Rabu, 19 Desember 2012

Sejarah Agama Hindu dari Zaman Peradaban Sungai Indus, Weda Periodic, Zaman Klasik, Zaman Pertengahan, Zaman Modern, Zaman Kemerdekaan India

Zaman Peradaban Sungai Indus
Sejarah kebudayaan India dimulai pada zaman perkembangan kebudayaan-kebudayaan yang besar di Mesopotamia dan Mesir. Antara 3000 dan 2000 tahun sebelum Masehi, rupa-rupanya di lembah sungai Sindhu (Indus) tinggalah bangsa-bangsa yang peradabannya menyerupai kebudayaan bangsa Sumeria di daerah sungai Efrat dan Tigris. Terutama terdapat di dekat kota Harappa di Punjab dan di sebelah utara Karachi. Di sana terdapat kota Mojohendaro, yang mana pperadaban yang maju telah ditemukan di kota ini, halini dapat dilihat dari bangunan rumah-rumah yang berdinding tebal dan bertangga. Penduduk India pada zaman itu terkenal sebagai “bangsa Drawida”. Mula-mula mereka tinggal tersebar di seluruh negeri, tetapi lama-kelamaan hanya hanya tinggal di sebelah utara, mereka hidup sebagai orang yang ditakhlukkan dan bekerja pada bangsa-bangsa yang merebut negeri itu. Mereka adalah bangsa-bangsa kulit hitam dan berhidung pipih, berperawakan kecil dan berambut keriting.
Antara 2000 dan 1000 tahun sebelum Masehi masuklah ke India kaum Arya yang datang ke sebelah utara  India. Kaum Arya adalah kaum yang memisahkan diri dari kaum sebangsanya di Iran dan yang memasuki India melalui jurang-jurang di pegunungan “Hindu Kush”. Bangsa Arya tergolong dalam apa yang kita sebut rumpun-bangsa Indo-Jerman. Mereka menetap di dataran sungai Sindhu yang pada zaman itu masih subur; jadi di daerah itu mereka telah menjumpai suatu peradaban tua. Mereka berkulit putih dan berbadan tegap, bentuk hidungnya melengkung sedikit. Kemudian mereka lebih jauh memasuki India sampai ditepi sungai Gangga dan sampai disebelah selatan. Tetapi mereka semakin bercampur dengan bangsa Drawida dan dengan demikian terwujudlah suatu kesatuan. Berkat peleburan kebudayaan Drawida yang tua itu dengan kebudayaan Arya terjadilah kemudian kebudayaan India.
Bangsa Arya lebih unggul di dalam ilmu peperangan dari pada bangsa Drawida. Mereka masih merupakan bangsa setengah normad (pengembara), yang baginya pertenakan lebih besar artinya daripada pertanian. Bagi bangsa Arya kuda dan lembu adalah binatang-binatang yang sangat dihargai, sehingga binatang-binatang itu dianggap suci. Dibandingkan dengan bangsa Drawida yang tinggal di kota-kota dan yang mengusahakan pertanian serta menyelenggarakan perniagaan di sepanjang pantai.
Jadi dapatlah disimpulkan dengan jelas bahwa agama Hindu sebagai agama tumbuh dari dua buah sumber yang berlainan, tumbuh dari perasaan dan pikiran keagamaan dua bangsa yang berlainan, tetapi kemudian lebur menjadi satu.   
Zaman  Weda[1] (1500 S.M. – 300 S.M.)
Pada zaman ini kehidupan keagamaan orang Hindu didasarkan atas kitab-kitab yang disebut Weda Samhita, yang berarti pengumpulan Weda. Kata Weda berarti pengetahuan (Wid=tahu). Menurut tradisi Hindu kitab-kitab ini adalah ciptaan Dewa Brahma sendiri. Isinya diwahyukan oleh Dewa Brahma kepada para resi atau para pendeta dalam bentuk mantra-mantra, yang kemudian disusun sebagai puji-pujian oleh para resi tadi sebagai pernyataan rasa hatinya.
Sebagai wahyu dewa yang tertinggi maka Weda-weda itu disebut sruti, yang secara harfiah berarti apa yang didengar, yaitu didengar dari dewa yang tertinggi[2]. Orang Hindu yakin, bahwa Kitab-kitab Weda bukan hasil karya manusia. Weda-weda adalah kekal. Weda adalah napas Tuhan, kebenaran yang kekal yang dinyatakan atau diwahyukan oleh Tuhan kepada para resi. Para resi tadi melihat atau mendengar kebenaran itu.
Sesudah dibukukan mantra-mantra itu dibagi menjadi 4 bagian atau pengumpulan (samhita), yaitu[3]:
*      Rg-weda
Rigweda berasal dari kata “rig” yang berarti memuji. Kitab ini berisi 1000 puji-pujian kepada para dewa dalam bentuk kidung, dan masing-masing kidung (sukta) terbagi dalam beberapa bait. Bagian akhir Rig Weda membicarakan perawatan orang mati, pembakaran dan penguburannya. Menurut umat Hindu, Rig Weda ini sangat penting . Didalamnya terdapat pengertian dan isyarat akan agama yang monoteistis dengan falsafah yang monistik.
*      Sama-weda
Sama-Weda, hampir seluruh isinya diambil dari Rg-Weda, kecuali beberapa nyanyian. Perbedaannya dengan Rg-Weda ialah puji-pujiannya diberi lagu (Sama=lagu). Imam atau pendeta yang menyanyikan Sama –Weda disebut Udgatr. Menyanyikannya pada waktu kurban dipersembahkan.  
*      Yajur-Weda
Weda ini tidak hanya memuat mantra-mantra dan persembahan Soma saja, akan tetapi juga mantra-mantra yang diucapkan dalam beberapa upacara kecil. Yajur weda memiliki hubungan yang sangat erat dengan Rig weda dan Sama Weda, dan ketiganya sering disebut dengan “Tri-Wedi”. Dalam kitab ini tidak menguraikan tentang pemujaan terhadap dewa tetapi tentang mantra-mantra bagaimana cara agar kurban menjadi makanan para dewa.
*      Atharwa-Weda
Para Atharwan adalah golongan pendeta tersendiri. Dalam Weda ini dijumpai lagi kidung-kidung yang harus diucapkan pada waktu mempersembahkan Soma. Isi Atharwa Weda berupa mantra-mantra magis dan doa-doa yang bunyi dan artinya sendiri sudah dianggap sudah memiliki kekuatan.
Isi kepercayaan dalam Weda Purba[4]
Menurut Kitab-kitab weda Samhita ada dua golongan zat hidup, yang kedudukannya lebih tinggi daripada manusia. Dewa-dewa yang bersikap pemurah terhadap manusia dan berkenaan menerima pujaan manusia, dan para roh jahat yang bersikap memusuhi manusia, yaitu dewa-dewa yang bersikap pemura terhadap manusia dan berkenan menerima pujaan manusia, dan para roh jahat yang bersikap memusuhi manusia, yang karenanya harus dilawan oleh manusia dengan pertolongan para dewa atau dengan upacara keagamaan.
a)      Dewa-Dewa
Kitab Rig-Veda menyebutkan adanya 33 dewata, yang dapat dibedakan atas dewa-dewa langit, dewa-dewa angkasa, dewa-dewa bumi.
Yang termasuk dewa-dewa langit di antaranya adalah: dewa Waruna yang dipandang sebagai pengawas tata dunia atau rta. Selain itu rta juga dipandang sebagai tata tertib susila. Sebagai pengawas rta Waruna juga memberikan hadiah atau pahala kepada yang baik dan menghukum kepada yang jahat. Orang yang baik ialah orang yang mengikuti hukum rta. Dewa yang termasuk dewa langit ialah, dewa Wisnu, dewa Surya, dll. Yang termasuk dewa-dewa angkasa diantaranya adalah Indra, dewa perang; dewa Marut, dewa angin ribut; dewa Wayu, dewa angin. Yang termasuk dewa-dewa bumi ialah, dewi Prthiwi, dewi bumi; dewa Agni, dewa api.  
b)      Roh-Roh
Ada dua golongan roh jahat, yaitu roh jahat yang tinggi mertabatnya, yang menjadi musuh para dewa. Di antaranya adalah Wrta, musuh dewa Indra, yaitu roh yang menguasai musim kemarau. Roh jahat yang tergolong rendah martabatnya, di antaranya adalah raksasa, yang sering menampakkan diri sebagai binatang atau sebagai manusia, dan Pisaca yang makan daging mentah atau jenazah.  
c)      Korban
Umat Weda memuliakan para leluhur mereka dengan menyelenggarakan upacara korban, yang selain dilakukan dengan harapan supaya para dewa melindungi manusia dari gangguan roh jahat, juga supaya para dewa memberikan kelancaran, kemurahan dan ketenangan serta ketentraman. Pelaksanaan kurban ini dipimpin oleh pendeta yang membujuk dan merayu para dewa untuk mengabulkan permohonan manusia.
Dua macam upacara kurban simbolik yang penting adalah[5]: pertama kurban manusia (purusa) sebagaimana tercantum dalam kitab Rigweda, yang menyebutkan bahwa yang mahatinggi telah menjalani korban untuk penciptaan; dan kedua adalah korban Sarwaweda di mana manusia mengakui kemahakuasaan Tuhan secara universal sehingga kemudian dewa melimpahkan segala miliknya kepada seluruh manusia.
Selain itu masih ada korban Rajasuya, korban untuk penobatan dan kedaulatan raja yang diselenggarakan dengan upacara yang disebut Aswameda. Disertai pembacaan doa-doa yang tersebut dalam kitab Rigweda, irama music yang diselingi bunyi seruling, makan atau pesta bersama, dan diakhiri dengan pengucapan doa untuk kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Untuk keperluan sehari-hari korban dilakukan oleh kepala keluarga yang diselenggarakan di api keluarga. 
Agama Brahma
Peralihan dari zaman Weda Samhita ke zaman Brahmana tidak dapat ditunjukkan dengan jelas, terjadi pelan-pelan tanpa ada batas yang jelas. Agama Brahnmana, yaitu bagian Kitab Weda yang kedua. Kitab-kitab ini ditulis oleh para iman atau Brahmana dalam bentuk prosa. Isinya memberi keterangan tentang kurban. Karena zaman ini adalah suatu zaman yang memusatkan keaktifan rohaninya pada kurban. Oleh sebab itu kitab Brahmana menguraikan upacara kurban, membicarakan nilainya serta mencoba mencari asal usul kurban itu.
Pada zaman Brahmana timbul perubahan-perubahan Suasana. Ciri-ciri zaman ini adalah[6]:
a.       Kurban mendapat tekanan yang berat
b.      Para imam menjadi golongan yang paling berkuasa
c.       Perkembangan kasta dan asrama
d.      Dewa-dewa berubah perangainya
e.       Timbulnya Kitab-kita sutra
Dalam zaman Brahma ini juga membahas tentang:
a)      Kaum Pendeta
b)      Pergeseran Arti Korban dan Macam Korban[7]
Pergeseran penting dalam hal korban ialah semakin tingginya nilai yang diberikan kepada korban tersebut sehingga berhasil atau tidaknya maksud dan tujuan korban sangat tergantung pada kekuatan korban itu sendiri, dan tida tergantung pada kemurahan dewa tetapi pada kekuatan yang ada pada arti dan bunyi mantra-mantra dan perbuatan dalam korban tersebut. Penjelasan mengenai hal-hal tersebut terdapat dalam kitab Wedanga. Oleh karena yang mengetahui hal-hal tersebut adalah para brahmana, bahkan mereka juga dapat mengetahui dan mempengaruhi nasib manusia, alam semesta dan bahkan para dewa, maka kedudukan para brahmana menjadi sedemikian penting.
Dalam kitab Brahmana dan Wedanga korban diterangkan secara panjang lebar. Ada dua macam korban, yaitu; korban besar, menggunakan empat macam api suci dan dilakukan oleh para pendeta dengan permintaan orang yang memerlukannya. Korban besar ini diuraikan dalam srauta-Sutra. Di antara korban besar yang terpenting ialah korban kuda (Aswameda), dilakukan oleh seorang raja yang menganggap korban ini sebagai ujian bagi kekuasaan dan kekuatannya. Dengan korban ini ia akan menjadi seorang cakrawartin, raja seluruh alam semesta, pencipta perdamaian, ketentraman, dan kesejahteraan; korban kecil banyak diuraikandalam kitab Grhya-Sutra. Korban ini hanya memerlukan kelengkapan yang sederhana, cukup dengan api suci yang ditaruh di setiap rumahtangga. Api tersebut dibuat oleh setiap kepala rumahtangga. Nitya termasuk korban kecil yang harus dilakukan pada saat-saat tertentu seperti pada permulaan musim baru, bulan muda, bulan purnama, dll.
Pada zaman ini korban bukan lagi merupakan upacara agama yang sebenarnya. Korban bukan lagi berpusat pada dewa tetapi pada manusia dan hubungan antara manusia dan dewa sudah merupakan hubungan yang bersifat magis saja. Pada zaman selanjutnya korban ini sangat dikecam oleh ajaran Upanishad.
c)      Kasta
Agama Brahmana juga mengenal kasta-kasta, yaitu kasta Brahmana (pendeta), Ksatria (pemegang tampuk pemerintahan), Waisya (pekerja), dan Sudra (rakyat biasa). Prinsip dasar peraturan catur varna (empat kasta) adalah endogamis. Perpidahan kasta tidak diperbolehkan dan juga tidak mungkin. Artinya seorang laki-laki harus hanya kawin dengan wanita dari kasta yang sama, dan anaknya lahir dalam kasta yang sama dengan orang tuanya.Varna atau kasta yang lebih tinggi selalu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan lebih “enak”. Hal ini tercantum dalam kitab undang-undang Manawa Dharma Sastra.  
d)     Asrama
Asrama adalah tingkatan hidup. Dalam agama Brahmana ada empat tingkatan hidup yang harus dilalui setiap orang penganut agama tersebut. Sebelum memasuki keempat tingkatan tersebut setiap orang harus lebih dahulu melakukan upacara upanayana, yaitu upacara menjadikan seseorang anak menjadi “dwija” dan resmi menjadi anggota kasta, serta siap memasuki tingkatan hidup pertama, yaitu kehidupan sebagai Brahmacarin. Anak yang meninggalkan rumah orang tuanya dan menetap sebagai siswa (sisya) di kediaman seorang guru untuk mempelajari isi kitab Weda dan pengetahuan agama lainnya. Kalau pelajaran sudah selesai, anak segera pulang dan kawin.
Mulailah ia memasuki tingkat kedua, Grhasta, yang dimulai dengan perkawinan. Upacara perkawinan termasuk upacara terpenting yang diselenggarakan dirumah. Selesai melakukan upacara ini kedua mempelai melangkah sebanyak tujuh langkah ke timur-laut sambil diperciki air suci. Sambil memegang tangan istrinya, suami mengucapkan mantra-mantra kemudian membawa api suci yang harus tetap dipeliharanya dirumah. Setelah itu mulailah kehidupan sebagai suami istri dan kepala keluarga.
Tingkatan ketiga adalah Vanaprastha (kehidupan dihutan; vana=hutan). Tingkatan ini adalah tingkatan yang harus ditempuh seseorang apabila seseorang sudah mencapai usia lanjut. Segala kewajibannya sebagai kepala keluarga diserahkannya kepada anak laki-laki. Adakalanya ia masuk hutan bersama istrinya supaya dapat memberikan ketenangan dan keheningan berfikir dalam upayanya mencapai kesempurnaan hidup.
Tingkatan terakhir, atau yang keempat ialah Sanyasin, yaitu tingkat pertapa yang telah lepas dari kehidupan duni. Sekalipun ia masih hidup di dunia ini namun ia sama sekali telah melepaskan diri dari permasalahan dunia sehingga terbuka kesempatan untuk mencapai moksa.   
e)      Dewa-Dewa
Oleh karena korban dipandang sebagai alat yang dapat menjadikan manusia menjadi Tuhan dunia, maka dengan sendirinya dewa-dewa tak lagi memegang pernanan penting di dalam kehidupan keagamaan.
f)       Sutra-Sutra[8]
Pada zaman ini mulai timbul-timbul kitab-kitab Sutra, yaitu kitab-kitab pedoman yang berisi petunjuk-petunjuk tentang banyak hal, dan yang ditulis dalam kalimat-kalimat yang pendek. Kitab ini tidak tergolong Weda, melainkan termasuk kitan Wedangga, atau anggota Weda. Isinya membicarakan hal ilmu bahasa, upacara-upacara, tata bahasa, ilmu pengetahuan tentang soal dan arti kata, dll.
Agama Upanisad
Hidup keagamaan pada zaman ini bersumber pada bagian akhir Weda, yaitu Kitab-kitab Aranyaka dan Upanisad. Kitab-kitab Arayanka disusun oleh para pertapa yang berada didalam hutan (aranya). Isinya pada umumnya membicarakan teman-teman dan hal-hal mistik , magis, yang juga dibicarakan didalam Kitab-kitab Upanisad.
Kata upanisad berasal dari kata upani=dekat, didekatnya; shad=duduk. Yang berarti duduk di dekat seorang i guru, yaitu untuk mendengarkan, dan menerima ajaran dan pengetahuan sang guru. Ajaran Upanisad dapat disebut monism yang bersifat idealistis artinya ajarannya mengajarkan bahwa segala sesuatu dapat dikembalikan pada satu asas. Adapun asas yang satu itu adalah Brahman dan Atman.
Brahman adalah asas alam semesta, sedang Atman adalah asas manusia. Hanya Brahman dan Atman inilah yang memiliki kenyataan. Dunia badani yang tak tampak ini tidaklah nyata, keadaannya hanya semu saja (maya). Tetapi pada akhirnya Brahman adalah Atman. Didalam Atman itulah Brahman menjaji imanen, yang tak terbatas. Tat twam asi, artinya: Itu (Brahman) adalah kamu, (Chand. Up.VI,8,7). Atau juga Aham Brahma asmi, artinya Aku adalah Brahman (Brh. Up. I,4,10)[9].
a)      Karma
Upanisad mengajarkan bahwa segala sesuatu tunduk dan takhluk terhadap karma, baik manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Karma meliputi kehidupan dahulu, sekarang dan yang akan datang. Karma berarti kehidupan atau perbuatan berikutnya sebagai akibat dari perbuatan sebelumnya. Setelah manusia itu mati pengetahuan dan amal perbuatannya akan membimbing dia. Barangsiapa berbuat baik ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia yang baik, dan sebaliknya. Karena itu manusia perlu dilahirkan kembali berulang kali di dunia supaya perbuatan jahatnya dapat tertebus. Hanya Atman saja yang mulia dan tinggi yan sudah tahu akan maya saja yang mampu mengatasi hukum karma dan mencapai kebebasan serta lepas dari samsara.
b)      Samsara (reinkarnasi)
Samsara adalah perputaran kelahiran kembali. Hanya menusia yang telah mencapai atman yang mulia dan yang tahu akan maya saja yang dapat mengatasi hukum karma dan mencapai moksa. Orang semacam ini akan terlepas dari keterikatannya dengan proses ulang kelahiran kembali atau samsara. Untuk dapat lepas dari samsara ia harus menghancurkan dan menumpas keinginan-keinginannya, yaitu dengan mengetahui bahwa Atman dalah Brahman. Barang siapa dapat mencapai tingkatan ini ia akan menvapai moksa, yaitu kelepasan, dan sadar bahwa segala sesuatu adalah satu. Ia akan mencapai kekuatan dengan Brahman, dan berhak disebut sebagai jiwanmukta.
c)      Pengetahuan Sejati
Upanisad mengajarkan bahwa Brahman sebagai asas kosmos adalah sama dengan Atman sebagai asas manusia. Ungkapan yang sangat dikenal adalah Parana Atman, jiwa tertinggi atau Maha Jiwa, hanya satu dan identik benar dengan jiwa perorangan (pratyagatman). Ungkapan “jasad dan jiwa” mengandung arti bahwa jasad adalah kesadaran dan jiwa adalah pengemudinya. Pengetahuan  seperti itu adalah pengetahuan yang sejati, dan hanya orang yang dapat menguasai dirinya saja yang dapat mencapai ilmu sejati semacam itu karena ilmu seperti itu hanya dapat dicapai dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam menguasai batin[10].
d)     Brahman dan Atman
Ada perbedaan yang sangat mendasar antara pengertian Brahman dalam Upanishad dengan pengertian kata tersebut dalam agama Brahmana. Mula-mula Brahmana berarti doa dan kemudian kekuatan gaib yang etrkandung dalam doa. Karena dalam agama Brahmana korban dan doa dinilai tinggi sekali, maka arti Brahmana pun menjadi sangat tinggi pula. Dalam agama Upanishad, Brahman dianggap sebagai yang menyebabkan adanya dan berlangsungnya segala sesuatu yang ada. Brahman pula yang menyababkan segala gerakan dan perubahan. Brahman menjadi semacam “jiwa alam semesta”. Hal ini diungkapkan dalam Mundaka Upanishad III, 1:7,8 sebagai berikut,...
Atman adalah jiwa individu dan Brahman adalah “jiwa universal”. Atman… bukan jasmani, bukan indrawi, bukan kehidupan, bukan pikiran. Atman adalah jiwa, hakekat terdalam dari jiwa individu itu sendiri....
Dalam Upanishad kadang-kadang dungkapkan statemen yang agak mengejutkan bahwa “Atman adalah Brahman”; artinya bahwa Tuhan manifestasi dalam jiwa setiap individu. Ini memberikan kemungkinan kesatuan jiwa dengan Tuhan, dan sesungguhnya itu adalah ekspresi ungkapan keesaannya. Dengan kata lain setiap makhluk memilki Atmannya sendiri yang menyebabkan makhluk itu sadar akan “aku”nya; kemudian semakin jelas bahwa Upanishad mengajarkan monisme yang idealistis, bahma segala sesuatu dapat dikembalikan kepada satu asas. Asas yang satu ini adalah Brahman dan Atman. Brahman adalah asas alam semesta dan Atman adalah asas manusia.
e)      Moksa
Moksa atau kelepasan dapat dicapai dengan melepaskan diri dari segala kekuasaan karma, melepaskan diri dari segala perbuatan. Di dalam batinnya menusia harus lepas dari pada segala macam pekerjaan[11].
Daftar Pustaka
Harun Hadiwijono.  Agama Hindu dan Buddha. BPK Gunung Mulia. Jakarta 1989 cet. 6
I. Gst. Ngurah Nala, I.G. K. Adia Wiratmadja, Muraddha Agama Hindu.
Matius Ali, Filsafat India,
Mukti Ali.  Agama-agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Jogyakarta  1988 cet. I
Masa Reaksi / Klasik[12] (300 S.M. – 1000 S.M.)
Spekulasi canggih serta mistisisme intelektual ternyata tidak dapat memuaskan aspirasi religious manusia biasa. Reaksi ini diikuti oleh spekulasi sekelompok kecil arif-bijaksana yang memisahkan diri dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a)      Penekanan pada moralitas, pengendalian diri dan kerja yang baik.
b)      Interpretasi yang rasional terhadap masalah kehidupan manusia.
c)      Penolakan terhadap ritualisme serta menghormati kehidupan dunia hewan.
d)      Kepercayaan terhadap Tuhan personal, kepada siapa manusia dapat memuja dan mempersembahkan devosinya.
Reaksi popular tercermin dalam gerakan-gerakan seperti: Budhisme, Jainisme, Shaivisme, dan Vaishnavisme. Namun pada abad ke-6 S.M. Di India muncul dua gerakan utama yang mendudukkan diri mereka di luar kekolotan hukum Weda, yakni Budhisme dan Jainisme. Budhisme dan Jainisme menolak otoritas atau tradisi Weda, terutama mengenai komitmen terhadap tujuan serta kehidupan duniawi, institusi kasta dan tahap-tahap kehidupan, paling tidak sebagian, jika tidak seluruhnya. Hindhuisme merumuskan dirinya dalam menghadapi tantangan ini, dengan menyatakan validiras Weda serta hukum kasta (varna), dan tahap-tahap kehidupan (asrama).
Pada mulanya, gerakan Budhuisme dan Jainisme menarik banyak perhatian orang dan menjadi kekuatan yang cukup besar. Jika melihat dari bukti-bukti srkeologis dari abad ke-2 S.M. sampai abad ke-2 M, maka bukti menunjukkan bahwa gelombang pasang sedang memihak pada Budhisme, dan sejumlah orang asing yang masuk ke India pada waktu itu juga menjadi pengikut Budhisme.
Namun lambat laun gelombang pasang tersebut mulai berbalik. Pendirian dinasti Gupta di India Utara sekitar 300 M, memberikan tanda kebangkitan Hindhuisme. Pada abad ke-3 sampai abad ke-10, Hindhuisme telah berhasil secara gemilang mendudukkan diri sebagai agama dominan di India. Kebangkitan Hindhuisme di masa klasik terkait erat denagn kebangkitan kesadaran akan Weda, yang secara grafis digambarkan lewat imaji raksasa seekor babi yang merupakan reingkarnasi dewa Wishnu, yang menyelamatkan bumi dari kejatuhannya.
Masa Pertengahan[13] (1000-1800 M)
Ciri utama masa ini menunjukkan fakta bahwa Islam memberikan sebuah konteks mendasar bagi perkembangan Hinduisme sebagai teks. Hindhuisme berkembang dengan baik, sampai kedatangan Islam, dalam mengakomodasikan, jika bukan menyerap semua tantangan dalam bentuk agresi dari luar dan perpecahan yang datang dari dalam. Islam memberikan pengaruh ganda dalam Hindhuisme. Di satu puhak Islam menganjurkan perpindahan agama; di pihak lain Islam mendorong kecenderungan yang lebih egaliterdan monoestik bagi kaum Hindu. kemudian muncul tokoh-tokoh yang berusaha menjebatani jurang pemisah antara keduanya. Sebagai contoh adalah Kabir (abad ke-15), Guru Nanak (1469-1538), Dadu (1544-1603).
Kabir menulis sekumpulan kidung yang dikemal sebagai “Bijak”; Dadu, pengikut Kabir dan pendiri Parabhahmana-sampradaya, bermaksud menyatukan semua agama menjadi satu. Tulsidas (1532-1623) adalah penulis teks Ramayana dalam versi bahasa Hindi (Rama-caritamanasa) dan Vinaya-patrika; Guru Nanak (1469-1538) menulis teks suci kaum Sikh (Granth Sahib), yang berisi kidung-kidung yang ditulis oleh guru-guru mereka serta oarng-orang religius lainnya, baik Hindu atau Muslim. Pada abad ke-15 muncul gerakan Caitanya, yang menekankan pembacaan Weda secara umum, merupakan sebuah usaha untuk menghindarkan Hindhuisme agar tidak menjadi agama rumah dan perapian saja. Gerakan devosional ini menekankan kekuatan penyalamatan dalam nama Tuhan-terutama Krishna dan Rama, sehingga berpuncak pada pernyataan paradoks bahwa nama Tuhan adalah lebih besar dari Tuhan sendiri. Gerakan devisional (bhakti) ini dikatakan berasal dari India Selatan, dimana para devoti Wishnu dan Shiwa sudah mencapai puncaknya pada abad ke-9.
Islam masuk ke wilayah India Selatan dengan disingkirkannya Deogiri oleh Malik Kafur pada 1307. Sejarah mencatat bahwa ketiga aliran utama Vedânta yang diwakili oleh Shankara (abad ke-9), Râmânuja (abad ke-12) dan Madhva (abad ke-13) muncul di Selatan. Pada masa ini, dua gerakan politik berbasis Hindu yang cukup berhasi adalah kerajaan Vijayanagar di Selatan dan kerjaan Marathas di bagian Barat India (terlepas dari kaum Sikh di Punjab). Di masa kerajaan Vijayanagar, terjadi keangkitan kembali studi atas Weda dan menyatakan dirinya sebagai pelindung Weda. Puisi-puisi devosional saat itu berpusat pada Rama dan Krishna, yang merupakan ingkarnasi Wishnu.
Ciri paling menonjol pada masa Muslim (1200-1757) ini adalah berkembangnya agama Wishnu (Vaishnavism). Dua nama besar dari Selatan adalah Valaba (1479-1531) dari India Selatan dan Caitanya (1486-1533) dari wilayah Bengal. Keduanya mengajarkan jalan devosi yang berpusat pada Krishna dan Radha. Vaishnavisme ini disebarkan di wilayah Maharastra oleh Namadeva (abad ke-14) dan Tukaram (abad ke-17); sedangkan di Utara, Vaishnavisme berkambang dalam bentuk penyembahan terhadap Rama. Tokoh-tokoh terkenal dari India Utara adalah (abad ke-14), Dadu (1544-1603) dan Tulsidas (1532-1632).
Pengaruh Islam dapat dilihat dari gerakan religius di India Utara dengan ciri monoteisme ketat, tanpa menghiraukan perbedaan kasta dan menolak pemujaan terhadap imaji (patung, gambar, dsb). Sebagai contoh adalah Kabir (abad ke-15) yang mengajarkan sebuah agama universal berdasarkan pada realisasi personal akan Tuhan yang tinggal di dalam hati manusia. Kemudian, Guru Nanak (1469-1538) mendirikan agama Sikh (1469-1538) yang berusaha untuk menyelaraskan Islam dan Hindhuisme.     
Masa Modern[14] (1800-1947)
Pengaruh budaya Barat memberikan dampak menentukan bagi Hindhuisme, walaupun Hindhuisme popular dan tradisional yang menguasai masyarakat umum. Rasionalisme dan Positivisme cukup memikat pikiran orang-oarang yang tidak puas dengan Hindhuisme tradisional. Berbagai gerakan reformasi dimulai, dimana Brâhmo-Samâj, Ârya-Samâj dan Râmakrishna Mission merupakan gerakan yang paling penting. Secara umum dapat dikatakan bahwa Barat telah membuat penganut Hindhuisme lebih sadar akan keniscayaan untuk menjaga nilai-nilai tradisional Hindhuisme, walaupun mereka harus menyesuaikan diri dengan mentalitas modern. Masuknya orang-orang Inggris sebagai penjajah membuat Hindhuisme menghadapi situasi yang berbeda secara kualitatif. Masuknya Inggris mengurangi kekuatan Islam, namun Hindhuisme harus menghadai kekuatan baru, yakni agama Kristen. Pada saat yang sama ancaman baru Hindhuisme yakni: sains, sekularisme, dan humanism.
Orang-orang Barat membantu menemukan kembali studi atas kitab Weda. Tokoh reformasi Hindu pertama adalah Raja Rammohun Roy berusaha untuk membernakan monoteisme yang berbasis Vedânta. Sekitar 1830, dia mendirikan gerakan Brâhmo-Samâj di wilayah Bengal untuk melanjutkan perjuangannya. Kemudian di akhir abad ke-19, Swami Dayananda Saraswati mendirikan gerakan Ârya-Samâj di Bombay, memperkuat keabsolutan Weda yang telah dicetuskan oleh gerakan Brâhmo-Samâj.
Menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, perkembangan Hindhuisme mengalami sebuah proses pembalikan. Pada perkembangan sebelumnya, tradisi Hindhuisme memperkeras posisinya untuk mempertahankan otoritas Weda karena dibawah tekanan Budhisme, Jainisme dan Matrealisme. Di masa modern meskipun mendapat tekanan dari sumber Kristiani rasional, reformis, modernis, Hindhuisme tidak bereaksi dengan cara yang sama. Hindhuisme sekarang meninggikan pengalaman religious di atas otoritas religious dan tidak lagi terikat pada otoritas Weda. Sri Ramakrishna kadangkala melakukan penolakan terhadap Weda dan hanya menggunakannya sebagai sebuah symbol. Hampir semua tokoh-tokoh religius India di masa modern, semua mengambil inspirasi mereka dari Weda, walaupun bukan dari otoritas Weda, dan bahkan Sri Ramana Maharsi (1878-1950) mewajibkan pembacaan Weda secara teratur di âsram Tiruvannamalai.    
Zaman Kemerdekaan India
Sebelum India merdeka persengketaan wilayah daerah Punjab dan Benggala telah terjadi antara Persatuan Muslimin (Pakistan) dan India, yang pada saat itu pada hakekatnya negara Pakistan sudah berdiri. Mengingat keselamatan bangsa dan negara pada waktu peralihan kuasa dari tangan Inggris ke India, maka Kongres dengan sabar hati mengizinkan pembagian wilayah tersebut.
Pada tanggal 15 Agustus 1947, dikota New Delhi (India) dan Karachi (Pakistan) rakyat telah berkumpul dimuka gedung untuk menyaksikan berbagai upacara kemerdekaan yang dilangsungkan. Pandit Jawaharlal Nehru merupakan Perdana Menteri Luar Negeri (Perhubungan Commonwealth) pertama di India. Pidatonya menerangkan arti saat yang dirajakan itu dengan meninjau pada sejarah perjuangan untuk merebut kemerdekaan yang kini telah dicapai. Kemerdekaan ini tidak lepas dari bapak rakyat Mahatma Gandhi , bapak pergerakan kebangsaan India dan pahlawan yang merebut kemerdekaan bangsa dengan tidak memakai atau mementingkan senjata.
Permasalahan pembagian wilayah atau daerah antara India dan Pakistan masih terus berlanjut sampai kedua Negara itu merdeka dan berdaulat pada 15 Agustus. Hal ini merupakan soal pertama yang harus dipecahkan oleh pemerintah, yaitu pembagian masalah dan perpindahan penduduk yang ingin atau yang dipaksa pindah dari negara satu ke negara yang lain. Setelah  panitia pembagi dan panitia urusan pembagian Punjab dan Benggala yang dibentuk pemerintah India dibubarkan. Maka, dua komisi perbatasan dibentuk yaitu untuk Punjab dan Benggalayang kedua-duanya diketuai oleh Sir Radeliffe. Meskipun telah dibentuk dua komisi yang beranggotakan perwakilan dari kedua negara, pertentangan hebat antara mereka tidak dapat terelakkan. Karena kebulatan pikiran dalam kedua Komisi tidak tercapai, maka anggota-anggota setuju apabila ketua sendiri mengeluarkan pendapatnya yang akan diterima oleh Komisi, lebih-lebih sebab jalan ini diperbolehkan Undang-Undang Dasar sementara.
Pakistan mendapat negeri-negeri yang subur yang diairi dengan sistim pengairan yang luas, jalan-jalan perhubungan, hutan-hutan, perkebunan-perkebunan, industry-industri dam kota Lahore yangmempunyai lembaga-lembaga kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Pembagian India sebagai akibat teori Dua Negara yang dianjurkan Pakistan dan nyata mendapat kemenangan menimbulkan sengsara yang luar biasa. Berbulan-bulan lamanya, sebelum dan sesudah pencerahan kedaulatan kepada India dan Pakistan terbitlah permusuhan. Jika dihitung jumlah kurbannya telah merupakan perang saudara antara golongan-golongan bangsa di India, ini terjadi terlebih-lebih saat pemindahan.untuk mengatasi hal ini kedua negara telah menandatangani perjanjian untuk membayar kerugian-kerugian yang diderita rakyat mesing-masing sebagai akibat pemindahan.
Penggabungan kerajaan-kerajaan Swapradja
Peninggalan pemerintahan Inggris adalah 566 kerajaan swapradja pada hari penyerahan kedaulatan yang harus ditentukan kedudukannya. Adalah empat jalan untuk menetapkan kedudukan kerajaan-kerajaan itu dalam Negara kesatuan India, yaitu:
a.       Menghapuskan Negara-negara kecil dan meleburkan daerah-daerah itu kedalam daerah propinsi. Ada juga yang tidak dihapuskan tetapi dijadikan sebagian provinsi.
b.      Kerajaan-kerajaan itu diambil oper sebagai daerah istimewa dibawah perintah Presiden dan Parlemen.
c.       Menyatukan kerajaan-kerajaan dalam beberapa gabungan yang sama kedudukannya dengan provinsi.
d.      Kerajaan-kerajaan yang belum menentukan kedudukannya ditahun 1948 atau akan berdiri sendiri yaitu Hyderabad, Mysore, Kashmir, Manipur,dan Tripura diprovinsi Assam.
Penggabungan itu berarti bahwa seluruh pemerintahan di India harus bersandar pada undang-undang dasar yang bersifat demokratis.
Pengorbanan Jiwa Mahatma Gandhi
Masa penyusunan negara baru yang penuh kesukaran-kesukaran dan diberatkan lagi oleh pemindahan rakyat dari daerah-daerah yang diserahkan kepada Pakistan meminta kebijaksanaan yang luar biasa dari pemertintah. Di Delhi tidak terhambat lagi diantara kaum-kaum pelarian yang hendak membalas dendamnya atas kaum Muslimin, akan tetapi dengan usaha Mahatma Gandhi kegelishan itu dapat diteduhkan dalam beberapa hari.
Beliau tidak berkeputusan membantu pemerintah dimasa yang genting itu dengan memberikan nasehat kepada rakyat dan memperingatkan bahwa bangsa India harus berdiri atas kebenaran, menjauhkan kekerasan dan setia kepada ajaran setyagraha yang hanya membawa kemenangan dan keadilan untuk selama-lamanya. Hari ulang tahun beliau 2 Oktober dirayakan dengan penuh keyakinan bahwa perdamaian pasti akan tercapai antara golongan Hindu dan Muslimin di India selama cita-cita beliau yang murni itu tetap jadi pedoman pemerintah dan masyarakat.
Ketika Mahatma Gandhi hendak berpidato dihadapan rakyat yang berkumpul didepan gedung Birla, punya salah satu pengusaha. Pada saat beliau menuju ke tempat berbicara sekonyong-konyong terdengarlah bunyi lepasan tembakan pistol empat kali berturut-turut. Pada saat itu juga Mahatma Gandhi jatuh dan ditangkis cucunya serta keluarganya. Darah menitis dari bahu dan dada beliau yang memerahi baju putih yang biasa dipakai beliau. Dokter-dokter dengan seger datang tetapi sia-sia belaka dengan keadaan pingsan dan tidak sadar Mahatma menutup matanya untuk selama-lamanya.
Seorang munafik yang melakukan perbuatan yang kejam itu ialah Narayan Vinayak Gadse. Ia seorang anggota dari partai Mahasabha, berasal dari Poona dimana ia memimpin surat kabar yang sangat anti kongres.
Soal Khasmir
Menurut Indian Independence Act kerajaan-kerajaan swapraja diizinkan memilih atas kemauan sendiri dengan negara manakah mereka hendak bergabung, dengan India atau Pakistan. Kerajaan Jammu dan Kashmir berpenduduk dari tiga golongan yaitu: Muslimin, Hindu, dan Sikh akan tetapi yeng terbanyak adalah Muslimin. Pada saat itu yang menjadi raja yang memerintah adalah keturunan Hindu.
Sebelum raja Jammu dan Kashmir dapat menetukan dengan Negara mana ia akan menggabungkan diri, negerinya diserang dan dimasuki oleh bangsa Afridi yang berdiam didaerah batas Khasmir dan beragama Islam. Dalam  keadaan genting itu, raja Jammu dan Khasmir menyatakan dengan resmi bahwa ia akan menggabungkan kerajaannya dengan Negara India. Ia meminta bantuan militer untuk melindungi kerajaannya terhadap serangan gerombolan-gerombolan Afridi dan Pakistan yang terang menyokong penyerang-penyerang itu. Perselisihan antara India dan Pakistan terus terjadi sampai datang Komisi (UNCIP) paad bulan Juni 1948 ke Kashmir. Setelah mengadakan penyelidikan disana, maka Komisi mengirim laporan kepada Dewan Keamanan disertai usul-usul yang menjadi dasar terjadinya perjanjian internasional antara Pakistan dan India, yang diadakan pada 13 januari 1949. Dalam perjanjian itu ditentukan:
a.       Kedua belah pihak akan menghentikan permusuhan dan menetapkan garis demarkasi untuk tentara masing-masing.
b.      Pakistan akan mengeluarkan gerombolan-gerombolan kailah yan menyerbu kedalam negeri Khasmir dan pasukan-pasukan sukarela yang membantu Pakistan.
c.       Pakistan akan menarik seluruh tentara dari Khasmir dan India sebagian besar.
d.      Pleblisit akan dilakukan dibawah pengawasan badan Plebisit yang berhak menentukan kedudukan pasukan-pasukan yang akan tinggal dalam negeri Khasmir dan Jammu.                     
Meskipun telah diadakan perjanjian diatas persengketaan antara India dan Pakistan masih terus berlanjut. Karena kedua belah pihak mempertahankan kepentingannya dengan sekeras-kerasnya, sambil mengemukakan alasan-alasan yang kuat. Sengketa ini membayang-bayangi kemungkinan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan Dewan.
Undang-Undang Dasar Baru. India menjadi Republik
Dengan keputusan konstituante yang diambil pada 29 Agustus 1949, diangkatlah Panitia Perencana ynag terdiri dari 7 orang yaitu: Dr Ambadkar, N. Gopalaswami Ayyangar, Alladi Krishnaswami Ayyar, K.M. Munshi, Muh Saadullah, N. Madhva Rau, dan D.P. Khaitan. Pekerjaan pembentukan Undang-undang itu memakan waktu 2 tahun 11 bulan 17 hari (dari 9 Desember 1946 sampai 26 Nopember 1949). Mukaddimah dalam  Undang-undang itu disebut bahwa rakyat India membentuk India menjadi suatu Republik yang berdaulat dan demokratis dan menjamin untuk sekalian warga negara: Keadilan, dalam lapangan sosial, politik, dan ekonomi; Kemerdekaan berpikir, mengucapkan pendapat, mempunyai kepercayaan, beriman dan beribadah; Persamaan dalam kedudukan dan kelapangan hidup dan memperkokoh; Persaudaraan yang menjamin penghormatan atas diri seseorang dan atas kesatuan bangsa seluruhnya. Dasar negara seperti Pancasila tidak didapat di India. Yang disebut hanya sifat-sifat negara yaitu berdaulat, dan demokratis dan tujuannya.
Secara garis besar Undang-undang itu berisi:
a.       Negara tidak boleh mengadakan perbedaan antara rakyat dalam lapangan hukum dan cara-cara memperlindungi rakyat secara hukum (fasal 14).
b.      Negara dilarang membeda-bedakan rakyat oleh sebab agama, bangsa, golongan, kelamin, atau tempat lahir (fasal 15).
c.       Kedudukan orang yang tidak berkasta dalam arti ia tidak boleh bergaul dengan orang berkasta, dihapuskan. Tindakan yang semata-mata mempertahankan perbedaan itu akan dihukum (fasal 17).
Penutup
Meskipun India telah menjadi Negara Republik tetapi rakyat belum merasai hasil-hasil perubahan itu, rakyat tetap sengsara, tetap ditimpa kelaparan seperti dimasa lampu. Karena kelapangan unuk mencari kepentingan sendiri, untuk mendahulukan keluarga dan handai taulan dalam merebut pangkat, korupsi, pasar gelap, dsb luas sekali. Akan tetapi pada permulaan pertengahan abad India mengambil bentuk republic yang demokratis, dan duniawi (seculer) dan menetapkan suatu undang-undang dasar yang radikal dan modern, yang dapat dibanggakannya.
Mungkin usaha pembaharuan itu dapat dilaksanakan dengan berpegang teguh kepada dasar-dasar filsafat Hindu yang murni sebagai telah menjelma dalam Mahatma Gandhi, mumngkin juga India akan melepaskannya dengan menempuh jalan yang lebih mementingkan materialism dan kuasa kekuatan.
  
Daftar Pustaka
Harun Hadiwijono.  Agama Hindu dan Buddha. BPK Gunung Mulia. Jakarta 1989 cet. 6
I. Gst. Ngurah Nala, I.G. K. Adia Wiratmadja, Muraddha Agama Hindu.
Matius Ali, Filsafat India,
Mukti Ali.  Agama-agama Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Jogyakarta  1988 cet. I


[1] Matius Ali, Filsafat India, (), c. ,h. 17
[2] I. Gst. Ngurah Nala, I.G. K. Adia Wiratmadja, Muraddha Agama Hindu.h. 44
[3] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), cet. 16, h. 17
[4] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, cet. 16, h. 18
[5] Mukti Ali, Agama-agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), cet. I, h. 65
[6] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, cet. 16, h. 21
[7]Mukti Ali, Agama-agama Dunia, cet. I, h. 68
[8] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, cet. 6, h. 20
[9] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, cet. 16, h. 26
[10] Mukti Ali, Agama-agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), cet. I, h. 74
[11]  Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, cet. 6, h. 23
[12] Matius Ali, Filsafat India, h. 19
[13] Matius ali, Filsafat Islam, (), c. , h. 23-26
[14] Matius Ali, Filsafat India, c. 1 , h. 26-30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar