A.
Pendahuluan
Agama Hindu adalah agama yang
mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang tertua yang dikenal oleh
manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan
dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama
yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks di bidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan
ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan
dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.
Banyak para ahli di bidang agama dan ilmu lainnya yang telah
mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan
analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan di antara para ahli untuk menetapkan kapan agama
Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya
belum banyak dimengerti.
Agama Hindu berasal dari
pencampuran bangsa Arya dan bangsa Dravida, dalam agama Hindu terdapat beberapa
dewa-dewa yang dianggap penting bagi pemeluknya. Banyak praktek-praktek
keagamaan di dalam agama Hindu yang bertujuan untuk menghormati para dewa.
Agama Hindu juga mempunyai system kepercayaan bagi para pemeluknya.
B.
Periodisasi Sejarah Agama Hindu
Agama Weda
Agama Weda dapat dikatakan suatu agama alam. Artinya, didalam mendekati dan
menyelami hal kedewaan, agama itu sangat mengarahkan pandangannya kepada alam.
Berbagai dewa dianggap identik dengan gejala-gejala alam.
Zaman Weda, merupakan zaman sejak masuknya bangsa Arya di Punjab hingga
timbulnya agama Budhha pada kira-kira tahun 500 SM. Zaman ini dapat dibagi lagi
menurut pertumbuhan kitab-kitab yang menjadi sumber hidup keagamaan pada zaman
ini, menjadi :
a.
Zaman Weda purba atau zaman
Weda Samhita, dimulai dari tahun 1500 SM hingga kira-kira tahun 1000 SM. Pada
zaman ini bangsa Arya massih berada di Punyab, yaitu daerah Sungai Indus atau
Sindhu. Di sini belum banyak terdapat penyesuaian diri dengan peradaban India
purba.
b.
Zaman Brahmana, kira-kira tahun
1000 SM hingga kira-kira tahun 750 SM. Pada zaman ini para imam, yaitu para
Brahmana, sangat berkuasa dan menimbulkan kitab-kitab yang berlainan sekali
sifatnya dibandingkan dengan kitab-kitab Weda Samhita. Sekarang penyesuaian
diri dengan peradaban India purba sudah lebih maju, sehingga timbul jiwa baru.
c.
Zaman Upanisad, tahun 750 SM
hingga tahun 500 SM. Pada zaman ini pemikiran secara falsafah mulai berkembang.
Pusat peradaban berpindah dari Punyab ke Lembah Gangga.
Pada
zaman ini kehidupan keagamaan orang Hindu didasarkan atas kitab-kitab yang disebut Weda Samhita, yang berarti
perkumpulan Weda.
Kata Weda berarti pengetahuan
(Wid = tahu). Menurut tradisi Hindu kitab-kitab ini adalah ciptaan Dewa Brahma
sendiri. Isinya diwahyukan oleh Dewa Brahma kepada para resi atau para pendeta
dalam bentuk mantra-mantra, yang kemudian disusun sebagaian puji-pujian oleh
para resi tadi sebagai pernyataan rasa hatinya.
Unsure-unsur dasar agama Weda :
1.
Percaya dan takut kepada
daya-daya kekuasaan
2.
Ritus untuk mempengaruhi
daya-daya kekuasaan
3.
Kesadaran akan adanya tata
tertib kosmos
4.
Kecenderungan kepada mistik
Sejak zaman dahulu orang
memberi penghargaan yang istimewa terhadap pengasingan diri untuk bermeditasi
(bersemadi). Pengetahuan yang didapat orang dari meditasi, dianggap sesuatu
yang lebih tinggi dari pada pengetahuan yang dicapai dengan akal. “Meleburkan
diri dalam daya-daya kekuasaan dan menjadi satu dengan daya-daya kekuasaan
tersebut” diusahakan dengan bermacam-macam cara. Maka disebutlah “orang yang
tajam tiliknya para rsi, yang dengan jalan demikian dapat mengetahui
rahasia-rahasia Dunia, hidup, dan rahasia-rahasia ritus persembahan.[1]
Sebagai wahyu dewa yang
tertinggi, maka Weda-weda itu disebut sruti, yang secara harfiah berarti apa
yang didengar, yaitu didengar dewa yang tertinggi. Orang Hindu yakin, bahwa
Kitab-kitab Weda adalah napas Tuhan, kebenaran yang kekal, yang dinyatakan atau
diwahyukan oleh Tuhan kepada para resi. Para resi tadi melihat atau mendengar
kebenaran itu. Bentuk yang diwahyukan tadi adalah mantra-mantra.
Sesudah dibukukan, mantra-mantra itu dibagi
menjadi 4 bagian atau pengumpulan (samhita), yaitu :
a.
Rg-Weda, berasal dari kata
“Rig” yang berarti memuji kitab ini berisi 1000 puji-pujian kepada para Dewa
dalam bentuk kidung, dan masing-masing kidung (sukta) terbagi lagi dalam
beberapa bait . Rg-Weda berisi mantra-mantra dalam bentuk puji-pujian, yang digunakan
untuk mengundang para dewa, agar berkenan hadir pada upacara-upacara kurban
yang akan diadakan bagi mereka. Imam-imam atau pendeta yang mengadakan
puji-pujian ini disebut Hort.
b.
Sama-Weda, hampir seluruh
isinya diambil dari Rg-Weda, kecuali beberapa nyanyian. Perbedaannya dengan
Rg-Weda ialah puji-pujian di sini diberi lagu (Sama = lagu).imam atau pendeta
yang menyanyikan Sama-Weda disebut Udgatr. Menyanyikannya pada waktu
kurban dipersembahkan.
c.
Yajur-Weda, berisi yajus atau
rapal, diucapkan oleh imam atau pendeta yang disebut Aswarya, yaitu pada
saat ia melaksanakan upacara kurban. Rapal-rapal itu bukan dipakai untuk memuja
para dewa, melainkan untuk mengubah kurban-kurban menjadi makanan dewa. Dengan
perantara rapal-rapal itu kurban serta bahan-bahan yang dikurbankan dengan para
dewa, dengan maksud supaya kurban tadi dapat diterima. Dapat dikatakan bahwa
denagn rapal-rapal itu sebenarnya para dewata dipakai untuk memenuhi keinginan
yang berkurban. Dengan rapal-rapal itu mereka mencoba mempengaruhi para dewa,
dengan berulang-ulang menyebut nama mereka.
d.
Atharwa-Weda, berisi
mantra-mantra sakti. Mantra-mantra ini dihubungkan dengan hidup keagamaan yang
rendah, seperti tampak di dalam sihir dan tenung. Isi sihir-sihir tadi
dimaksudkan untuk menyembuhan orang sakit, mengusir roh jahat, mencelakakan
musuh dan sebagainya. Upacaranya bukan diadakan untuk kurban, melainkan
diadakan di rumah.
Mula-mula kitab ini tidak
diakui sebagai Kitab Suci, namun lama-kelamaan diakui juga, sebab kepercayaan
rakyat terhadap kitab ini sangat kuat. Selain itu banyak raja yang mengambil
pendeta-pendeta dari golongan ini sebagai pendeta pribadinya.[2]
Dengan ringkas kita melihat di
dalam agama Weda hal-hal seperti berikut :
a.
Agama Weda tidak dapat di
pahami selain sebagai reaksi manusia terhadap pernyataan Allah, baik terhadap
pernyataan di dalam karya Allah, maupun di dalam syariat hukum taurat yang
tertulis di dalam hati manusia (Rm 1 dan 2). Tetapi itupun suatu reaksi, di
mana kelainan manusia berusaha untuk menindas kebenaran. Agama Weda adalah
suatu daya upaya manusia yang jatuh ke dalam dosa untuk menghindarkan diri dari
hukum Allah.
b.
Di dalam agama Weda orang
berdaya upaya untuk mendekati dewa-dewa melalui dua jalan : physis dan etis.
Melalui garis physis yang ditentukan oleh pertentangan Indra – Vrta, dewa –
sura, Arya – Dashu, kosmos – chaos. Dan orang berusaha juga mendekati dewa melalui
garis rtik, yang ditetapkan oleh pertentangan : Waruna, penjaga “rta” – dosa
manusia. Kedua aspek dewa itu tidak dilihat sebagai satu hal, tetapi keduanya
selalu berlawanan. Indra dan Waruna berperang mati-matian. Dalam peperangan itu
Indra menang, artinya bahwa garis etik harus kalah di dalam agama Weda.
c.
Kebimbangan terhadap pertanyaan
haruskah dewa dipandang sebagai pribadi ataukah sebagai suatu daya kekuatan,
tetap ada selama masa itu.
d.
Oleh karena Waruna terdesak ke
samping agama Weda makin menggeser de dalam suasana egoisme. Agama menjadi
suatu daya upaya untuk merebut daya-daya kekuatan yang tersimpan di dalam
kosmos dengan persembahan dan mantera dan menggunakan daya-daya itu untuk
kepentingan-kepentingan egoistis.
e.
Perkembangan agama Weda berlangsung
melalui dua garis. Yang pertama adalah garis spekulasi falsafi (renunagan
falsafi). Timbullah skeptisisme (kesangsian) terhadap dewa-dewa yang lama dan
orang berbalik kepada suatu zzat ilahi yang universal dan mujarad (abstrak)
sebagai zat segala zat. Inilah garis pantheistis (pantheisme ialah ajaran bahwa
segala-galanya merupakan penjelmaan Tuhan) yang terutama kelihatan jelas di
dalam berkas kesepuluh dari reg-Weda. Garis yang kedua ialah garis dekadensi
(kemunduran) kepada magi. Tiap-tiap perbuatan persembahan dianggap sebagai
berkekuatan magis. Orang brahmana menjadi ahli sihir. Hal ini terutama ternyata
didalam ajur weda dan di dalam antharwa-weda.
f.
Dipandang dari sudut
kepercayaan kita, maka kita hanya dapat mengkonstatir bahea di dalam agama weda
manusia melarikan diri dari kekudusan Tuhan, manusia menundukan kemuliaan tuhan
ke alam insani.Tuhan di samakan atau diidentifikasikan dengan daya kekuatan
yang tinggal di dalam makhluk, atau di buat kabur menjadi suatu pengertian
falsafi. Dengan demikian ia dilukiskan sebagai dzat yang terdalam, inti
segala yang ada.[3]
g.
Di dalam agama hindu ada
beberapa pengertian yang kaitannya dengan kepercayaan, yaitu pengertian tentang
Rta. Yang dimaksud dengan pengertian Rta artinya ‘pergi’ kemudian berubah dalam
arti tata- tertib’. Di dalam kitab Weda kata Rta berarti tata tertin alam
kosmos, yang dianggap sebagai pencerminan dari adanya daya kekuatan dan daya
kekuasaan yang menciptakan dan mengaturnya. Kita lihat peredaran tata-surya,
matahari, bulan dan bintang yang tetap teratur. Hal ini berlaku tertin karena
ditetapkan dan diatur oleh Dewa Waruna, yaitu Dewa yang tertinggi, Yang
Maha Pencipta, dalam hal ini disebut Rtawan.
Oleh
karena manusia adalah bagian dari alam semesta, maka manusia harus juga tunduk
kepada Rta. Dengan ia tunduk kepada Rta maka manusia akan mencapai kehidupan
yang harmonis, baik sesame manusia, baik dengan alam lingkungan dan dengan
Tuhan Yang Maha Esa. Jadi apabila manusia mengikuti Rta, maka apa yang
dirasakan, didengar dan dilihat akan di tanggapi sebagai sesuatu yang indah
manis dan nikmat. Bagi umat Hindu Rta terserap dalam Satya (kebenaran) bersama dengan Dharma sehingga merupakan
suatu keyakinan yang penting. Oleh karena Rta adalah pencerminan dari daya
kekuatan dan daya kekutan itu adalah Dewa Waruna, maka keberlangsungannya harus
dijaga. Untuk itu perlu adanya ritus, dan dengan dilaksanakannya ritus maka Rta
akan tetapn berjalan dengan tertib dan teratur. Oleh karenannya manusia
janganlah berbuat dosa, karena berbuat dosa berarti melanggar Rta dan berarti
menentang kekuasaan Tuhan.[4]
1.
Dewa-Dewa
Dewa dalam Hinduisme membuat
agama ini menjadi agama yang penuh dengan keindahan.[5] Di
dalam kitab Weda Samhita terdapat dua golongan yang kedudukannya lebih tinggi
dari manusia yaitu : Dewa-dewa pemurah terhadap manusia dan menerima pujaan
manusia, dan para roh jahat yang memusuhi manusia.
Kitab Rg-Weda menyebutkan adanya 33 dewata, yang dapat dibeda-bedakan atas dewa-dewa
langit, dewa-dewa angkasa, dan dewa-dewa bumi.
- Agni (Dewa api)
- Aswin kembar (Dewa pengobatan, putera Dewa Surya)
- Brahma (Dewa pencipta, Dewa pengetahuan, dan kebijaksanaan)
- Chandra (Dewa bulan)
- Durgha (Dewi pelebur, istri Dewa Siva)
- Ganesha (Dewa pengetahuan, Dewa kebijaksanaan, putera Dewa Siva)
- Indra (Dewa hujan, Dewa perang, raja surga)
- Kuwera / Kubera (Dewa kekayaan)
- Laksmi (Dewi kemakmuran, Dewi kesuburan, istri Dewa Visnu)
- Saraswati (Dewi pengetahuan, istri Dewa Brahmā)
- Shiwa (Dewa pelebur)
- Sri (Dewi pangan)
- Surya (Dewa matahari)
- Waruna (Dewa air, Dewa laut dan samudra)
- Wayu / Bayu (Dewa angin)
- Wisnu (Dewa pemelihara, Dewa air)
- Rudra (Dewa badai)
- Dhara (Dewa Bumi)
- Anala (Dewa Api)
- Anila (Dewa angin)
- Dhruva (Dewa bintang kutub)
- Soma (bulan)
- Prabhasa (Dewa fajar)
- Pratyusa (Dewa sinar)
- Dattatreya
- Savitr
- Yama (Dewa kematian)
- Satya (Dewa kebenaran)
- Kratu (Kehendak)
- Daksa (Dewa keterampilan)
- Kala (Waktu)
- Kama (Keinginan)
- Dhrti (Dewa kesabaran)
- Pururavas (Dewa atmosfir)
- Madravas (Dewa kegembiraan)
Vasu merupakan sekelompok Devata
yang jumlahnya delapan, terutama dikenal sebagai pengiring Indra. Kata Vasu
diambil dari akar kata ‘vas’ (bertempat tingal, menyebabkan bertempat tinggal,
bersinar) sehingga vasu merupakan devata yang menyatakan segala wilayah luas
atau ruang dan ketinggian.
Delapan vasu tersebut adalah :
Dhara, Anala, Ap, Anila, Anala, Dhruva, Soma, Prabhasa, Pratyusa.
Karena
karya Waruna inilah maka langit dan bumi dipisahkan, pelajaran matahari, bulan,
dan bintang teratur, sungai-sungai mengalir dengan baik, musim-musim datang
pada waktunya dan sebagainya. Selain itu Rta juga dipandang sebagai tata tertib
susila. Sebagai pengawas rta, Waruna juga memberikan hadiah atau pahala
kepada yang baik dan menghukum kepada yang jahat. Orang yang baik ialah orang
yang mengikuti hukum Rta. [6]
Dewa yang lain ialah Surya, yang digambarkan sedang berkereta ditarik oleh 7
ekor kuda. Dewa ini dapat memperpanjang hidup, mengusir penyakit dan
sebagainya.
Dewa Wisnu juga termasuk dewa langit, tetapi pada zaman ini belum memegang
peranan yang penting. Tentang dewa ini hanya disebutkan, bahwa ia melangkahkan
tiga langkah. Langkah yang ketiga itulah langkah yang tertinggi. Itulah sorga
tempat kediaman para dewa-dewa.
Yang termasuk dewa-dewa angkasa di antaranya adalah Indra, yang merupakan dewa
terpenting. Seperempat kidung dalam Rg-Weda ditujukan kepadanya. Indra adalah
Raja para dewa ia adalah dewa hujan yang bersenjatakan petir, dewa langit
pengumpul awan dan dewa kemenangan. Ia juga bernama Surapati (sebagai
raja para dewa), Vrtahan (sebagai dewa hujan yang membunuh naga Vrta
yang menyembunyikan air dalam gua selam musim kemarau). Indra sering diletuskan
secara antropomorfis : mempunyai tubuh, tangan, kaki, bibir, rahang, dan
jenggot. Indra diyakini sebagai dewa yang selalu melepaskan air yang member
hidup yang kemudian mengalir kesamudra dan dalam perjalanannya selalu
memperkaya dan mempersubur bumi.
Setelah Indra dewa yang terpenting adalah Agni yang dianggap sebagai
perantara dewa dan manusia. Dewa inilah yang meneruskan puji-pujian dan kurban
bakar kepada para dewa yang dimaksud, Agni pula yang mendatangkan para
dewa ketempat-tempat sesaji dengan bunyi-bunyian dalam arti. Setiap rumah orang
Hindu biasanya mempunyai tiga macam api yaitu : untuk upacara harian (agnihotra)
dan sampai saat ini masih terdapat dikalangan keluarga Pandit yang ortodoks
; api untuk upacara tengah bulanan yang dikaitkan dengan bulan baru atau bulan
purnama dan api untuk upacara penghormatan dan pemujaan arwah leluhur.
Mengenai upacara-upacara masih ada lagi upacara yang dilakukan empat bulan
sekali upacara lainnya adalah upacara pengangkatan Altar api yang disebut
dengan Agnicayana, biasanya dilakukan menggunakan sebongkah batu yang
berbentuk seekor burung.[7]
Selanjutnya dewa yang terpenting setelah agni adalah Soma, dewa
minuman keras, yang diperoleh dari perasan tumbuh-tumbuhan yang disebut Soma
pula. Soma adalah minuman para dewa. Dalam upacara korban Soma dituangkan
sebagai persembahan kepada para dewa. Hal yang agak aneh ialah rasa hormat yang
luar biasa bukannya ditujukan kepada objek kritus itu sendiri tetapi hanya
kepada kekuatan Soma itu saja. Cairan sari tanaman Soma sangan memabukkan dan
digunakan untuk memperdaya dewa, orang-orang yang memujanya meminum cairan ini.
Karena minuman ini sangat memabukkan maka tentu akan mempegaruhi pandangan
orang yang terlibat dalam upacara. Dalam berkembangan selanjuttnya Soma bukan
hanya disamakan sebagai kekuatan saja, tetapi kemudian menjadi personifikasi
dari bulan yang selanjutnya diidentikkan dengan dewa Waruna yang berkuasa di
sorga. Bulan adalah tempat cairan soma yang dianggap sacral dan kebeningannya
yang indah berkilau karena sinar sorga dianggap sebagai sari penting dari raja
langit.
Dewa penting setelah agni adalah Waruna atau Aditya, putra Adity, dewi
kebaikan. Berkat kerja Waruna maka langit, matahari, bulan dan bintang dalam
tata surya dapat bekerja dengan baik dan sebagaimana mestinya. Sungai-sungai
mengalir dan musim silih berganti selaras dengan cosmos (alam) lain oleh karena
itu dosa adalah menyalahi tata tertib cosmos, dan agar kembali normal perlu
dilakukan sesembahan kurban dan sesaji.[8]
Sesudah dewa Waruna, ada beberapa dewa lain yang masing-masing kurang jelas
urutan kepentingannya. Dewa-dewa tersebut adalah Surya (dewa matahari), Wisnu,
si kembar Aswin atau Nasatya (dewa alam pagi hari) yang
kemudian menjadi dewa kesehatan, Usas (dianggap sebagai dewa fajar), Merut
(dewa taufan dan angin rebut), Rudra (dewa taufan dan petir), Parjanya
(dewa hujan), dan Saraswati (dewa sungai yang kemudian dianggap
sebagai dewi ilmu pengetahuan). Dewa-dewa penting sebagai personifikasi
kekuatan alam adalah dewa Prajapati (penguasa alam dan segala makhluk), Wiswakarman
(dewa pencipta), Brhamanaspati atau Braspati (dewa
personifikasi pembuatan manusia alam sesaji), Widhatar (dewa guntur).
Sekalipun dalam agama ini didapati banyak sekali dewa, namun ia tidak dapat
dikatakan politeistis karena ternyata dewa tertentu yang sedang dipuja selalu
dianggap sebagai dewa tertinggi yang memiliki segala kekuatan para dewa
yang lain. Dengan demikian yang ada hanya satu dewa tertinggi saja yang
memiliki kekuatan para dewa, yang namanya berganti-ganti. Oleh karena itu
barangkali lebih tepat kalau dikatakan sebagai kepercayaan henoteistik
(henoteisme). Max Miller juga menghindari istilah monoteisme atau politeisme
dalam ketuhanan agama Hindu. Ia menggunakan istilah “henoteisme” karena ada
kecenderungan melukiskan semua kekuatan pada tuhan tertentu dan utama yang ada
dalam pikiran para pemujanya. Selain dapat disebut sebagai kepercayaan yang
Lenoteistik, barang kali agama ini dapat pula disebut sebagai katenoteistik
(kathenotheism) karena dalam agama ini terdapat kecenderungan untuk memuliakan
dan mengagungkan hanya satu dewa yang maha tinggi yang diperlakukan sebagai
objek tunggal, akan tetapi dewa-dewa lain terhimpun kepadanya.
2.
Roh-Roh
(Jahat)
Menurut kepercayaan Weda kuno,
selain para dewa masih ada lagi roh-roh jahat. Roh jahat ada dua macam : yang
tinggi kekuasaannya menjadi musuh para dewa. Musuh Indra adalah roh jahat yang
menguasai musim kemarau (Wrta). Roh jahat yang kurang kekuasaanya adalah Raksa
dan Pisaca (pemakan bangkai). Raksa sering menampakkan diri sebagai
manusia dan binatang. Ada lagi roh “halus” seperti gandarwa, yaksa, bhuta, dan
raksasa.
Arwah leluhur sangat penting
kedudukannya dalam kepercayaan agama Weda ini. Apabila orang meninggal, jiwanya
tidak langsung sampai di alam bahagia tetapi masih mengembara dalam keadaan
menderita. Jiwa semacam ini disebut dengan preta, dan sangat
membahayakan. Oleh karena itu keturunannya, anak cucu terutama anak
laki-lakinya, perlu mengadakan upacara sesembahan dan menyelenggarakan upacara
korban supaya preta segera sampai kealam bahagia yaitu alam pitara. Raja
para pitara adalah dewa Yama.[9]
3.
Korban
dan Praktek Keagamaan
Korban
Setiap yadnya yang dilaksanakan
oleh umat Hindu adalah perwujudan dari pengamalan ajaran agama. Karena itu
setiap aktivitas beryadnya termasuk dalam sebutan “upacara agama”. Dasarnya,
bahwa setiap pelaksanaan yadnya didasari atas sumber hukum berupa kitab suci
Weda baik dalam katagori Sruti (wahyu) maupun Smrti (tafsir wahyu).
Weda Sruti sebagai sumber dari segala pelaksanaan ajaran agama Hindu. Sedangkan Weda Smrti merupakan penjabaran suratan Weda yang sudah disiratkan.
Weda Sruti sebagai sumber dari segala pelaksanaan ajaran agama Hindu. Sedangkan Weda Smrti merupakan penjabaran suratan Weda yang sudah disiratkan.
Kongkretnya lagi, Weda Sruti
sebagai rumus-rumus agama sementara Weda Smrti berperan selaku kamus-kamus
petunjuk pelaksanaannya. Apa yang kemudian disebut sebagai upacara adat
sebenarnya merupakan bentuk-bentuk tafsir ajaran Weda yang ditradisikan. Inilah
yang diistilahkan sebagai tradisi Weda, artinya suatu bentuk kegiatan atau
aktivitas suatu masyarakat (mis. Bali), yang berdasarkan atas ajaran agama
Hindu yang sudah men-desa-kala-patra. Lebih sederhananya lagi upacara adat yang
dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali merupakan bentuk penjabaran Weda
menurut nuansa tradisi. Tetap ingat, tidak semua tradisi masyarakat Bali itu
dapat disebut sebagai upacara adat.
Yang dapat disebut upacara adat
hampir selalu dicirikan oleh nuansanya yang agamais. Atau dengan kata lain
upacara adat itu adalah tradisi yang dijiwai oleh unsure-unsure keagamaan.
Contoh : upacara ngaben, penggunaan wadah, jempana, lembu merupakan tradisi
yang hanya dibuat oleh masyarakat Hindu di Bali. Sedangkan esensi keagamaannya
terlihat pada upacara pembakaran mayat dengan konsep mempercepat proses
pengembalian (pemralina) unsure-unsure Pancamahabutha sang mati. Unsure agama
lainnya, doa, japa, mantra dan yadnya yang digelar sebagai pengantar, pengharap
agar arwah sang mati mendapat jalan lapang sesuai karma dan bhaktinya menuju
alam-Nya.
Perihal bunyi kitab suci
Bhagavadgita IX.26 yang meyebutkan sarana persembahan berupa bunga, buah, air
dan daun yang tidak bersifat mengikat tetapi kenyataannya masih diatur lagi
sehingga tidak semua jenis bunga misalnya yang dapat dipakai sarana upacara
atau upakara yadnya dapat diberi penjelasan dengan membandingkan di sekala.
Untuk itulah ada buku atau lontar yang menjabarkan tentang jenis bunga yang bisa
dan tidak dipakai dalam persembahan. Yang pasti setiap sarana persembahan patut
mengacu pada persyaratan seperti : Sukla (belum pernah diaturkan), tan leteh
(tidak bernoda atau cemar), tidak didapat dari perbuatan jahat (mencuri) dan
sesuai dengan sastra (petunjuk lontar) serta dresta (tradisi).[10]
Umat Weda memulaikan para
leluhur mereka dengan menyelenggarakan upacara korban, upacara korban, yang
selain dilakukkan dengan harapan supaya para dewa melindungi manusia dari roh
jahat, juga supaya para dewa memberikan kelancaran, kemurahan serta ketentraman.
Tujuan utama upacara korban dalam agama Weda ini ialah terjaminnya tata tertib
kosmos.
Dua macam upacara korban
simbolik yang penting ialah : pertama korban manusia (purusa)
sebagaimana tercantum dalam kidung kosmogonik dalam kitab Rg-Weda, yang
menyebutkan bahwa yang maha tinggi telah menjalani korban untuk penciptaan dan
kedua adalah korban sarwameda di mana manusia mengakui ke maha kuasaan
Tuhan secara universal sehingga kemudian dewa melimpahkan segala miliknya
kepada seluruh manusia.[11]
Selain itu masih ada korban Rajasanya,
korban untuk pengobatan dan kedaulatan raja yang diselenggarakan dengan
upacara yang disebut Aswemeda. Untuk keperluan sehari-hari korban dilakukan
oleh kepala keluarga yang diselenggarakan di api keluarga. Ada pula upacara
korban yang diselenggarakan di rumah-rumah atau di altar. Dari segi
penyelenggaraan, korban yang dilakukan hanya oleh seorang pendeta saja dirasa
kurang memuaskan. Biasanya korban diselenggarakan oleh beberapa orang pendeta.
Pendeta yang sangat diutamakan biasanya disebut Hotri yang
tugasnya adalah menyitir bait-bait yang terdapat dalam Rg-Weda. Pendeta Adwaryu
juga penting karena dalam penyelenggaraan korban ini diperlukan
persiapan-persiapan yang cermat.
Di kalangan rakyat umum
terdapat beberapa upacara korban sebagai upacara siklus kehidupan.
Di beberapa tempat, upacara tersebut terdiri dari satu seri upacara korban
kecil dengan sesaji yang sangat sederhana seperti sayur-sayuran dan
buah-buahan. Upacara dilakukan sendiri oleh pemilik rumah selaku
penanggungjawab anggota keluarganya. Upacara ini juga mementingkan api.
Praktek Keagamaan
Yang menjadi pusat pemujaan orang-orang pada zaman ini ialah kurban. Kurban-kurban
itu dipersembahkan dengan maksud untuk mendapatkan kemurahan dewa-dewa,
menghindari diri dari permusuhan roh-roh yang jahat, dan memuja para leluhur.[12]
Pada hakikatnya kurban yang dipersembahkan kepada dewa-dewa itu bersifat
permohonan, yaitu mohon keuntungan-keuntungan bagi hari depan, sehingga kurban
ucapan syukur bagi hal-hal yang sudah dialaminya tidak ada.
Dengan kurban itu mereka bermaksud untuk menggerakkan hati para dewa sehingga
mereka berkenan mengabulkan permohonan yang diajukan bersamaan dengan
kurban-kurban itu.
Ada dua macam kurban, yaitu kurban tetap, yang dilakukan tiap kali, pada
waktu pagi dan sore, tiap bulan baru dan bulan purnama, tiap awal musim semi,
musim hujan, dan musim dingin.
Disamping itu ada kurban berkala,yang dikurbankan jika ada keperluan,
umpamanya kurban sama, aswameda atau kurban kuda, rajasuya, dan
sebagainya.
Kecuali kurban-kurban masih ada upacara-upacara lainnya yang harus dilakukan
orang, yaitu pada waktu istri mengandung, melahirkan anak, anak berumur 4
bulan, yaitu waktu diajak berpergian untuk pertama kali, atau juga waktu anak
makan yang pertama, atau waktu ia dicukur untuk yang pertama kali, dan
sebagainya. Demikianlah seluruh kehidupan orang pada zaman itu diliputi oleh
upacara-upacara keagamaan.[14]
KESIMPULAN
Weda dapat dikatakan suatu
agama alam. Artinya, di dalam mendekati dan menyelami hal kedewaan, agama itu
sangat mengarahkan pandangannya kepada alam. Berbagai dewa dianggap identik
dengan gejala-gejala alam.
Dewa dalam Hinduisme membuat
agama ini menjadi agama yang penuh dengan keindahan. Di dalam kitab Weda
Samhita terdapat dua golongan yang kedudukannya lebih tinggi dari manusia yaitu
: Dewa-dewa pemurah terhadap manusia dan menerima pujaan manusia, dan para roh
jahat yang memusuhi manusia.
selain para dewa masih ada lagi
roh-roh jahat. Roh jahat ada dua macam : yang tinggi kekuasaannya menjadi musuh
para dewa. Musuh Indra adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau (Wrta).
Roh jahat yang kurang kekuasaanya adalah Raksa dan Pisaca (pemakan
bangkai). Raksa sering menampakkan diri sebagai manusia dan binatang. Ada lagi
roh “halus” seperti gandarwa, yaksa, bhuta, dan raksasa.
Dua macam upacara korban
simbolik yang penting ialah : pertama korban manusia (purusa)
sebagaimana tercantum dalam kidung kosmogonik dalam kitab Rg-Weda, yang
menyebutkan bahwa yang maha tinggi telah menjalani korban untuk penciptaan dan
kedua adalah korban sarwameda di mana manusia mengakui ke maha kuasaan
Tuhan secara universal sehingga kemudian dewa melimpahkan segala miliknya
kepada seluruh manusia.
Ada perbedaan antara konsep
kurban pada zaman Weda dengan zaman Brahmana, di mana pada zaman Weda korban
diajukan untuk mempengraruhi dewa-dewa agar membantu manusia dan tidak ada
kekuatan magi. Sedangkan pada zaman Brahmana tingginya nilai yang diberikan
kepada korban sehingga kurban itu sangat berarti. Sehingga berhasil atau
tidaknya maksud sangat tergantung pada kekuatan korban itu sendiri serta
matra-mantra Brahmana.
DAFTAR PUSTAKA
H.A. Mukti Ali, Pengantar Agama-Agama Dunia. IAIN
Sunan Kalijaga Press. Bandung h. 63
Michael Keene, Agama-agama Dunia, Kanisius
press.yogyakarta. h. 15
Dr. Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha.
Jakarta
Dr. A. G. Honig Jr. Ilmu Agama. Jakarta
Prof.H.
Hadikusuma Hilman, S.H. Antropologi Agama, PT. CITRA ADITYA BAKTI.
Bandung
[1] Dr. A. G. Honig Jr. Ilmu
Agama. Jakarta h. 84
[2] Dr. Harun Hadiwijono, Agama
Hindu dan Budha. Jakarta h. 18
[3] Dr. A. G. Honig Jr,
Ilmu Agama, Jakarta h. 93-94
[4] Prof.H. Hadikusuma
Hilman, S.H. Antropologi Agama, PT. CITRA ADITYA BAKTI. Bandung. h. 169
[5] Michael Keene, Agama-agama
Dunia, Kanisius press.yogyakarta. h. 15
[6] H.A. Mukti Ali, Pengantar
Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Bandung h. 63
[7] ibid
[8] H.A. Mukti Ali, Pengantar
Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Bandung h. 63
[9] H.A. Mukti Ali, Pengantar
Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Bandung h. 63
[10] http://desatamblang.blogspot.com/2008/09/upacara-agama-dan-upacara-adat.html, 10 sep 2012 , 21.15
[11] H. A. Mukti Ali, Pengantar
Agama-Agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Bandung h. 63
[12] Dr. Harun Hadiwijono, Agama
Hindu dan Budha. Jakarta h. 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar