini (6)’

‘Sesungguhnya Dia yang telah menciptakan alam semesta ini, serta mengendalikannya (di dalam kekuasaan-Nya). Dia yang mengawasi alam semesta ini berada di atas angkasa yang tak terhingga, sesungguhnya Dia mengetahui alam semesta ini seluruhnya dan Wahai Manusia! Janganlah mengakui eksistensi lain yang mana pun sebagai Pencipta alam semesta ini (7)’

            Dari terjemahan mantram Ṛgveda di atas dapat diketahui pandangan yang mendasar tentang misteri dari alam semesta ini. Sūkta di atas menjelaskan tentang asal alam semesta dan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan asal dari alam semesta tersebut. Sūkta pertama menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kosong, tidak ada apa pun benda material. Sūkta kedua menjelaskan eksistensi Tuhan Yang Maha Esa yang bernafas dengan kekuatan-Nya sendiri. Sūkta ketiga menjelaskan bahwa pada mulanya adalah kekosongan, tidak ada sesuatu apa pun dan tanpa bentuk. Disebutkan pula dari pada-Nya tenaga panas (energi) muncul yang merupakan proses awal penciptaan. Dari keinginan-Nya muncul penciptaan dan hal ini dapat diketahui oleh para Ṛṣi yang bermeditasi kepada-Nya (Sūkta 4). Sūkta kelima menjelaskan terciptanya benih-benih kehidupan. Sūkta keenam dan ketujuh menjelaskan terjadinya alam semesta.

              Klaus K. Klostermaier (1990:110) mengemukakan beberapa kata kunci untuk memahami proses penciptaan menurut Nasadiyasūkta di atas, yaitu: tapas, panas, kekuatan seorang Yogi (Ṛṣi) yang disebut sebagai yang bertanggung jawab pertama dalam proses penciptaan. Kama, keinginan atau dorongan nafsu (keinginan untuk mencipta) yang menyebabkan keserbaragaman dan yang melekat dalam ketidakabadian.
2.1.2 Penciptaan menurut Puruṣasūkta
Tentang penciptaan alam semesta lebih jauh dinyatakan dalam Puruṣasūkta (Yajña Tuhan Yang Maha Esa) (Ṛgveda X.90.1-16) yang terjemahannya dikutipkan sebagai berikut:

‘Puruṣa (Manusia Kosmos) berkepala seribu, bermata seribu, berkaki seribu, memenuhi jagat raya, pada semua arah, mengisi seluruh angkasa (1)’

‘Sesungguhnya Puruṣa adalah semua ini, semua yang ada sekarang dan yang akan datang, Dia adalah raja keabadian yang terus membesar dengan makanan (2)’

‘Demikian hebat kebenarannya. Dan Puruṣa bahkan lebih besar dari ini. Semua wujud ini adalah seperempat dari diri-Nya. Tiga perempat lagi adalah keabadian ada di sorga (3)’

‘Tiga perempat dari Puruṣa pergi membubung jauh. Seperempat lagi lagi berada di alam ini yang berproses terus menerus berselang-seling dalam berbagai wujud yang bernyawa dan yang tidak bernyawa (4)’.

‘Dari Dia Viraj (Dia Yang Bercahaya) lahir dan dari Virāj Dia kembali. Segera setelah Dia lahir Dia mengembang ke seluruh penjuru, mengembang mengatasi alam semesta (5)’

‘Ketika para Dewa mengadakan upacara kurban dengan Puruṣa sebagai persembahan, maka minyaknya adalah musim semi, kayu bakarnya adalah musim panas dan sajian persembahannya adalam musim gugur (6)’

‘Mereka mengorbankan sebagian korban pada rumput. Puruṣa yang lahir pada awal kejadian alam semesta. Pada Dia para Dewa dan semua Sadhya dan para Ṛṣi mempersembahkan kurban (7)’

‘Dari korban Puruṣa dipersembahkan keluarlah dadih dan mentega yang sudah bercampur. Kemudian Dia jadikan binatang-binatang yang padanya berbeda. Baik binatang buas maupun binatang jinak (8)’

‘Dari korban Puruṣa yang dipersembahkan, Ric (Ṛgveda) dan Sama (Samaveda) muncul. Dari Dia lahirnya metrik. Dari Dia lahirnya Yajus (Yajurveda) (9)’

‘Dari Dia lahirlah kuda dan binatang apa saja yang mempunyai gigi dua baris. Sapi lahir dari Dia. Dari Dialah lahirnya kambing dan biri-biri (10)’.

‘Ketika mereka menjadikan Puruṣa persembahan, menjadi berapa bagiankah Dia? Dan apakah mereka sebut paha kaki-Nya? (11)’

‘Dari mulut-Nya muncul Brahmana, dari lengan-Nya muncul Rajanya (Ksatriya), dari paha-Nya muncul Vaisya, dan Sudra muncul dari kaki-Nya (12)’

‘Bulan muncul dari pikiran-Nya, matahari dari mata-Nya, Indra dan Agni muncul dari mulut-Nya, dan Vayu dari nafas-Nya (13)’.

‘Dari pusar-Nya cakrawala ini muncul, dari kepala-Nya muncul langit, dari kaki-Nya muncul bumi, dari telingap-Nya lahir keempat penjuru mata angin, demikianlah Dia membentuk alam semesta ini (14)’.

‘Tujuh pagar kelilingnya upacara korban itu, tiga kali enam potong kayu bakar disiapkan, ketika para Dewa mempersembahkan upacara itu yang menjadikan Puruṣa sebagai kurban (15)’

‘Dewa-dewa dengan mengandakan upacara korban memuja Dia (Manusia Kosmos) yang juga merupakan upacara korban itu. Dia yang agung mencapai sorga yang mulia tempat para Sadhyas, Dewa-Dewa zaman dahulu (16)’

            Puruṣasūkta adalah sebuah Sūkta (himne) yang menjelaskan kondisi sebelum penciptaan dan pengejawantahan-Nya. Kondisi tersebut merupakan dua kondisi berubah dan kekal abadi, jagatas tasthusas. Hal tersebut merupakan proses abadi yang dari padanya Ia Yang Tidak Terbatas menjadi terbatas. Sūkta tersebut merupakan perubahan bentuk yang direncanakan dari Wujud Manusia Tertinggi (Supreme Person) dan proses terciptanya alam semesta. Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Sempurna dikenal oleh para mahārṣi (orang-orang suci). Mereka menggambarkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Yang Bercahaya seperti cahaya ribuan matahari, yang terletak di samping Kegelapan. Pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Tunggal, dinyatakan oleh para mahārṣi yang membebaskan pencari kebenaran dari segala keterikatan dan menjadikannya kekal abadi (Reddy, 1991: 175).

            Puruṣa bukanlah semata-mata Manusia Kosmos, tetapi juga merupakan aspek personal dari seluruh realitas. Konsep manusia meliputi esensi hubungan internal. Segala sesuatunya merupakan bagian dari Yang Esa dan unik yakni Puruṣa. Dari Puruṣa, Viraj, emanasi kedewataan yang pertama menampakkan diri dan berproses. Makhluk yang tidak terciptakan, yang keberadaan-Nya berfungsi sebagai media dalam proses penciptaan, meningkatkan dan juga turun kepada semua makhluk, dan juga kepada keseluruhan aktivitas, Dia juga mengandung aspek feminin, tidak hanya dalam kaitannya dengan gender, tetapi juga dalam hukum-Nya (Panikkar, 1989:73).

            Menurut Puruṣasūkta di atas, Tuhan Yang Maha Esa sendiri yang mengorbankan diri-Nya untuk menciptakan jagat raya ini, yang penampakkan-Nya di alam semesta dalam wujud materi hanya seperempat bagian sedang tiga perempat lainnya tidak terjangkau oleh umat manusia.

             Seluruh jagat raya berasal dari pada-Nya melalui Viraj, proses alam semesta dan segala isi di dalamnya berlangsung. Proses penciptaan (sristi atau utpati) dan pemeliharaan (stiti) alam semesta ini berlangsung selama Tuhan Yang Maha Esa menghendakinya dan tentunya juga akan berakhir ketika Dia menghendakinya pula.

              Proses tercipta, terpelihara, dan peleburan (pralaya) kembali alam semesta berserta seluruh isinya disebut Trikona, tiga titik kulminasi yang berlangsung terus. Proses tersebut juga dinamakan lila atau krida Tuhan Yang Maha Esa. Menurut A.L.Basham (1992:3240 motivasi penciptaan seperti tersebut, yakni berupa lila atau krida dari Jiwa Alam Semesta dapat dianalogikan dengan hasil karya seni yang muncul dari pikiran seorang artis.

               Di samping mantra-mantra tentang peenciptaan seperti telah disebutkan di atas terdapat juga mantra yang menjelaskan tentang bibit abadi berupa telur berwarna keemasan (Hiranyagarbha) yang kemudian dari pada-Nya terciptalah seluruh jagat raya seperti dinyatakan dalam Ṛgveda X.121.1 berikut:

Pada awalnya terlahirlah Hiranyagarbha, Dia yang demikian menunjukkan eksistensinya, menjadi raja dari semua makhluk, Dia yang menyangga bumi dan sorga.

            Di dalam kitab suci Veda dijelaskan tentang awal penciptaan alam semesta ini dan yang pertama eksis adalah Tuhan Yang Maha Esa sendiri, kemudian menjadikan diri-Nya sendiri sebagai Yajna dan kemudian berpikir “aham bahu syam”, “Saya ingin menciptakan yang banyak”. Sejak saat itu mulailah penciptaan alam semesta. Pertama-tama tercipta air. Di sanalah telur Hiranyagarbha berada. Telur itu kemudian pecah menjadi dua bagian, yaitu satu bagian menjadi bumi dan bagian yang lain menjadi angkasa. Segala proses penciptaan alam semesta baru dimulai setelah telur yang mengandung air itu pecah (Somvir, 2001:34-35).

            Berdasarkan kutipan terjemahan mantra-mantra Veda di atas, maka penciptaan alam semesta menurut kitab suci Veda dimulai dengan tapas yang memancarkan cahaya (energi), selanjutnya Tuhan Yang Maha Esa berkehendak dan melaksanakan Yajña dan yang terakhir dari pada-Nya pula lahir bibit berupa telur keemasan (Hiranyagarbha) yang di alam semesta tampak plenet-planet yang demikian banyak jumlahnya berwujud sebagai telor dan berwarna keemasan.



2.2 Penciptaan menurut kitab-kitab Purāṇa

            Isi pokok kitab-kitab Purāṇa umumnya dikenal dengan Pancalaksana, yang terdiri dari: (1) Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus), (2) Pratisarga (penghancuran dan penciptaan kembali alam semesta), (3) Manvantara (masa dan perubahan Manu-Manu pada setiap masa), (4) Vamsa (cerita dinasti raja-raja yang berkuasa di bumi, dan (5) Vamsanucarita (dinasti raja-raja & Ṛṣi-Ṛṣi dan raja yang akan datang). Dalam uraian ini dibatasi hanya pada sarga

2.2.1 Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus)

            Sarga adalah (proses) penciptaan (yang halus) berupa lima unsur (Panca Mahabhuta), obyek-obyek indriya, organ indriya dan pikiran, ego (ahamkara) dan prinsip kecerdasan kosmik (mahat), selanjutnya terganggunya keseimbangan dari sifat-sifat alam (guna/bhuta-matendriya-dhiyam janmasarga udaritah).

            Di kitab-kitab Purāṇa yang lain digambarkan sebagai “evolusi mahat, karena terganggunya keseimbangan Triguna selanjutnya mendorong yang tidak termanifestasikan, avyakrita, yakni unsur materi yang pertama atau Prakriti), dari tiga lapis Ahamkara (keakuan dari Mahat) dan (tiga lapis Ahamkara) dari 5 unsur alam (Bhuta), (sebelas) organ indriya (Panca Budhiriya, Karmendriya dan pikiran) dan obyek-obyek indriya.

Penciptaan ada dua jenis, yaitu: (1). Alaukika (kedevataan) dan (2) Laukika (keduniawian).

            Penciptaan Alaukika/kedevataan merupakan penciptaan yang terdiri dari 33 devata, saat itu Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk Yajna-Varaha, mewujudkan diri-Nya sebagai seekor babi hutan untuk menyelamatkan dunia. Penggambaran penjelmaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai seekor babi hutan (yang membunuh raksasa Hiranyaksa) tidak lain maksudnya adalah untuk selamatnya umat manusia, dan hal ini juga menggambarkan ajaran Karma Marga (jalan perbuatan).

            Penciptaan Laukika (keduniawian), dimaksudkan adalah penciptaan yang menggambarkan evolusi dari alam semesta yang terdiri dari 28 unsur, empat unsur materi/alam (bhuta) dan waktu (kala). Episode yang menguraikan ajaran Kapila (dan istrinya) dalam kitab Bhagavata Purāṇa menggambarkan jalan pengetahuan (Jnana Marga
Di dalam kitab Bhagavata Purāṇa (XII.7.11) diuraikan sepintas tentang penciptaan ini ke dalam beberapa topik antara lain evolusi Mahat (prinsip dasar dari kecerdasan kosmik), dari bergejolak dan terganggunya keseimbangan dari Triguna yang belum termanifes (Prakriti, unsur materi/bahan yang permulaan), memimpin evolusi Triguna selanjutnya (tipe-tipe Vaikarika atau Sattvika, Rajasa dan Tamasa, tergantung dari dominasi masing-masing guna), evolusi berlaut pada unsur-unsur alam (bhuta), alat indriya, dan obyeknya (seperti unsur yang kasar dan devata yang bersemayam pada masing-masing organ indriya (Loc.Cit).


Lebih jauh tentang penciptaan ini digambarkan dalam kitab Agni Purāṇa (17.1-16), sebagai berikut:

Agni bersabda:

Aku akan menjelaskan sekarang penciptaan alam semesta, yang merupakan dari krida (lila) Sang Hyang Visnu (dalam Samkhya disebut Brahma). Beliaulah yang menciptakan sorga dan lain-lain. Pada permulaan ciptaan dan dilengkapi dengan sifat-sifat dan tanpa sifat-sifat (1).

1) Brahma, yang tidak menampakan diri, sesungguhnya Yang Ada. Saat itu tidak ada langit, siang atau malam, dan lain-lain. Sang Hyang Visnu masuk ke-dalam Prakriti (unsur materi) dan ke dalam Puruṣa (unsur kesadaran) dan menggerakkannya(2).

2) Pada saat penciptaan yang pertama kali terpencar adalah intelek (kecerdasan budi/mahat). Kemudian terwujudlah ego (ahamkara), selanjutnya disusul pertama dari keadaan natural (Vaikarika), kilauan cahaya (taijasa) unsur-unsur alam, dan sebagainya dan kegelapan (tamasa/yang menciptakan kebodohan(3).

3) Kemudian meluaplah ether (akasa) yang merupakan unsur dasar suara (sabda) dari ego (ahamkara). Kemudian angin (vayu) merupakan unsur dasar sentuhan (sparsa) dan api (teja) sebagai unsur dasar warna (rupa) menjadi ada dari padanya(4).

4) Air (apah) sebagai unsur dasar rasa (rāsa/menjadi ada) dari padanya. Tanah (prithivi) sebagai unsur bau (gandha). Dari kegelapan lahirlah ego, indriya (menjadi ada) yang nampak berkilauan(5).

5) Evolusi selanjutnya adalah terciptanya 10 kahyangan dan pikiran, sebelas indriya selanjutnya munculah Sang Hyang Svayambhu (yang ada dengan sendirinya), yakni Sang Hyang Brahma yang berkeinginan menciptakan berbagai tipe mahluk hidup(6).

6) Sang Hyang Brahma menciptakan air yang pertama. Air berhubungan dengan (disebut) sebagai narah, karena hal itu merupakan ciptaan spirit yang Tertinggi(7).

7) Dari pergerakkannya yang pertama dari semuanya itu, karenanya Ia disebut Narayana. Kemudian tergeletak (mengambang) telur di atas air yang warnanya keemasan(8).

8) Dari pada itu, Sang Hyang Brahma lahir dengan keinginannya sendiri, oleh karenanya kita mengenal sebagai yang lahir dengan sendirinya (Svayambhu). Hidup (di dalamnya) sepanjang tahun, karenanya disebut Hiranyagarbha, kemudian menjadikan telur itu dua bagian, yaitu menjadi sorga dan bumi. Di antara kedua bagian itu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan langit (9-10).

9) Sepuluh penjuru menyangga bumi yang mengambang di atas air. Kemudian Sang Hyang Prajapati (Brahma yang merupakan pencipta mahluk hidup dan alam semesta) berkeinginan mencipta, menciptakan waktu, pikiran, perkataan, keinginan, kemarahan, keterikatan dan yang lain-lain. Dari cahaya Ia menciptakan petir dan mendung, bianglala, dan burung-burung. Ia pertama menciptakan Parjanya (Indra, dewa hujan). Kemudian menciptakan Ṛgveda (Rcah), Yajurveda (Yajumsi), dan Samaveda (Samani) untuk menyelesaikan Yajña-Nya (11-13).

10) Mereka yang ingin menyelesaikan (Yajña), memuja para devata dengan (merapalkan) mantra-mantra tersebut. Mahluk hidup yang tinggi dan rendah diciptakan-Nya. Ia menciptakan Sanatkumara dan Rudra, yang lahir dari kemarahan-Nya (14).

11) Kemudian Ia menciptakan para Ṛṣi Marici, Atri, Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Vasistha, yang diyakini sebagai putra-putra yang lahir dari pikiran Sang Hyang Brahma (15).

12) Oh, Yang Mulia! Para Ṛṣi tersebut melahirkan (banyak) mahluk hidup, membagi diri-Nya atas dua bagian, separo menjadi laki-laki dan saparoh lagi menjadi perempuan. Selanjutnya Brahma melahirkan anak-anak-Nya melalui separoh bagiannya yakni bagian yang perempuan (16/Gangadharan, Vol.27, Part I, 1984: 39-41).

Pada bagian lain, kitab Agni Purāṇa (20.9.1-8) menjelaskan lebih terperinci proses penciptaan alam semesta yang digambarkan sebagai berikut:

1) Ciptaan pertama adalah intelek atau kecerdasan budi (mahat) dari Brahma. Ciptaan yang kedua adalah unsur materi yang sangat halus (tanMatra) yang dikenal dengan nama Bhutasarga (penciptaan elemen alam semesta/pañca mahabhuta (1).

2) Ciptaan yang ketiga adalah evolusi (vaikarikasarga) yakni penciptaan organ indriya (aindriyasarga). Ciptaan tersebut adalah ciptaan pertama (prakritasarga) yang ke luar dari intelek (kecerdasan budi) (2).

3) Ciptaan yang keempat adalah ciptaan dasar/utama (mukhyasarga). Sesuatu yang tidak bergerak dikenal sebagai dasar (penciptaan). Penciptaan kelima disebut penciptaan kualitas yang lebih rendah (tiryaksrota) yang dinamakan sebagai ciptaan mahluk di bawah manusia (seperti binatang, burung-burung, dan lain-lain (3).

4) Ciptaan yang keenam adalah mahluk-mahluk yang lebih tinggi (urdhvasrota) dikenal sebagai ciptaan kahyangan. Penciptaan yang ketujuh disebut ciptaan menengah (arvaksrota), yakni terciptanya umat manusia (4).

5) Ciptaan yang kedelapan adalah Anugrahasarga (kasih sayang devata), disusun dari karakter (Sattvika dan Tamasika). Kelima ciptaan yang terakhir dikenal dengan Vaikritasarga (ciptaan subyek yang akan berubah). Ciptaan yang kesembilan disebut Kaumarsarga (penciptaan Sanatkumara, dan lain-lain). demikianlah sembilan ciptaan sang Hyang Brahma yang merupakan dasar terciptanya alam semesta (5-6).

6) Bhrigu dan lain-lain mengawini Khyāti dan putri-putri yang dari Daksa. Ciptaan terdiri dari tiga jenis disebut orang, yaitu yang selalu (biasa) berlangsung (nitya), penciptaan yang menimbulkan ciptaan yang lain (naimittika) dan yang berlangsung setiap hari (dainandinì). Ciptaan yang sedang berlangsung ketika masa peleburan disebut Dainandinì. Penciptaan yang selalu berlangsung (tiada hentinya) disebut nitya (7-8).


Teori penciptaan alam semesta (sarga) yang dikenal dengan sembilan ciptaan Sang Hyang Brahma diuraikan pula secara sistematis dan terinci dalam kitab Brahmanda Purāṇa, yang dapat diringkas (direkapitulasi), sebagai berikut.

1) Ciptaan pertama

(1). Mahat (ciptaan kesadaran yang tinggi)

(2). Tanmatra (ciptaan disini disebut juga Bhutasarga)

(3). Vaikarika (ciptaan Aindriyasarga)

Seluruh ciptaan di atas adalah ciptaan Prakrita (dari kata Prakriti), sebagai awal ciptaan.

1) Penciptaan yang kedua

(4). Mukhyasarga (ciptaan yang tidak bergerak)

(5). Tiryaksrota (ciptaan mahluk rendahan dan binatang)

(6). Urdhvasrota (ciptaan berupa dewa-dewa dan mahluk-mahluk sorga).

(7). Arvaksrota (ciptaan umat manusia)

(8). Anugrahasarga (baik Sattvika maupun Tamasika)

Kelimanya (4-8) tersebut di atas disebut Vaikrita (ciptaan kedua) dan fungsi mereka tanpa kesadaran atau bagian depan (sebelum) pengetahuan (a-budhi-purvaka).

2) Penciptaan (setelah) kedua (?)

(9). Kaumarasarga (penciptaan putra-putra yang lahir dari pikiran). Ketika Sanatkumara dan yang lain-lain menjadi seorang Yogi dan tidak melahirkan putra-putra, Sang Hyang Brahma (I.1.5.70-76) menciptakan putra-putra yang lahir dari pikiran-Nya kembali, maka lahirlah: Bhrigu, Angirasa, Marìci, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha dari berbagai bagian badan-Nya (Tagare, Vol.22, Part I, 1993: XXXIV).

            G. V. Tagare dalam terjemahan kitab Vayu Purāṇa, pada bagian kata pengantarnya (XXIII) menyatakan bahwa tentang penciptaan alam semesta (Sarga) bahwa di dalam kitab-kitab Purāṇa ditemukan tiga teori tentang penciptaan alam semesta, yakni (1). Teori Samkhya-Vedānta, (2). Teori Purāṇa dan (3). Teori Samkhya. Berikut dijelaskan ketiga teori tersebut:

1) Teori Samkhya-Vedānta. Penciptaan mulai dengan prinsip dasar yang disebut Mahat dan berakhir dengan Visesa, yakni perbedaan antara lima unsur yang sangat halus dan yang kasar (kasat mata) yang disebut Pañca Mahabhuta dan Pañca Tanmatra. Sumber alam semesta adalah Brahman yang abadi, tanpa awal dan tanpa akhir, tidak dilahirkan, dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Pada awalnya adalah kegelapan dan Ia yang meresapi seluruh alam semesta yang diselubungi dalam kegelapan (Ia yang tidak termanifest), saat itu Guna dalam keadaan seimbang. Brahman juga disebut Atman. Pada awal penciptaan Ksetrajña (Devata Tertinggi) memimpin Pradhana, menggerakkan Guna dan prinsip dasar Mahat berkembang. Ketika Guna Sattva menjadi sangat dominan di dalam Mahat, unsur spirit yang sangat halus pada jasmani berkembang dan dipimpin oleh Ksetrajña.

Kitab-kitab Purāṇa memberikan etimologi yang populer dari sinonim Brahman, Ksetrajña, dan lain-lain, semacam Samanvaya dan perbedaan istilah dan teori. Ketika Mahat didorong (oleh keinginan Tuhan Yang Maha Esa), terciptalah alam semesta yang besar, Samkalpa (kekuatan pikiran) dan Adhyavasaya (kebulatan/tekad) dalam 2 tendensi (Vritti-dvayam/ I.1.4,16). Teori sintese Samkhya-Vedānta tentang penciptaan ini dapat dijumpai dalam beberapa Purāṇa, antara lain: Agni Purāṇa XVII.2-26, Brahmanda Purāṇa I.1.3.6, dan Kurma Purāṇa I.2.3.

2) Teori Purāṇa. Ksetrajña disebut Brahma yang bangkit dari telur kosmos. Ia adalah mahluk yang pertama mengambil wujud (yang berwujud pertama kali). Ia pencipta dari seluruh Pañca Mahabhuta (baik unsur material maupun mahluk hidup). Hiranyagarbha (Brahman) dalam empat wajah adalah Ksetrajña, baik pada saat penciptaan maupun pada saat Pralaya (penghancuran) alam semesta. Telur kosmos terdiri dari tujuh dunia, bumi dengan tujuh benua, samudra-samudra dan segala sesuatunya termasuk matahari, bulan, bintang-bintang, Loka (Saptaloka) dan Aloka (Saptapatala). dari luar telur kosmos ini dilapisi oleh tujuh lapisan (I.1.1.44-45). Empat yang pertama terdiri dari 4 elemen, yaitu: air, api, angin dan ether (akasa), masing-masing selubung 10 kali lebih besar dibandingkan selubung yang pertama (sebelumnya/yang ditengahnya) dan tiga selubung lainnya terdiri dari Bhutadi, Mahat dan Pradhana yang tidak termanifest. Avyakta (yang tidak termanifest) disebut Ksetra dan Brahma disebut Ksetrajña. Prakrita-sarga dipimpin oleh Brahma. Penciptaan berlangsung tanpa pra-rencana (abuddhipurvaka) seperti halnya kerdipan cahaya (I.1.4.68.-78).

3) Teori Samkhya. Teori Vedānta, Samkhya dan Purāṇa dipadukan dalam teori ini. Analisis yang terang ditunjukkan bahwa Prakrita Sarga adalah penciptaan dari Prakriti. Teori Samkhya yang teistik dapat lebih dijelaskan secara lebih ekplisit dinyatakan dalam uraian (II.5.104) sebagai berikut: “Sebelum penciptaan alam semesta adalah kondisi laya (keseimbangan) dari semua Guna. dalam wujudnya yang Avyakta (tidak termanifestasi), secara potensial terbentang seperti minyak susu (ghee) di dalam susu. Tuhan Yang Maha Agung, dengan kekuatan Yoga-Nya, menciptakan ketidak-seimbangan dari Tri Guna dan terciptalah Tiga Devata Utama (Tri Murti), Brahma (dari Rajas), Api atau Rudra (dari Tamas) dan Visnu (dari Sattva). Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa yang membagi diri-Nya ke dalam 3 fungsi utama itu”.
 
Lapisan bumi
            Menurut agama Hindu, bumi berbentuk bulat dengan inti yang sangat panas di dalamnya. Inti bumi tersebut merupakan neraka yang terpanas. Sebelum mencapai inti bumi, ada tujuh lapisan yang menyusun bumi. Tujuh lapisan itu disebut Saptapatala. Penghuni lapisan tersebut adalah makhluk supranatural dan naga. Saptapatala terdiri dari: Atala, Witala, Sutala, Talatala, Mahatala, Rasatala, Patala. Atala identik dengan Mahamaya; Witala dipimpin oleh manifestasi Siwa yang disebut Hatakeswara; Sutala dipimpin oleh raksasa Bali; Talatala dipimpin oleh Maya; Mahatala kediaman ular raksasa; Rasatala dihuni para Detya dan Danawa; Patala dipimpin oleh Basuki, raja para naga.
Lapisan Langit
             Menurut agama Hindu, langit yang menyelimuti bumi terdiri dari tujuh lapisan. Tujuh lapisan tersebut dikenal dengan istilah Saptaloka. Bhurloka adalah lapisan yang paling bawah atau lapisan langit yang menyentuh bumi; Bhuwahloka adalah lapisan udara di atasnya, antara langit dan matahari; Swahloka atau Swargaloka adalah kediaman Dewa Indra; Maharloka adalah kediaman Resi Bhrigu; Janaloka adalah kediaman para putera Brahma; Tapaloka merupakan kediaman ras makhluk yang disebut Weragi; Satyaloka atau Brahmaloka merupakan kediaman Brahma.
2.2.3 Umur alam semesta menurut agama hindu
             Dalam kitab-kitab suci Hindu disebutkan bahwa alam semesta diciptakan, dimusnahkan, dan dibuat ulang menurut suatu siklus yang berputar abadi. Siklus tersebut disebut Kalpa atau masa seribu Yuga. Satu Kalpa sama dengan 4.320.000.000 tahun bagi manusia sedangkan bagi Brahma satu Kalpa sama dengan satu hari. Dalam kosmologi Hindu, alam semesta berlangsung selama satu Kalpa dan setelah itu dihancurkan oleh unsur api atau air. Pada saat itu, Brahma istirahat selama satu malam, yang lamanya sepanjang satu hari baginya. Proses itu disebut Pralaya (Katalismik) dan berulang-ulang selama seratus tahun bagi Brahma (311 Triliun tahun bagi manusia) yang merupakan umur Brahma.
             Menurut pandangan umat Hindu, alam semesta sedang berada pada tahun ke-51 bagi Brahma atau 155 Triliun tahun telah berlangsung semenjak Brahma lahir. Setelah Brahma melewati usianya yang ke-100, siklus yang baru dimulai lagi dan segala ciptaan yang sudah dimusnahkan diciptakan kembali. Proses ini merupakan siklus abadi yang terus berulang-ulang dan tak akan pernah berhenti.
             Masa hidup Brahma dibagi setiap satu siklus Mahayuga. Yuga terdiri dari empat bagian, yang mana dalam setiap bagian merupakan zaman yang memiliki karakter berbeda-beda. Mahayuga memiliki 71 Divisi, dan setiap divisi merupakan 14 Manvantara (1000) tahun. Setiap Mahayuga berlangsung 4.320.000 tahun. Manwantara adalah siklus Manu, leluhur manusia menurut kepercayaan Hindu.
3.1 Simpulan
            Ada beberapa konsep Penciptaan Alam semesta yang jika ditinjau dari Hinduisma atau dari agama Hindu,Konsep itu dapat kita temukan baik dari Veda ataupun Purana-purana Agama Hindu.Jika dilihat dari Veda terdapat dua Sūkta (himne) yang secara khusus menguraikan tentang penciptaan jagat raya yang dikenal dengan sebutan Nasadiyasūkta dan Puruṣasūkta. Yang pertama menjelaskan asal atau kejadian alam semesta dan yang kedua merupakan dasar filosofis Veda yang menyatakan bahwa segala sesuatunya berasal dari Yajña, yakni pengorbanan Tuhan Yang Maha Esa yang mesti diikuti oleh umat-Nya sebagai usaha untuk menjaga kelangsungan dan harmoni alam semesta. Jika ditinjau dari purana proses penciptaan alam semesta dapat kita lihat pada  Isi pokok purana yang pertama  kitab-kitab Purāṇa umumnya dikenal dengan Pancalaksana, yaitu  Sarga (ciptaan alam semesta yang pertama/yang sangat halus).
           
DAFTAR PUSTAKA
Jro Mangku Shri Dhanu.2009.Penciptaan jagat raya menurut Agama Hindu.Diakses pada
          tanggal 02 Nopember 2011 dari http://sanggrahanusantara.blogspot.Com/2009/11/
          penciptaan -jagat-raya-menurut-hindu-dan.html
I Made Titib,Dr.2003.Purana Sumber Ajaran Hindu Komprehensip.Jakarta:Pustaka Mitra
           Jaya